PDIP Pro Jokowi mulai 'balik menyerang' para elit partai politik yang sering mengkritisi Jokowi sebagai calon presiden.
Inisiator deklarasi manifesto PDIP Projo Fahmi Alhabsyi mengatakan elite politik pragmatis banyak merasa khawatir jika Joko Widodo (Jokowi) menjadi calon presiden pada Pemilihan Presiden 2014.
"Saat ini elit-elit parpol cenderung pragmatis dukung capres yang bisa berikan jaminan keamanan hukum dan politik. Sedangkan Jokowi hanya dijadikan sebagai vote getter (pendulang suara) bukan capres yang diharapkan para elite politik," kata Fahmi Alhabsyi di Depok, Jumat (31/1).
Ia mengatakan, sebagian elit pragmatis "tersandera" secara politis oleh lawan ataupun konco politik. Lawan atau konco politik kecewa luar biasa karena jika Jokowi dicapreskan membutuhkan biaya dan energi lebih besar di pileg dan pilpres mendatang.
"Kalkulasi yang sedang dihitung sebagian elit yang pragmatis apakah mencapreskan Jokowi akan menjadikan elit partai sebagai sasaran tembak dan ancaman lawan atau konco politik untuk mengeluarkan "kartu AS" atas berbagai permasalahan masa lalu atau yang belum muncul ke permukaan," katanya.
Pertanyaan yang yang dihitung, lanjut Fahmi lagi, apakah Jokowi mampu memberikan jaminan "aman dan nyaman" atas itu semua bila jadi presiden? Kekhawatiran bersifat pragmatis demi kepentingan pribadi dan golongan dibanding kepentingan masa depan partai dan bangsa di masa datang.
Mantan aktivis UI 98 ini menegaskan kembali bahwa publik harus diberikan pemahaman bahwa segala skandal korupsi yang muncul di semua partai politik saat ini, membuat kalkulasi politik pilpres berbeda dengan 2004-2009 yang hanya memikirkan bagi-bagi menteri semata.
Dikatakannya siapapun akan didukung yang penting setelah pilpres aman dari tuntutan kasus korupsi. Hal tersebut yang membuat Pilpres 2014 "sangat mengerikan" dan harus dimajukan seorang pemimpin yang lurus-lurus aja, tidak neko-neko dan minim hutang politik. Jika tidak bangsa ini akan mengalami keterpurukan tak berujung.
Fahmi menilai rakyat dan konstituen seperti mengalami fatamorgana politik karena ujungnya harapan publik pada saat pileg akan berbeda dengan realita pada pilpres dan tidak ada jaminan bahwa Jokowi akan dicapreskan.
"Jika skenario pencapresan setelah pileg 2014 ini yang dipilih akan berimbas pada perolehan kursi dan golput yang tinggi, karena masyarakat sudah cerdas berposisi "wait and see" membaca manuver politik. Rakyat sudah frustasi liat perilaku koruptif elit politik," papar Fahmi.
Selain itu, Fahmi menambahkan alasan strategi DPP PDI Perjuangan bahwa pencapresan Jokowi tidak dilakukan lebih awal dikhawatirkan Jokowi jadi "sasaran tembak" lawan politik atas kelemahan-kelemahan Jokowi sangat tidak berasalan.
"Saat ini elit-elit parpol cenderung pragmatis dukung capres yang bisa berikan jaminan keamanan hukum dan politik. Sedangkan Jokowi hanya dijadikan sebagai vote getter (pendulang suara) bukan capres yang diharapkan para elite politik," kata Fahmi Alhabsyi di Depok, Jumat (31/1).
Ia mengatakan, sebagian elit pragmatis "tersandera" secara politis oleh lawan ataupun konco politik. Lawan atau konco politik kecewa luar biasa karena jika Jokowi dicapreskan membutuhkan biaya dan energi lebih besar di pileg dan pilpres mendatang.
"Kalkulasi yang sedang dihitung sebagian elit yang pragmatis apakah mencapreskan Jokowi akan menjadikan elit partai sebagai sasaran tembak dan ancaman lawan atau konco politik untuk mengeluarkan "kartu AS" atas berbagai permasalahan masa lalu atau yang belum muncul ke permukaan," katanya.
Pertanyaan yang yang dihitung, lanjut Fahmi lagi, apakah Jokowi mampu memberikan jaminan "aman dan nyaman" atas itu semua bila jadi presiden? Kekhawatiran bersifat pragmatis demi kepentingan pribadi dan golongan dibanding kepentingan masa depan partai dan bangsa di masa datang.
Mantan aktivis UI 98 ini menegaskan kembali bahwa publik harus diberikan pemahaman bahwa segala skandal korupsi yang muncul di semua partai politik saat ini, membuat kalkulasi politik pilpres berbeda dengan 2004-2009 yang hanya memikirkan bagi-bagi menteri semata.
Dikatakannya siapapun akan didukung yang penting setelah pilpres aman dari tuntutan kasus korupsi. Hal tersebut yang membuat Pilpres 2014 "sangat mengerikan" dan harus dimajukan seorang pemimpin yang lurus-lurus aja, tidak neko-neko dan minim hutang politik. Jika tidak bangsa ini akan mengalami keterpurukan tak berujung.
Fahmi menilai rakyat dan konstituen seperti mengalami fatamorgana politik karena ujungnya harapan publik pada saat pileg akan berbeda dengan realita pada pilpres dan tidak ada jaminan bahwa Jokowi akan dicapreskan.
"Jika skenario pencapresan setelah pileg 2014 ini yang dipilih akan berimbas pada perolehan kursi dan golput yang tinggi, karena masyarakat sudah cerdas berposisi "wait and see" membaca manuver politik. Rakyat sudah frustasi liat perilaku koruptif elit politik," papar Fahmi.
Selain itu, Fahmi menambahkan alasan strategi DPP PDI Perjuangan bahwa pencapresan Jokowi tidak dilakukan lebih awal dikhawatirkan Jokowi jadi "sasaran tembak" lawan politik atas kelemahan-kelemahan Jokowi sangat tidak berasalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar