Petugas kepolisian lalu lintas menilang simpatisan partai saat kampanye di kawasan Gatot Subroto, Jakarta.
Kampanye partai politik yang menghadirkan biduan dengan goyangan erotis di panggung terbuka mengundang kritik publik.
Parpol yang memilih model kampanye tersebut dinilai inkonsisten dengan misinya yang ingin memperjuangkan kaum perempuan. Hal itu terlihat dari upaya parpol yang di sisi lain mencoba memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan, yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, sudah bukan eranya lagi parpol memilih kampanye di lapangan terbuka dengan mengundang massa. Lebih baik mereka menyampaikan visi dan misi melalui program riil untuk menarik simpati publik.
Apalagi, harap dia, kalau sampai parpol berupaya untuk memperjuangkan kaum perempuan agar semakin berdaya. Hal itu akan berimbas positif kepada parpol dan caleg, selain juga sebagai bentuk komitmen parpol terhadap pemberian kesempatan kepada caleg parpol.
"Kuota 30 persen tidak lain tak bukan dimaksudkan untuk memberdayakan perempuan. Bukan sebaliknya malah melecehkan," kata Siti, Rabu (26/3). "Dengan kuota itu perempuan diharapkan melek politik, dan berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara."
Menurut dia, keberadaan caleg perempuan jangan hanya sebagai penghias untuk pelengkap syarat semata. Idealnya, kata dia, caleg perempuan diberi kesempatan untuk dapat berpartisipasi secara lebih agar bisa menyuarakan kehendak kaumnya.
Sehingga, caleg perempuan yang dimajukan harus berkualitas. Di samping itu, jika sampai ada parpol yang ketika kampanye malah kurang menghargai perempuan, itu sama saja membodohi masyarakat.
"Inilah esensinya. Karena itu, bila kuota malah dilencengkan dan disalahgunakan, publik harus mengkritisi dan menyorot tajam perilaku fungsionaris partai yang telah merekrut caleg perempuan tidak secara memadai," kata Siti.
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar