Pendiri dan pengelola Rumah Baca Zhaffa, Yudi Hartanto mendirikan rumah baca untuk meningkatkan minat baca anak-anak.
Rak warna biru itu tak baru lagi. Ratusan buku berjejal, berebut tempat. Sejumlah buku tampak tercecer. Tak lagi muat tersusun di empat rak di teras rumah itu.
Di samping rak, berdiri kotak kayu warna orange. Satu sisinya bertuliskan Free Library. Laiknya celengan, kotak itu berfungsi menampung donasi untuk pengadaan buku.
Teras itu kini semakin penuh dengan coretan di kertas plano, yang menempel di dinding rumah bagian depan. “Buku Jendela Dunia”, “Saya senang bermain sambil belajar,” dan “Membaca buku membuat kita pintar” merupakan sebagian dari tulisan yang menempel di kertas warna buram itu.
Tepat di atasnya, terdapat poster promosi latihan menari yang menempel di white boardukuran 30x20 cm.
Di dinding teras rumah yang terletak di Manggarai, Jakarta Selatan itu, terbentang spanduk bertuliskan "Rumah Baca Zhaffa". Sudah enam tahun, rumah yang dijepit gang sempit ini menjadi "perpustakaan umum" bagi warga.
Melangkah ke dalam rumah, tampak sejumlah anak sibuk menekuri buku di pangkuan. Sementara, yang lain membaca buku sambil tiduran di lantai. Ada juga yang sedang mencoret-coret buku tulis.
Di dinding teras rumah yang terletak di Manggarai, Jakarta Selatan itu, terbentang spanduk bertuliskan "Rumah Baca Zhaffa". Sudah enam tahun, rumah yang dijepit gang sempit ini menjadi "perpustakaan umum" bagi warga.
Melangkah ke dalam rumah, tampak sejumlah anak sibuk menekuri buku di pangkuan. Sementara, yang lain membaca buku sambil tiduran di lantai. Ada juga yang sedang mencoret-coret buku tulis.
Sisanya, memilih bermain lego sambil bercanda dan bersenda gurau. Anak-anak ini tampak tak tertarik menonton televisi yang dipajang di atas meja, tepat di samping mereka.
Pendiri dan pengelola Rumah Baca Zhaffa, Yudi Hartanto (38) mengatakan, rumah baca yang bertempat di rumahnya itu sudah berdiri sejak 24 Agustus 2008. Keinginan yang sudah ia pendam sejak 2006 itu baru terwujud setelah orangtuanya mengizinkannya menggunakan rumah mereka untuk dijadikan taman baca gratis.
Pendiri dan pengelola Rumah Baca Zhaffa, Yudi Hartanto (38) mengatakan, rumah baca yang bertempat di rumahnya itu sudah berdiri sejak 24 Agustus 2008. Keinginan yang sudah ia pendam sejak 2006 itu baru terwujud setelah orangtuanya mengizinkannya menggunakan rumah mereka untuk dijadikan taman baca gratis.
Rumah Baca Zhaffa tak pernah sepi. Beragam usia datang silih berganti. Namun, sebagian besar pengunjung didominasi anak-anak.
Awalnya, ia hanya minta izin menggunakan teras. Namun, ternyata pengunjung memilih membaca di ruang dalam rumahnya yang tak seberapa besar. Alhasil, rumahnya nyaris berubah fungsi menjadi perpustakaan.
“Alasan utama harga buku semakin mahal,” ujar Yudi saat VIVAnews berkunjung ke rumah bacanya pada Selasa malam, 16 Desember 2014.
Menurut dia, kondisi itu menyebabkan masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah sulit mengakses buku dan bahan bacaan. Selain itu, ia sengaja mendirikan rumah baca untuk meningkatkan minat baca anak-anak.
“Jadi, kami dekatkan buku kepada lingkungan, khususnya anak-anak,” ujar alumni STIMIK Nusa Mandiri, Jakarta ini.
Awalnya, rumah baca ini hanya memiliki puluhan buku. Sebagian besar buku pelajaran. Berbekal semangat dan kerja keras, saat ini sudah ada ribuan buku yang menjadi koleksi rumah baca ini. Jenisnya pun lebih beragam, mulai dari buku cerita, komik, ensiklopedi hingga buku tentang resep masakan dan berbagai kiat membuat keterampilan.
