Para peneliti semakin memantapkan dugaan adanya dua arus migrasi besar ke Nusantara yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austro-asiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu.
Arkeolog prasejarah dari Pusat Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, Austro-asiatik dan Austronesia awalnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik. Bahasa itu dimanfaatkan masyarakat Yunan, Tiongkok selatan. Bahasa Austrik akhirnya pecah menjadi dua, yaitu Austro-asiatik dan Austronesia yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa.
”Dulu, keduanya berasal dari satu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austro-asiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di sekitar wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah,” tutur dia, Selasa (5/8), di Jakarta.
Pada 4.300-4.100 tahun lalu, para penutur Austro-asiatik mulai bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar berhias tali di kawasan itu yang bentuknya sama dengan tembikar serupa di selatan Tiongkok hingga Taiwan.
Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia, mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, menuju Jawa dan Sumatera. Arus migrasi itu ditandai dengan penemuan tembikar-tembikar berslip merah di Indonesia timur juga di Taiwan, Filipina, dan Kepulauan Pasifik. Usia tembikar itu relatif lebih muda dibandingkan dengan tembikar berhias tali.
”Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar Tiongkok selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Ketika penutur Austronesia tiba ke Nusantara, rupanya mereka lebih bisa memengaruhi penutur Austro-asiatik sehingga seluruh masyarakat akhirnya berbahasa Austronesia,” papar Truman.
Leluhur langsung
Di Indonesia, kedua ras mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Truman menegaskan, penutur Austro-asiatik dan Austronesia merupakan leluhur masyarakat Indonesia langsung tanpa ada keterputusan biologis.
Meski demikian, sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal suku bangsa lain, yaitu Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua.
”Manusia pertama yang masuk Indonesia sekitar 60.000 tahun lalu. Setelah zaman es, terbentuk kehidupan dengan budaya yang berkembang dengan ciri-ciri khas masyarakat Nusantara, salah satunya ras Australomelanesoid. Ras Australomelanesoid, sampai 4.000-an tahun lalu, menghuni kepulauan hingga datang dua penutur Austro-asiatik dan Austronesia,” ungkap dia.
Bulan lalu, para peneliti Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta menemukan jejak penutur Austronesia di Desa Tanjungan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Mereka menemukan dua kerangka manusia serta perkakas kebutuhan sehari-hari, seperti bandul jala, paku, dan tembikar.
”Pantura menjadi semacam tempat berlabuhnya migrasi penutur Austronesia pada masa paleometalik sekitar 500 tahun sebelum Masehi, sekitar 2.500 tahun lalu,” kata Ketua Tim Peneliti Situs Tanjungan dari Balar Yogyakarta Gunadi Kasnowiharjo. k
”Dulu, keduanya berasal dari satu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austro-asiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di sekitar wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah,” tutur dia, Selasa (5/8), di Jakarta.
Pada 4.300-4.100 tahun lalu, para penutur Austro-asiatik mulai bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar berhias tali di kawasan itu yang bentuknya sama dengan tembikar serupa di selatan Tiongkok hingga Taiwan.
Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia, mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, menuju Jawa dan Sumatera. Arus migrasi itu ditandai dengan penemuan tembikar-tembikar berslip merah di Indonesia timur juga di Taiwan, Filipina, dan Kepulauan Pasifik. Usia tembikar itu relatif lebih muda dibandingkan dengan tembikar berhias tali.
”Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar Tiongkok selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Ketika penutur Austronesia tiba ke Nusantara, rupanya mereka lebih bisa memengaruhi penutur Austro-asiatik sehingga seluruh masyarakat akhirnya berbahasa Austronesia,” papar Truman.
Leluhur langsung
Di Indonesia, kedua ras mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Truman menegaskan, penutur Austro-asiatik dan Austronesia merupakan leluhur masyarakat Indonesia langsung tanpa ada keterputusan biologis.
Meski demikian, sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal suku bangsa lain, yaitu Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua.
”Manusia pertama yang masuk Indonesia sekitar 60.000 tahun lalu. Setelah zaman es, terbentuk kehidupan dengan budaya yang berkembang dengan ciri-ciri khas masyarakat Nusantara, salah satunya ras Australomelanesoid. Ras Australomelanesoid, sampai 4.000-an tahun lalu, menghuni kepulauan hingga datang dua penutur Austro-asiatik dan Austronesia,” ungkap dia.
Bulan lalu, para peneliti Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta menemukan jejak penutur Austronesia di Desa Tanjungan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Mereka menemukan dua kerangka manusia serta perkakas kebutuhan sehari-hari, seperti bandul jala, paku, dan tembikar.
”Pantura menjadi semacam tempat berlabuhnya migrasi penutur Austronesia pada masa paleometalik sekitar 500 tahun sebelum Masehi, sekitar 2.500 tahun lalu,” kata Ketua Tim Peneliti Situs Tanjungan dari Balar Yogyakarta Gunadi Kasnowiharjo. k
Tidak ada komentar:
Posting Komentar