Pada masa tabiin hiduplah seorang penjahat terkenal yang suka membuat onar di daerah Basrah, Irak. Uthbah Al Ghulam, nama tokoh itu, dikenal sebagai pemabuk ulung. Uthbah juga ditakuti karena keberingasannya saat berhadapan dengan musuh. Dia pun tak segan menghabisi atau membunuh korbannya.
Bukan hanya jahat, Uthbah sangat benci terhadap orang-orang yang rajin beribadah. Hatinya geram setiap kali melihat orang-orang pergi ke masjid. Hingga, suatu hari timbul rasa penasaran dari dalam diri Uthbah untuk ikut mendengarkan apa yang disampaikan penceramah pada acara pengajian. Dengan menggunakan penutup wajah, dia pun menyusup ke dalam suatu majelis.
Di sana, Uthbah mendengar ceramah seorang imam. Kebetulan, guru yang memberikan materi kala itu adalah Imam Hasan al Bashri, seorang ulama terkemuka di Kota Basrah. Hasan al Bashri merupakan ulama kelahiran Madinah pada 21 H (642 M). Ia adalah anak dari seorang juru tulis wahyu yang membantu Zaid bin Tsabit.
Dengan lembut, Imam Hasan menguraikan surah al-hadid ayat 16, "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."
Hasan Bashri kemudian membacakan tafsir ayat tersebut dengan nasihat yang sangat menyentuh hati. Banyak murid yang hadir dalam majelis itu menangis karena nasihat yang dia sampaikan. Seorang muridnya bertanya kepada Hasan Bashri, "Wahai guru kami, bagaimanakah jika ada seorang yang sudah keterlaluan melakukan maksiat, apakah dosanya masih diampuni Tuhan?"
Hasan Bashri menjawab, "Apabila ia bertobat dengan penuh kesadaran dan hati yang bersungguh-sungguh bertobat sesuai dengan syarat-syaratnya maka Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, sekalipun seperti Uthbah Al Ghulam!"
Mendengar jawaban Hasan Bashri yang mengutip namanya, Uthbah terkejut. Hasan Bashri belum pernah bertemu dengannya dan belum pernah mengenalnya. Tapi, karena ia terkenal sebagai seorang yang fasik, ia dibuat perbandingan dalam soal dosa.
Rasa gundah Uthbah kian menjadi. Dia kemudian bertanya, "Wahai orang yang bertakwa. Apakah Allah SWT akan menerima orang seperti saya yang fasik, berdosa apabila bertobat kepada-Nya?" Hasan Bashri kemudian menjawab, "Ya. Allah akan menerima tobat atas kefasikan dan dosamu."
Mendengar itu, terguncanglah jiwa Uthbah. Parasnya langsung berubah. Persendian di tubuhnya gemetar. "Ya Allah..." teriaknya, kemudian pingsan. Ketika sadar, ia bertanya lagi pada Hasan Bashri, "Ya Syeikh, apakah Allah Yang Maha Penyayang dan Penyayang akan mengampuni dosa orang sepertiku yang laknat ini?"
Hasan Bashri kemudian menjawab, "Bukankah tiada yang menerima tobat seorang hamba yang jiwanya kosong selain Allah SWT yang memaafkannya?" Orang itu kemudian mengangkat kepalanya dan berdoa. Ia mengajukan tiga permintaan kepada Allah SWT, "Pertama, Ya Tuhanku bila engkau menerima tobatku dan engkau ampuni dosaku maka muliakanlah aku dengan kepahaman dan hafalan, sehingga aku dapat menghafalkan apa yang aku dengar dari ilmu dan Alquran."
Lalu, Uthbah melanjutkan, "Kedua, Ya Tuhanku muliakanlah aku dengan suara yang bagus, sehingga setiap orang yang mendengar bacaanku semakin bertambah kasih dalam hatinya meskipun hatinya keras bagai batu."
"Ketiga, Ilahi muliakanlah aku dengan rizki yang halal dan berilah aku rizki dari segala arah yang tak terduga." Dengan izin Allah SWT, semua permintaan pemuda itu terkabul. Bertambahlah pemahaman dan hafalan Alquran yang dikuasai Uthbah.
Tiap dia membacakan Alquran, banyak orang kemudian bertobat karena mendengar keindahan suaranya melantunkan ayat suci. Ia juga meletakkan makanan di depan rumah-rumah orang yang tidak mampu. Ia bersedekah hingga ajal menjemputnya.
Amal yang ia berikan lewat makanan tidak pernah dia ceritakan kepada penduduk sekitar. Ketika Uthbah telah wafat, orang-orang miskin tidak mendapati makanan di depan rumahnya. Barulah, mereka menyadari Uthbah yang selama ini meletakkan makanan di depan rumah mereka. r
Bukan hanya jahat, Uthbah sangat benci terhadap orang-orang yang rajin beribadah. Hatinya geram setiap kali melihat orang-orang pergi ke masjid. Hingga, suatu hari timbul rasa penasaran dari dalam diri Uthbah untuk ikut mendengarkan apa yang disampaikan penceramah pada acara pengajian. Dengan menggunakan penutup wajah, dia pun menyusup ke dalam suatu majelis.
Di sana, Uthbah mendengar ceramah seorang imam. Kebetulan, guru yang memberikan materi kala itu adalah Imam Hasan al Bashri, seorang ulama terkemuka di Kota Basrah. Hasan al Bashri merupakan ulama kelahiran Madinah pada 21 H (642 M). Ia adalah anak dari seorang juru tulis wahyu yang membantu Zaid bin Tsabit.
Dengan lembut, Imam Hasan menguraikan surah al-hadid ayat 16, "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."
Hasan Bashri kemudian membacakan tafsir ayat tersebut dengan nasihat yang sangat menyentuh hati. Banyak murid yang hadir dalam majelis itu menangis karena nasihat yang dia sampaikan. Seorang muridnya bertanya kepada Hasan Bashri, "Wahai guru kami, bagaimanakah jika ada seorang yang sudah keterlaluan melakukan maksiat, apakah dosanya masih diampuni Tuhan?"
Hasan Bashri menjawab, "Apabila ia bertobat dengan penuh kesadaran dan hati yang bersungguh-sungguh bertobat sesuai dengan syarat-syaratnya maka Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, sekalipun seperti Uthbah Al Ghulam!"
Mendengar jawaban Hasan Bashri yang mengutip namanya, Uthbah terkejut. Hasan Bashri belum pernah bertemu dengannya dan belum pernah mengenalnya. Tapi, karena ia terkenal sebagai seorang yang fasik, ia dibuat perbandingan dalam soal dosa.
Rasa gundah Uthbah kian menjadi. Dia kemudian bertanya, "Wahai orang yang bertakwa. Apakah Allah SWT akan menerima orang seperti saya yang fasik, berdosa apabila bertobat kepada-Nya?" Hasan Bashri kemudian menjawab, "Ya. Allah akan menerima tobat atas kefasikan dan dosamu."
Mendengar itu, terguncanglah jiwa Uthbah. Parasnya langsung berubah. Persendian di tubuhnya gemetar. "Ya Allah..." teriaknya, kemudian pingsan. Ketika sadar, ia bertanya lagi pada Hasan Bashri, "Ya Syeikh, apakah Allah Yang Maha Penyayang dan Penyayang akan mengampuni dosa orang sepertiku yang laknat ini?"
Hasan Bashri kemudian menjawab, "Bukankah tiada yang menerima tobat seorang hamba yang jiwanya kosong selain Allah SWT yang memaafkannya?" Orang itu kemudian mengangkat kepalanya dan berdoa. Ia mengajukan tiga permintaan kepada Allah SWT, "Pertama, Ya Tuhanku bila engkau menerima tobatku dan engkau ampuni dosaku maka muliakanlah aku dengan kepahaman dan hafalan, sehingga aku dapat menghafalkan apa yang aku dengar dari ilmu dan Alquran."
Lalu, Uthbah melanjutkan, "Kedua, Ya Tuhanku muliakanlah aku dengan suara yang bagus, sehingga setiap orang yang mendengar bacaanku semakin bertambah kasih dalam hatinya meskipun hatinya keras bagai batu."
"Ketiga, Ilahi muliakanlah aku dengan rizki yang halal dan berilah aku rizki dari segala arah yang tak terduga." Dengan izin Allah SWT, semua permintaan pemuda itu terkabul. Bertambahlah pemahaman dan hafalan Alquran yang dikuasai Uthbah.
Tiap dia membacakan Alquran, banyak orang kemudian bertobat karena mendengar keindahan suaranya melantunkan ayat suci. Ia juga meletakkan makanan di depan rumah-rumah orang yang tidak mampu. Ia bersedekah hingga ajal menjemputnya.
Amal yang ia berikan lewat makanan tidak pernah dia ceritakan kepada penduduk sekitar. Ketika Uthbah telah wafat, orang-orang miskin tidak mendapati makanan di depan rumahnya. Barulah, mereka menyadari Uthbah yang selama ini meletakkan makanan di depan rumah mereka. r
Tidak ada komentar:
Posting Komentar