Buku-buku tersebut berasal dari sumbangan berbagai kalangan. Namun, tak jarang Yudi merogoh kocek sendiri guna melengkapi koleksi.
Rumah Yudi tak pernah sepi. Puluhan orang beragam usia datang ke rumahnya silih berganti. Namun, sebagian besar pengunjung didominasi anak-anak. Seperti malam ini.
Sejumlah anak berdatangan tak lama setelah Yudi dan istrinya pulang dari tempat kerja. Regina (9) salah seorang "pelanggan" rumah baca ini mengatakan, ia tiap hari datang ke Rumah Baca Zhaffa. Siswi kelas tiga SD Bukit Duri 07, Jakarta Selatan ini bahkan bisa datang dua kali dalam sehari.
“Saya senang datang ke Zhaffa,” ujar anak yang akrab disapa Rere ini. Bacaan kegemarannya adalah komik, buku cerita dan majalah Bobo. Anak yang bercita-cita menjadi pramugari ini bisa khatam dua buku dalam sehari.
Ungkapan senada disampaikan pengunjung lain, Trisna Ajeng Purnama Sari. Siswi yang juga masih duduk di kelas tiga di SD Bukit Duri 04 ini mengaku sudah jadi pelanggan Zhaffa sejak masih duduk di bangku Taman Kanak Kanak (TK). Dia mengaku sudah melahap banyak buku di Zhaffa mulai dari komik, buku cerita hingga majalah olahraga.
Ia mengaku senang datang ke Zhaffa. Alasannya, selain membaca, dia juga bisa bermain. Selain itu, koleksi Zhaffa lebih banyak dibanding perpustakaan sekolahnya.
“Bukunya juga lebih bagus di Zhaffa. Di perpustakaan sekolah hanya buku pelajaran,” ujar anak yang bercita-cita ingin jadi guru ini.
Buku-buku tersebut berasal dari sumbangan berbagai kalangan. Namun, tak jarang Yudi merogoh kocek sendiri guna melengkapi koleksi.
Rumah Yudi tak pernah sepi. Puluhan orang beragam usia datang ke rumahnya silih berganti. Namun, sebagian besar pengunjung didominasi anak-anak. Seperti malam ini.
Sejumlah anak berdatangan tak lama setelah Yudi dan istrinya pulang dari tempat kerja. Regina (9) salah seorang "pelanggan" rumah baca ini mengatakan, ia tiap hari datang ke Rumah Baca Zhaffa. Siswi kelas tiga SD Bukit Duri 07, Jakarta Selatan ini bahkan bisa datang dua kali dalam sehari.
“Saya senang datang ke Zhaffa,” ujar anak yang akrab disapa Rere ini. Bacaan kegemarannya adalah komik, buku cerita dan majalah Bobo. Anak yang bercita-cita menjadi pramugari ini bisa khatam dua buku dalam sehari.
Ungkapan senada disampaikan pengunjung lain, Trisna Ajeng Purnama Sari. Siswi yang juga masih duduk di kelas tiga di SD Bukit Duri 04 ini mengaku sudah jadi pelanggan Zhaffa sejak masih duduk di bangku Taman Kanak Kanak (TK). Dia mengaku sudah melahap banyak buku di Zhaffa mulai dari komik, buku cerita hingga majalah olahraga.
Ia mengaku senang datang ke Zhaffa. Alasannya, selain membaca, dia juga bisa bermain. Selain itu, koleksi Zhaffa lebih banyak dibanding perpustakaan sekolahnya.
“Bukunya juga lebih bagus di Zhaffa. Di perpustakaan sekolah hanya buku pelajaran,” ujar anak yang bercita-cita ingin jadi guru ini.
Saat ini sudah ada ribuan buku yang menjadi koleksi Rumah Baca Zhaffa, jenisnya pun beragam. (Foto: VIVAnews/Mustakim)
Antusiasme warga dan anak-anak untuk membaca di rumah baca Manggarai itu justru tidak terlihat di Perpustakaan Nasional. Di gedung perpustakaan yang terletak di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat ini tampak sepi. Padahal, jarum jam di tangan masih menunjuk angka dua siang.
Lokasi parkir sepeda motor yang terletak di bagian depan sisi kiri gedung juga tampak lengang. Hanya ada belasan sepeda motor yang terparkir.
Ada lima gedung di kompleks ini, yakni gedung A, B, C, D dan E. Serta gedung utama yang menjadi kantor sekretariat Perpusnas. Gedung B, C, dan D terdiri atas delapan lantai. Gedung A bagian depan difungsikan untuk ISBN.
Di lantai dasarnya terdapat sejumlah buku, majalah, koran, tabloid, dan bahan bacaan lain. Hanya ada belasan pengunjung yang tampak duduk di belakang meja di dalam perpustakaan yang rapi ini. Mayoritas dari mereka terlihat membaca koran, majalah dan tabloid. Hanya beberapa orang yang membaca buku.
“Di sini ribet. Yang boleh dibaca hanya satu-satu buku doang,” ujar Talitha Putri Ardella, salah seorang pengunjung kepada VIVAnews, Kamis, 18 Desember 2014.
Mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta ini mengaku terpaksa datang ke Perpusnas, karena harus mencari tesis dosennya. Ia juga mengeluhkan lokasi gedung perpustakaan yang berjauhan.
“Di sini gedungnya terlalu banyak, dan jaraknya berjauhan. Buku-buku penting saya cari tidak ada di gedung ini, adanya di gedung lain. Tempatnya jauh di belakang,” ujarnya mengeluh. Akhirnya, dia hanya bertahan satu jam dan memilih pulang.
Kondisi ini seolah membenarkan survei Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO). Jajak pendapat yang dilakukan lembaga ini menunjukkan fakta yang tak menggembirakan terkait minat baca masyarakat Indonesia.
Sebab, survei itu menunjukkan minat baca orang Indonesia paling rendah di ASEAN. Sementara itu, survei yang dilakukan terhadap 39 negara di dunia, rasio antara konsumsi satu surat kabar dengan jumlah pembaca, negara Indonesia menduduki urutan ke-38.
Berdasarkan rasio penduduk, idealnya satu surat kabar dibaca oleh 10 orang (1:10). Di Indonesia, satu surat kabar dikonsumsi oleh 45 orang (1:45).
Survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan penurunan minat baca masyarakat. Berdasarkan hasil survei 2006-2012, untuk surat kabar ada tren penurunan.
Pada 2006, persentase orang yang membaca ada 19,98, selanjutnya untuk 2009 turun menjadi 16,26, dan 2012 menjadi 15,06. Penurunan jumlah pembaca juga terjadi terhadap tabloid/majalah.
Persentase masyarakat yang membaca tabloid/majalah berkurang, dari 11,26 persen pada 2006, turun menjadi 7,45 persen pada 2009, dan 6,92 persen selama 2012.
Sementara itu, untuk pembaca buku cerita cenderung stabil. Pada 2006, angkanya sebesar 6,46 persen, turun jadi 4,58 persen pada 2009, dan naik lagi menjadi 5,01 persen untuk 2012. Selanjutnya, yang membaca buku pelajaran sekolah meningkat, dari 18,27 persen pada 2006 menjadi 19,13 persen selama 2009, dan 20,48 persen pada 2012.
“Untuk masyarakat yang membaca buku pengetahuan, pada 2006 angkanya sebesar 13,21 persen, 2009 angkanya 12,7 persen, dan 14,08 persen pada 2012,” ujar Deputi Bidang Statistik Sosial, BPS, Wynandin Imawan kepada VIVAnews, Kamis, 18 Desember 2014.
Chief Executive Officer (CEO) Penerbit ReneBook dan Turos Pustaka, Luqman Hakim Arifin (37), membenarkan. Menurut dia, dari sisi penjualan buku, minat baca orang Indonesia memang relatif masih rendah.
Asumsi tersebut didasarkan pada rata-rata jumlah judul buku baru yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia yang hanya sekitar 24.000 judul per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Artinya, dalam setahun hanya ada 72 juta buku yang diproduksi.
Bila jumlah itu dibeli dan dibaca semua (100 persen), berarti 1 buku dibaca oleh 3-4 orang. Sementara itu, standar Unicef, sebuah negara dianggap memiliki tingkat membaca yang bagus apabila 1 buku dibaca oleh 5 orang. Padahal, faktanya tidak semua buku yang beredar laku dan dibaca.
“Nah, dari sisi perbukuan, saya sepakat bahwa minat baca masyarakat kita masih rendah,” ujarnya kepada VIVAnews melalui surat elektronik.
Pakar pendidikan Prof. DR. Said Hamid Hasan MA menilai, budaya baca masyarakat Indonesia memang kurang. Menurut dia, sejumlah penelitian menunjukkan minat baca bangsa ini rendah. Menurut dia, hal itu terjadi karena pendidikan di Indonesia tidak melatih peserta didik untuk terbiasa membaca. Anak didik hanya sebatas membaca buku teks.
“Ini yang menyebabkan minat baca berkurang,” ujar guru besar asal Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung ini, Kamis, 18 Desember 2014.
Hal senada disampaikan pengamat pendidikan Darmaningtyas. Menurut dia, sejumlah negara mewajibkan anak didiknya untuk membaca buku. Di Thailand Selatan misalnya. Murid SMA di Negeri Gajah Putih itu wajib membaca minimal lima buku.
Sementara itu, Malaysia dan Singapura minimal enam buku. Di Brunei Darussalam minimal tujuh buku, Rusia 12 buku, Kanada 13 buku, Jepang 15 buku, Swiss 15 buku, Jerman 22 buku, Prancis 30 buku, Belanda 30 buku, dan Amerika Serikat 32 buku. Namun, dalam Kurikulum 2013 tidak ada ketentuan yang mewajibkan murid SMP dan SMA harus membaca sejumlah buku.
Pegiat literasi Faiz Ahsoul mengatakan, kebijakan dan kurikulum pendidikan di Indonesia masih mencetak siswa sekadar menjadi alat pelengkap dan tukang untuk kepentingan industri dan birokrasi pemerintahan. Bukan mendidik siswa untuk mampu berdikari dan berpikir secara kritis dan melek literasi.
Menurut dia, untuk melek literasi sebuah bangsa harus melewati tiga tahap, yaitu melek tutur, dengar, dan menyimak (audio). Tahap kedua adalah melek tradisi baca dan tulis. Dan ketiga melek audio visual dan digital.
Sebuah bangsa yang sudah melewati ketiga tahapan itu secara runtut melalui dunia pendidikan, akan melek literasi. Namun, di Indonesia, tahapan itu tak berjalan linear. Belum melalui tahap literasi langsung ke tahap audio visual.
“Tahap literasi tidak tergarap secara baik karena kebijakan pemerintah yang jongkok akan pentingnya melek literasi,” ujarnya.
Akses Bahan Bacaan
Selain pendidikan, akses masyarakat terhadap bahan bacaan dituding menjadi salah satu penyebab rendahnya minat baca masyarakat. Menurut Said Hamid, masyarakat masih terbelenggu dengan kebutuhan dasar.
Kondisi itu menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk membeli makan dibanding buku. Ia membantah masyarakat malas membaca. Menurut dia, masyarakat tidak malas, hanya belum terlatih dan terbiasa.
Perpusnas juga membantah minat baca orang Indonesia rendah. Kepala Humas Perpusnas Agus Sutoyo mengatakan, tiap hari ada sekitar 900 orang yang menyambangi perpustakaan untuk memanfaatkan koleksi, membaca atau sekadar mendaftar menjadi anggota. Menurut dia, yang menjadi persoalan adalah akses masyarakat terhadap bahan bacaan.
“Yang rendah bukan minat bacanya, tetapi bahan bacaan yang dibaca kurang,” ujarnya saat ditemui VIVAnews di kantornya, Kamis, 18 Desember 2014.
Ia mencontohkan, masyarakat di pedalaman sangat antusias saat kapal perpustakaan keliling menyambangi mereka. Menurut dia, saat kapal merapat, masyarakat berbondong-bondong datang, bahkan rela menunggu.
Karena, bagi masyarakat di pedalaman, bahan bacaan merupakan barang langka. Agus mengatakan, saat kapal merapat ke masyarakat, khususnya ibu-ibu langsung berebut majalah.
“Jadi, pada saat kapal merapat di dermaga, yang dikejar majalah. Walaupun nggak banyak yang baru,” dia menambahkan.
Ia juga mengklaim, mobil perpustakaan keliling yang beredar di daerah selalu ramai dikunjungi masyarakat. Distribusi bahan bacaan juga dinilai tak merata.
Chief Executive Officer (CEO) Penerbit ReneBook dan Turos Pustaka, Luqman Hakim Arifin (37), membenarkan. Menurut dia, dari sisi penjualan buku, minat baca orang Indonesia memang relatif masih rendah.
Asumsi tersebut didasarkan pada rata-rata jumlah judul buku baru yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia yang hanya sekitar 24.000 judul per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Artinya, dalam setahun hanya ada 72 juta buku yang diproduksi.
Bila jumlah itu dibeli dan dibaca semua (100 persen), berarti 1 buku dibaca oleh 3-4 orang. Sementara itu, standar Unicef, sebuah negara dianggap memiliki tingkat membaca yang bagus apabila 1 buku dibaca oleh 5 orang. Padahal, faktanya tidak semua buku yang beredar laku dan dibaca.
“Nah, dari sisi perbukuan, saya sepakat bahwa minat baca masyarakat kita masih rendah,” ujarnya kepada VIVAnews melalui surat elektronik.
Pakar pendidikan Prof. DR. Said Hamid Hasan MA menilai, budaya baca masyarakat Indonesia memang kurang. Menurut dia, sejumlah penelitian menunjukkan minat baca bangsa ini rendah. Menurut dia, hal itu terjadi karena pendidikan di Indonesia tidak melatih peserta didik untuk terbiasa membaca. Anak didik hanya sebatas membaca buku teks.
“Ini yang menyebabkan minat baca berkurang,” ujar guru besar asal Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung ini, Kamis, 18 Desember 2014.
Hal senada disampaikan pengamat pendidikan Darmaningtyas. Menurut dia, sejumlah negara mewajibkan anak didiknya untuk membaca buku. Di Thailand Selatan misalnya. Murid SMA di Negeri Gajah Putih itu wajib membaca minimal lima buku.
Sementara itu, Malaysia dan Singapura minimal enam buku. Di Brunei Darussalam minimal tujuh buku, Rusia 12 buku, Kanada 13 buku, Jepang 15 buku, Swiss 15 buku, Jerman 22 buku, Prancis 30 buku, Belanda 30 buku, dan Amerika Serikat 32 buku. Namun, dalam Kurikulum 2013 tidak ada ketentuan yang mewajibkan murid SMP dan SMA harus membaca sejumlah buku.
Pegiat literasi Faiz Ahsoul mengatakan, kebijakan dan kurikulum pendidikan di Indonesia masih mencetak siswa sekadar menjadi alat pelengkap dan tukang untuk kepentingan industri dan birokrasi pemerintahan. Bukan mendidik siswa untuk mampu berdikari dan berpikir secara kritis dan melek literasi.
Menurut dia, untuk melek literasi sebuah bangsa harus melewati tiga tahap, yaitu melek tutur, dengar, dan menyimak (audio). Tahap kedua adalah melek tradisi baca dan tulis. Dan ketiga melek audio visual dan digital.
Sebuah bangsa yang sudah melewati ketiga tahapan itu secara runtut melalui dunia pendidikan, akan melek literasi. Namun, di Indonesia, tahapan itu tak berjalan linear. Belum melalui tahap literasi langsung ke tahap audio visual.
“Tahap literasi tidak tergarap secara baik karena kebijakan pemerintah yang jongkok akan pentingnya melek literasi,” ujarnya.
Akses Bahan Bacaan
Selain pendidikan, akses masyarakat terhadap bahan bacaan dituding menjadi salah satu penyebab rendahnya minat baca masyarakat. Menurut Said Hamid, masyarakat masih terbelenggu dengan kebutuhan dasar.
Kondisi itu menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk membeli makan dibanding buku. Ia membantah masyarakat malas membaca. Menurut dia, masyarakat tidak malas, hanya belum terlatih dan terbiasa.
Perpusnas juga membantah minat baca orang Indonesia rendah. Kepala Humas Perpusnas Agus Sutoyo mengatakan, tiap hari ada sekitar 900 orang yang menyambangi perpustakaan untuk memanfaatkan koleksi, membaca atau sekadar mendaftar menjadi anggota. Menurut dia, yang menjadi persoalan adalah akses masyarakat terhadap bahan bacaan.
“Yang rendah bukan minat bacanya, tetapi bahan bacaan yang dibaca kurang,” ujarnya saat ditemui VIVAnews di kantornya, Kamis, 18 Desember 2014.
Ia mencontohkan, masyarakat di pedalaman sangat antusias saat kapal perpustakaan keliling menyambangi mereka. Menurut dia, saat kapal merapat, masyarakat berbondong-bondong datang, bahkan rela menunggu.
Karena, bagi masyarakat di pedalaman, bahan bacaan merupakan barang langka. Agus mengatakan, saat kapal merapat ke masyarakat, khususnya ibu-ibu langsung berebut majalah.
“Jadi, pada saat kapal merapat di dermaga, yang dikejar majalah. Walaupun nggak banyak yang baru,” dia menambahkan.
Ia juga mengklaim, mobil perpustakaan keliling yang beredar di daerah selalu ramai dikunjungi masyarakat. Distribusi bahan bacaan juga dinilai tak merata.
Praktisi penerbitan, Ade Ma’ruf mengatakan, distribusi bacaan di negeri ini masih bergantung pada stakeholder perbukuan (pemerintah, penerbit, toko buku, perpustakaan). Menurut dia, minat baca masyarakat bisa tumbuh jika bahan bacaan tersedia.
“Masalahnya bacaan tidak tersedia di semua sudut negeri ini. Dan itu karena stakeholderperbukuan belum mendistribusikannya dengan tepat,” ujar pria yang sudah malang melintang di dunia penerbitan ini.
Menurut Ade, para penerbit dan toko buku selalu berkelit di balik kalkulasi bisnis. Sementara itu, pemerintah melalui lembaga-lembaga pendidikan hanya mampu menjangkau jejaring penyedia bacaan formal, termasuk perpustakaan sekolah.
“Yang justru penting menurut saya adalah ketersediaan bacaan di luar toko buku dan perpustakaan sekolah,” kata dia.
Sulitnya akses bahan bacaan juga disampaikan 1001 Buku, sebuah komunitas yang concernmenyuplai buku-buku ke taman bacaan. Ama Erithia, salah satu relawan di 1001 Buku mengatakan, salah satu alasan mendasar berdirinya komunitas 1001 Buku karena mereka melihat distribusi buku yang tak merata.
Ada sebagian orang yang tak bisa mengakses buku. Sementara itu, di sisi lain ada orang yang membiarkan bukunya tergeletak begitu saja atau hanya disimpan di lemari dan gudang.
“Menurut pengamatan kami, bukan minat bacanya yang rendah, namun akses bacanya yang kurang,” ujar karyawan swasta di salah satu konsultan pendidikan ini.
Memulung Buku
Berawal dari kondisi itu Ama dan sejumlah temannya mendirikan komunitas 1001 Buku. Komunitas ini sebenarnya sudah diinisiasi sejak 2002. Namun, baru diluncurkan pada 10 Januari 2003.
Misi utama dari komunitas yang beranggotakan beragam kalangan ini adalah mendistribusikan bahan bacaan untuk orang-orang yang membutuhkan. Upaya itu dilakukan agar akses bahan bacaan dapat dinikmati oleh seluruh orang Indonesia secara merata. Aktivitas utama komunitas ini adalah "memulung buku".
Mereka mengumpulkan buku dari berbagai lokasi atau sumber. Kemudian, buku-buku tersebut disortir untuk kemudian dibagikan ke taman-taman baca jaringan 1001 Buku. “Selain itu, kami mengadakan dan mendukung kampanye yang berhubungan dengan literasi dan minat baca,” ujar Ama.
Taman baca tak perlu membayar, karena buku-buku tersebut dibagikan secara cuma-cuma. Juga tak ada bantuan dan campur tangan pemerintah dalam aksi ini.
“Masalahnya bacaan tidak tersedia di semua sudut negeri ini. Dan itu karena stakeholderperbukuan belum mendistribusikannya dengan tepat,” ujar pria yang sudah malang melintang di dunia penerbitan ini.
Menurut Ade, para penerbit dan toko buku selalu berkelit di balik kalkulasi bisnis. Sementara itu, pemerintah melalui lembaga-lembaga pendidikan hanya mampu menjangkau jejaring penyedia bacaan formal, termasuk perpustakaan sekolah.
“Yang justru penting menurut saya adalah ketersediaan bacaan di luar toko buku dan perpustakaan sekolah,” kata dia.
Sulitnya akses bahan bacaan juga disampaikan 1001 Buku, sebuah komunitas yang concernmenyuplai buku-buku ke taman bacaan. Ama Erithia, salah satu relawan di 1001 Buku mengatakan, salah satu alasan mendasar berdirinya komunitas 1001 Buku karena mereka melihat distribusi buku yang tak merata.
Ada sebagian orang yang tak bisa mengakses buku. Sementara itu, di sisi lain ada orang yang membiarkan bukunya tergeletak begitu saja atau hanya disimpan di lemari dan gudang.
“Menurut pengamatan kami, bukan minat bacanya yang rendah, namun akses bacanya yang kurang,” ujar karyawan swasta di salah satu konsultan pendidikan ini.
Memulung Buku
Berawal dari kondisi itu Ama dan sejumlah temannya mendirikan komunitas 1001 Buku. Komunitas ini sebenarnya sudah diinisiasi sejak 2002. Namun, baru diluncurkan pada 10 Januari 2003.
Misi utama dari komunitas yang beranggotakan beragam kalangan ini adalah mendistribusikan bahan bacaan untuk orang-orang yang membutuhkan. Upaya itu dilakukan agar akses bahan bacaan dapat dinikmati oleh seluruh orang Indonesia secara merata. Aktivitas utama komunitas ini adalah "memulung buku".
Mereka mengumpulkan buku dari berbagai lokasi atau sumber. Kemudian, buku-buku tersebut disortir untuk kemudian dibagikan ke taman-taman baca jaringan 1001 Buku. “Selain itu, kami mengadakan dan mendukung kampanye yang berhubungan dengan literasi dan minat baca,” ujar Ama.
Taman baca tak perlu membayar, karena buku-buku tersebut dibagikan secara cuma-cuma. Juga tak ada bantuan dan campur tangan pemerintah dalam aksi ini.
Menurut Ama, saat ini ada sekitar 320 taman baca yang mendapat bantuan buku dari komunitas ini. Salah satunya, Rumah Baca Zhaffa. Yudi mengatakan, 1001 Buku rutin menyuplai buku ke taman baca yang ia kelola.
Rumah Baca Zhaffa senasib dengan 1001 Buku. Upaya mereka "mencerdaskan kehidupan bangsa" tak mendapat uluran tangan negara. Yudi mengatakan, ia harus merogoh dana pribadi untuk operasional rumah bacanya.
Menurut dia, uang menjadi salah satu kendala. Sebab, gajinya sebagai salah satu staf IT di Sekolah Alam Cikeas tak mampu menyokong semua kebutuhan operasional rumah baca, seperti membuat rak, merawat buku agar tak rusak dan juga untuk mengongkosi berbagai aktivitas rumah baca ini.
Untuk itu, ia berharap, pemerintah bisa mendukung upaya para pegiat taman baca yang sedang tumbuh. Menurut dia, pemerintah mungkin tak bisa mendirikan taman bacaan di tiap daerah.
Namun, pemerintah bisa membantu rumah baca yang sudah ada. Sebab, apa yang mereka lakukan membantu pemerintah dalam meningkatkan minat baca masyarakat dan meningkatkan daya saing bangsa.
Rere, Ajeng, dan teman-temannya masih asyik membaca serta bermain. Mereka seolah enggan beranjak pulang, meski hari sudah mulai merangkak malam. Tawa renyah mereka masih terdengar dari kejauhan. v
Rumah Baca Zhaffa senasib dengan 1001 Buku. Upaya mereka "mencerdaskan kehidupan bangsa" tak mendapat uluran tangan negara. Yudi mengatakan, ia harus merogoh dana pribadi untuk operasional rumah bacanya.
Menurut dia, uang menjadi salah satu kendala. Sebab, gajinya sebagai salah satu staf IT di Sekolah Alam Cikeas tak mampu menyokong semua kebutuhan operasional rumah baca, seperti membuat rak, merawat buku agar tak rusak dan juga untuk mengongkosi berbagai aktivitas rumah baca ini.
Untuk itu, ia berharap, pemerintah bisa mendukung upaya para pegiat taman baca yang sedang tumbuh. Menurut dia, pemerintah mungkin tak bisa mendirikan taman bacaan di tiap daerah.
Namun, pemerintah bisa membantu rumah baca yang sudah ada. Sebab, apa yang mereka lakukan membantu pemerintah dalam meningkatkan minat baca masyarakat dan meningkatkan daya saing bangsa.
Rere, Ajeng, dan teman-temannya masih asyik membaca serta bermain. Mereka seolah enggan beranjak pulang, meski hari sudah mulai merangkak malam. Tawa renyah mereka masih terdengar dari kejauhan. v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar