Tour de Singkarak 2014 telah berakhir di Kota Padang setelah menjelajah 18 kabupaten/kota di Sumatera Barat. Bukan alang kepalang, jarak yang ditempuh beserta balap sepeda itu lebih seribu kilometer.
Ada yang menjadi tanda tanya oleh sebagian penghuni ranah ini, setelah TdS berakhir, apa lagi yang harus dikerjakan? Apakah menunggu TdS 2015, baru kabupaten/kota manggarik untuk perbaikan-perbaikan infrastruktur? Atau api padam puntuang anyuik sama sekali?
Kita tentu tidak bisa menebak-nebak begitu saja apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, baik Pemerintah Provinsi Sumatera Barat maupun pemerintah kabupaten/kota di daerah ini. Yang pasti, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, setelah TdS berakhir, aniang ciok-ciok segala aktivitas terkait pariwisata, bahkan perbaikan infrastruktur seperti jalan harus dikaitkan dengan TdS. Tak ada TdS, tak ada perbaikan jalan?
Dari awal deselenggarakan Tour de Singkarak adalah untuk mempromosikan potensi wisata di Sumatera Barat. Sebab, selama ini diketahui alam Ranah Minang diakui lebih rancak dari daerah lain. Bahkan ada yang menyebut, Bali tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan Sumatera Barat. Apa iya begitu?
Terserahlah, apakah alam Sumbar lebih indah atau tidak jika dibandingkan dengan Bali dan sebagainya, yang jelas hingga hari ini Sumbar belum diperhitungkan betul oleh wisatawan asing. Bahkan, wisatawan nusantara juga belum memperhitungkan Sumbar sebagai daerah kunjungan wisata. Kalaupun banyak wisatawan datang ke Sumbar, mereka hanya tahu dengan Bukittinggi. Ya, Bukittinggi dengan sejumlah objeknya antara lain Panorama yang bisa menyaksikan Ngarai Sianok, Jam Gadang, benteng Fort de Kock dan Taman Margasatwa Kinantan yang dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh. Lebih dari itu, kalaupun ada yang ke daerah lain hanya sebagai imbas, seperti ke Maninjau, Agam atau Lembah Harau, Limapuluh Kota.
Coba tanyakan kepada wisatawan asing itu, apakah mereka kenal dengan objek wisata Danau Singkarak sebagai maskot TdS? Apakah mereka kenal dengan Danau Diatas, Danau Dibawah atau Danau Talang yang ketiganya juga terletak di Kabupaten Solok. Tanyakan juga, apakah mereka kenal dengan Tugu Equator di Bonjol, Pasaman? Apakah kenal dengan Bukit Langkisau yang terintergrasi dengan Pantai Carocok di Painan, Pessel?. Begitu juga dengan objek wisata lain yang dimiliki oleh semua daerah kabupaten/kota di Sumatera Barat. Tanya, kenapa?
Jawabnya antara lain kabupaten/kota tidak siap. Bahkan, bisa dikatakan separoh hati dalam menata dan mengembangkan objek wisata. Contoh kecil saja sebagai bukti tidak siap itu adalah, apakah setiap objek wisata sudah punya tempat pipis? Atau agak lebih kerennya, apakah setiap objek wisata punya toilet yang representatif?
Ini bentuknya kecil, tetapi perannya sangat penting. Ketika wisatawan tasasak, mereka harus kencing di mana? Apakah mereka harus menyuruk-nyuruk ke semak atau masuk WC umum yang aromanya cap jengkol petai, lantas keluar ‘ditodong’ pula biaya oleh penjaganya. Apakah ini yang namanya kesiapan menerima kunjungan wisatawan? Itu baru hal kecil. Untuk sekadar contoh, di Malaysia, pada hentian sebelah atau di kita biasa disebut rest area, toiletnya luar biasa rancak dan bersih. Keluar dari sana tidak ada orang minta uang. Apalagi di objek wisatanya, jauh lebih bagus.
Yang kecil lainnya adalah perkara parkir. Apakah setiap objek wisata di Sumatera Barat telah punya areal parkir representatif? Sudahkah aman parkirnya dari pungutan?
Pemerintah kabupaten/kota boleh-boleh saja mengatakan salah satu pendapatan daerah adalah dari bea parkir, namun apakah benar biaya parkir di objek wisata sudah masuk ke kas daerah? Lagipula, apakah yang dipungut juru parkir sesuai peraturan daerah? Rasanya belum, sebagai contoh jika di hari biasa parkir kendaraan roda empat Rp2.000, maka di hari minggu apalagi di hari lebaran biaya parkir bisa Rp5.000 atau lebih untuk sekali parkir.
Sekali lagi ini hanyalah contoh kecil. Sementara di pihak lain pemerintah menghabiskan uang bermiliar-miliar untuk pelaksanaan TdS, semua tidak akan mempunyai efek positif jika objek wisata tidak dibenahi dan mental masyarakat tidak disiapkan. Kalau begitu, terpaksa TdS, api padam puntuang anyuik saja. Sampai ketemu di TdS 2015 sebagai rutinitas yang tidak berdampak positif terhadap pembangunan pariwisata. (*)t
Ini bentuknya kecil, tetapi perannya sangat penting. Ketika wisatawan tasasak, mereka harus kencing di mana? Apakah mereka harus menyuruk-nyuruk ke semak atau masuk WC umum yang aromanya cap jengkol petai, lantas keluar ‘ditodong’ pula biaya oleh penjaganya. Apakah ini yang namanya kesiapan menerima kunjungan wisatawan? Itu baru hal kecil. Untuk sekadar contoh, di Malaysia, pada hentian sebelah atau di kita biasa disebut rest area, toiletnya luar biasa rancak dan bersih. Keluar dari sana tidak ada orang minta uang. Apalagi di objek wisatanya, jauh lebih bagus.
Yang kecil lainnya adalah perkara parkir. Apakah setiap objek wisata di Sumatera Barat telah punya areal parkir representatif? Sudahkah aman parkirnya dari pungutan?
Pemerintah kabupaten/kota boleh-boleh saja mengatakan salah satu pendapatan daerah adalah dari bea parkir, namun apakah benar biaya parkir di objek wisata sudah masuk ke kas daerah? Lagipula, apakah yang dipungut juru parkir sesuai peraturan daerah? Rasanya belum, sebagai contoh jika di hari biasa parkir kendaraan roda empat Rp2.000, maka di hari minggu apalagi di hari lebaran biaya parkir bisa Rp5.000 atau lebih untuk sekali parkir.
Sekali lagi ini hanyalah contoh kecil. Sementara di pihak lain pemerintah menghabiskan uang bermiliar-miliar untuk pelaksanaan TdS, semua tidak akan mempunyai efek positif jika objek wisata tidak dibenahi dan mental masyarakat tidak disiapkan. Kalau begitu, terpaksa TdS, api padam puntuang anyuik saja. Sampai ketemu di TdS 2015 sebagai rutinitas yang tidak berdampak positif terhadap pembangunan pariwisata. (*)t
Tidak ada komentar:
Posting Komentar