Syafruddin (Kepala SMAN 10 Sijunjung) – PADA dua dekade yang lalu atau di tahun 1990-an, gaya hidup berkacamata hitam, beranting-anting besar, berambut kribo dan kaki celana melambai-lambai ala Spanyol, adalah pilihan anak muda.
Seiring dengan kemajuan zaman, pilihan anak muda sekarang, goyang shake, demam pop Korea (K-Pop), rambut mohawk, celana pensil (pisak sarawa singkek pakaian dalam nampak), beranting di telinga dan hidung serta kemana-mana menggenggam HP.
Hebatnya lagi, mode semacam ini tidak hanya menjadi hobi dan digemari remaja tanggung, tetapi juga sudah gaya hidup sebagian siswa sekolah menengah.
Menurut Plummer seperti dikutip oleh Olivia M. Kaparang, gaya hidup adalah cara hidup individu yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang lain menghabiskan waktu, melakukan apa yang mereka anggap penting dan apa yang mereka pikirkan. Gaya hidup berkaitan erat dengan konsep imitasi budaya. Imitasi itu sendiri merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Prosesnya berlangsung pelan-pelan, menginter nalisasi dan merasuk secara mendalam pada pribadi seseorang.
Proses mengimitasi budaya luar menyebabkan budaya lokal dilupakan generasi muda, secara berangsur angsur budaya lokal terkesampingkan. Masuknya budaya asing sebenarnya hal yang wajar, asal sesuai dengan kepribadian bangsa, namun pada kenyataannya, justru mendominasi.
Kondisi ini diperburuk dengan kurangnya kesadaran dan menanamkan nilai akan pentingnya budaya sendiri. Padahal budaya lokal adalah identitas yang harus dijaga keberlangsungan hidupnya.
Gejala semacam ini satu pertanda bahwa generasi muda kita telah tercabut dari akarnya. Di Ranah Minang, diibaratkan sarupo kacang nan lupo dima paraknyo. Mereka lupa bahwa mereka hidup di tengah sebuah budaya besar dan hebat yang falsafahnya diakui oleh banyak orang. Parahnya lagi, remaja sekarang tak segan berambut orange disisir tegak sarupo ambacang dicucuik. Tidak malu pakai celana lejing, berbaju sempit pas badan. Mereka melenggang lenggok di depan hidung uda, mamak dan bapaknya.
Ketika dites mengaji (membaca Alquran), tidak hanya lutuik nan maretek, tapi paluah dingin juo bercucuran. Jika dipaksakan juga membaca ayat suci Alquran, bacaannya terdengar sengau dan terbata-bata. Sumbang dan tak sedap didengar telinga. Kadang timbul juga pertanyaan, pernahkah mereka kita ajar dengan budaya kita? Atau hanyo ta sambia sajo?
Ketika di negeri orang, banyak perantau yang menangis mendengar kesenian tradisional saluang. Waktu di kampung dulu, mereka tak sempat mempelajari budaya itu. Tak sedikit pula generasi kita yang hanya mampu melongo ketika ada suku lain pintar dan hebat memainkan talempong. Disisi lain mereka hanya bisa gigit jari dan tabulalak melihat Silek Kumango nan mamukau dipencakkan oleh remaja Spanyol.
Fenomena dari semua itu, supaya anak hari ini, remaja hari esok dan generasi masa depan tidak tenggelam dalam budaya asing dan tidak buta terhadap budaya sendri, pihak sekolah harus mengajarkan budaya negeri sendiri kepada siswa dari sekarang.
Misalnya budaya di bidang kesenian tradisional, banyak yang harus dipelajari dan dikuasai oleh siswa dan generasi muda. Diantaranya talempong pacik, saluang, tari pasambahan, tari galombang dan tari piriang serta kesenian bela diri silek.
Syukur bila siswa juga mau belajar tentang adat istiadat, supayo tau jo nan ampek. Tau kajadian asa manusia nan ampek, tau ureh nan ampek, tau asa nagari nan ampek, tau undang nan ampek, tau hukum nan ampek, tau adat nan ampek, tau jalan nan ampek, tau kato nan ampek, suratan Allah nan ampek dan banyak lagi nan ampek lain yang harus diketahui oleh remaja dan generasi muda Minangkabau.
Melalui pengajaran budaya negeri sendiri ini, siswa diajak mengembangkan jiwa kreatifitas, kepekaan indrawi, serta mampu berkreasi dalam lingkungan dan kondisi yang terarah. Selanjutnya, siswa diajak untuk menyaring budaya luar, mengembangkan kemampuan imajinatif dan intelektual, serta memupuk kepekaan rasa dalam dunia kekiniannya. Kalau kita tak sempat mewariskan budaya negeri sendiri kepada anak hari ini, tidak tertutup kemungkinan Minangkabau yang dikenal dan tersohor, akan menjadi kubangan kabau. Bila itu terjadi, yang salah adalah saya dan pembaca semua.(*)
Hebatnya lagi, mode semacam ini tidak hanya menjadi hobi dan digemari remaja tanggung, tetapi juga sudah gaya hidup sebagian siswa sekolah menengah.
Menurut Plummer seperti dikutip oleh Olivia M. Kaparang, gaya hidup adalah cara hidup individu yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang lain menghabiskan waktu, melakukan apa yang mereka anggap penting dan apa yang mereka pikirkan. Gaya hidup berkaitan erat dengan konsep imitasi budaya. Imitasi itu sendiri merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Prosesnya berlangsung pelan-pelan, menginter nalisasi dan merasuk secara mendalam pada pribadi seseorang.
Proses mengimitasi budaya luar menyebabkan budaya lokal dilupakan generasi muda, secara berangsur angsur budaya lokal terkesampingkan. Masuknya budaya asing sebenarnya hal yang wajar, asal sesuai dengan kepribadian bangsa, namun pada kenyataannya, justru mendominasi.
Kondisi ini diperburuk dengan kurangnya kesadaran dan menanamkan nilai akan pentingnya budaya sendiri. Padahal budaya lokal adalah identitas yang harus dijaga keberlangsungan hidupnya.
Gejala semacam ini satu pertanda bahwa generasi muda kita telah tercabut dari akarnya. Di Ranah Minang, diibaratkan sarupo kacang nan lupo dima paraknyo. Mereka lupa bahwa mereka hidup di tengah sebuah budaya besar dan hebat yang falsafahnya diakui oleh banyak orang. Parahnya lagi, remaja sekarang tak segan berambut orange disisir tegak sarupo ambacang dicucuik. Tidak malu pakai celana lejing, berbaju sempit pas badan. Mereka melenggang lenggok di depan hidung uda, mamak dan bapaknya.
Ketika dites mengaji (membaca Alquran), tidak hanya lutuik nan maretek, tapi paluah dingin juo bercucuran. Jika dipaksakan juga membaca ayat suci Alquran, bacaannya terdengar sengau dan terbata-bata. Sumbang dan tak sedap didengar telinga. Kadang timbul juga pertanyaan, pernahkah mereka kita ajar dengan budaya kita? Atau hanyo ta sambia sajo?
Ketika di negeri orang, banyak perantau yang menangis mendengar kesenian tradisional saluang. Waktu di kampung dulu, mereka tak sempat mempelajari budaya itu. Tak sedikit pula generasi kita yang hanya mampu melongo ketika ada suku lain pintar dan hebat memainkan talempong. Disisi lain mereka hanya bisa gigit jari dan tabulalak melihat Silek Kumango nan mamukau dipencakkan oleh remaja Spanyol.
Fenomena dari semua itu, supaya anak hari ini, remaja hari esok dan generasi masa depan tidak tenggelam dalam budaya asing dan tidak buta terhadap budaya sendri, pihak sekolah harus mengajarkan budaya negeri sendiri kepada siswa dari sekarang.
Misalnya budaya di bidang kesenian tradisional, banyak yang harus dipelajari dan dikuasai oleh siswa dan generasi muda. Diantaranya talempong pacik, saluang, tari pasambahan, tari galombang dan tari piriang serta kesenian bela diri silek.
Syukur bila siswa juga mau belajar tentang adat istiadat, supayo tau jo nan ampek. Tau kajadian asa manusia nan ampek, tau ureh nan ampek, tau asa nagari nan ampek, tau undang nan ampek, tau hukum nan ampek, tau adat nan ampek, tau jalan nan ampek, tau kato nan ampek, suratan Allah nan ampek dan banyak lagi nan ampek lain yang harus diketahui oleh remaja dan generasi muda Minangkabau.
Melalui pengajaran budaya negeri sendiri ini, siswa diajak mengembangkan jiwa kreatifitas, kepekaan indrawi, serta mampu berkreasi dalam lingkungan dan kondisi yang terarah. Selanjutnya, siswa diajak untuk menyaring budaya luar, mengembangkan kemampuan imajinatif dan intelektual, serta memupuk kepekaan rasa dalam dunia kekiniannya. Kalau kita tak sempat mewariskan budaya negeri sendiri kepada anak hari ini, tidak tertutup kemungkinan Minangkabau yang dikenal dan tersohor, akan menjadi kubangan kabau. Bila itu terjadi, yang salah adalah saya dan pembaca semua.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar