Dinas Penerangan Koarmabar
Anggota Lanal Sabang menerima kedatangan KRI Sutanto - 377 dalam rangka bekal ulang usai melaksanakan operasi di perairan perbatasan.
=================================================================
... anaknda mohon ampun + maaf atas kesalahan + dosa anaknda kepangkuan Bunda Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi + Rodijah, Turiah dan keluarga Tawangsari Lamongan Jatisaba Purbolingga Laren Bumiayu.
=====================================================================
... anaknda mohon ampun + maaf atas kesalahan + dosa anaknda kepangkuan Bunda Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi + Rodijah, Turiah dan keluarga Tawangsari Lamongan Jatisaba Purbolingga Laren Bumiayu.
=====================================================================
ITULAH sepenggal kalimat yang tertuang dalam surat terakhir Usman bin Haji Mohammad Ali dari Singapura. Surat itu dibuat pada 16 Oktober 1968 di penjara Changi, satu hari sebelum Usman menjalani hukuman gantung.
Hukuman mati untuk Usman diputus Hakim J Chua pada sidang Pengadilan Tinggi Singapura, 20 Oktober 1965. Usman berikut Harun dianggap telah melakukan sabotase dan mengakibatkan tiga orang sipil tewas.
Atas putusan tersebut, Usman dan Harun mengajukan banding ke Federal court of Malaysia, 6 Juni 1966. Namun, banding tersebut ditolak hakim Chong Yiu, Tan Ah Tah dan JJ Amrose.
Kasus ini lalu bergulir ke Privy Council di London pada 17 Februari 1967. Pemerintah Indonesia menyertakan empat pembela untuk Usman dan Harun. Mereka yang turut mendampingi adalah Barga (Singapura), Noel Benyamin (Malaysia), Lekol Gani Djemat (Atase ALRI di Singapura) dan Mochtar Kusumaatmadja (Indonesia). Lagi-lagi, langkah penyelamatan Usman dan Harun gagal. Surat penolakan dari London datang pada 21 Mei 1968.
Harapan terakhir untuk lepas dari hukuman gantung pun berada di tangan Presiden Singapura, Yusuf bin Ishak. 1 Juni 1968, permintaan grasi atas hukuman Usman dan Harun diajukan. Permohonan Grasi dijawab Menlu Singapura pada 9 Oktober 1968. Pemerintah Singapura tetap menjalankan hukuman mati untuk Usman dan Harun.
Presiden Soeharto ikut turun tangan demi nyawa Usman dan Harun. Soeharto menunjuk Abdul Rachman (AR) Ramly yang ketika itu berpangkat Letnan Kolonel Angkatan Darat, sebagai liason officer (perwira penghubung), mewakili pemerintah RI. Waktu itu Indonesia belum punya hubungan diplomatik dengan Singapura.
"Mengapa Singapura ingin sekali menggantung mereka," tanya Pak Harto kepada Ramly.
"Kesimpulan umum kami, Pak, Singapura itu kan negara kecil. Sebagai negara kecil, mereka ingin eksis, maka mereka menggunakan alasan rule of law yang harus ditegakkan. Hukum yang diterapkan di Singapura adalah hukuman mati," jawab Ramly.
"Bagaimanapun kita tetap harus berusaha keras agar Usman dan Harus tidak digantung," kata Soeharto. Ramly kemudian minta kepada Soeharto menulis surat kepada pemerintah Singapura, isinya minta agar Usman dan Harun tidak dihukum mati.
Soeharto memenuhi saran Ramly. Berbekal surat tersebut, Ramly menemui Presiden Singapura, Yusuf Ishak, yang didampingi Wakil Perdana Menteri. Sang presiden menyatakan, urusan pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri Lee Kuan Yew, sedang dirinya hanyalah lambang negara tanpa kewenangan pemerintahan.
Celakanya, saat itu Lee tengah dalam perjalanan ke Amerika Serikat. Dari penelusuran Ramly, Lee ternyata singgah di Tokyo, Jepang. Ramly kemudian minta bantuan Duta Besar RI di Jepang, Rukminto, menemui Lee Kuan Yew untuk menyampaikan permohonan Soeharto terkait Usman dan Harun.
Ternyata Lee tidak bersedia menanggapi permohonan itu dengan alasan sedang dalam kondisi cuti dan tidak punya hak mengambil keputusan apapun. Menurut Lee, Wakil Perdana Menteri Singapura yang bertanggungjawab.
"Baiklah, surat Presiden Soeharto sudah kami terima dan akan kami pikirankan," kata Wakil Perdana Menteri Singapura yang ditemui Ramly. Sepuluh hari kemudian, pemerintah Singapura menyatakan hukuman mati tetap dilaksanakan.
Catatan Drs. Murgiyanto dalam buku bertajuk Usman dan Harun Prajurit, yang dicetak Pustaka Bahari menyebut, Soeharto juga mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan Usman dan Harun. Titik terang mulai menyembul saat PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga mendorong pemerintah Singapura meringankan hukuman Usman dan Harun. Namun, upaya itu juga membentur dinding. Pemerintah Singapura tetap menjalankan hukuman mati.
Brigjen Tjokropranolo sempat bertemu Usman dan Harun di detik-detik terakhir menjelang hukuman gantung dilakukan. Bersama Lekol Gani Djemat dan Kolonel A Ramly, mereka menyampaikan pesan Soeharto.
"Hanya satu pesan yang disampaikan adalah bahwa Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia," tulis Murgiyanto.
"Sebelum berpisah, Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usahanya," tambah Murgiyanto.
Jelang eksekusi hukuman gantung, seluruh staf Kedubes RI di Singapura dipulangkan, kecuali atase pertahanan dan beberapa staf lain. Kapal-kapal RI juga pulang membawa warga negara Indonesia.
Hukuman gantung dilakukan pada pukul 06.00, 17 Oktober 1968. Usai melakukan salat, Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa petugas ke kamar kesehatan untuk dibius. Bius dilakukan untuk membuat keduanya lumpuh. Setelah itu, tali gantungan dikalungkan ke leher Usman dan Harun.
Meski gagal meloloskan Usman dan Harun dari tiang gantungan, Soeharto punya cara tersendiri untuk membela mereka. "Ketika PM Lee ingin berkunjung ke Indonesia, dua tahun setelah hukuman mati dilaksanakan, Pak Harto mempersilakan datang. Syaratnya, harus meletakkan karangan bunga secara langsung di makam Usman dan Harun di Taman makam Pahlawan Kalibata," kata Ramly.
Menurut Ramly syarat itu tidak lazim. "Namun entah dengan pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun. Baru setelah itu hubungan Jakarta-Singapura membaik," ujar Ramly.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar