Caroline Damanik | Benny N Joewono
RUMGAPRES/ABROR RIZKIPresiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono.
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com — Penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan merosotnya kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Peneliti senior Sunarto Ciptoharjono mengatakan, hasil ini disebabkan kekecewaan di sana-sini dari berbagai kelompok masyarakat terhadap Presiden keenam Republik Indonesia tersebut.
"Ini faktor pertama, adanya kekecewaan di beberapa komunitas terhadap kasus-kasus yang tak tuntas," katanya di kantor LSI, Minggu (26/6/2011).
Sunarto menyebutkan, kelompok pertama yang kecewa adalah komunitas pembela hak asasi manusia, seperti kasus pembunuhan Munir. "Di awal pemerintah ingin tuntaskan, tapi sampai sekarang tak terjawab dalangnya sampai sekarang. Kasus itu tidak clear sampai saat ini," tambahnya.
Komunitas yang juga kecewa adalah komunitas politik yang kecewa dengan tak terungkapnya kasus besar dana bail out Bank Century. Pertanyaan ke mana larinya dana Rp 6,7 triliun tak kunjung terjawab.
Komunitas prokeberagaman agama dan pluralisme juga kecewa, contohnya dalam kasus pembunuhan aktivis Ahmadiyah. Menurut Sunarto, Presiden SBY selalu menjanjikan pembubaran organisasi-organisasi yang radikal, namun hal itu hanya berhenti pada tataran wacana.
Realisasinya nol bahkan isu kekerasan terhadap komunitas dan ekstremisme makin tinggi. Komunitas lain yang juga kecewa adalah komunitas antikorupsi, terutama dalam menanggapi kasus yang melibatkan mantan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin dan petinggi Demokrat lainnya.
Sunarto mengatakan, SBY sejak awal sudah berjanji berdiri dalam garda depan pemberantasan korupsi. Sayangnya, kasus Nazaruddin menunjukkan korupsi terjadi di jantung partainya sendiri.
"Publik kemudian menebak-nebak ada apa dengan Nazaruddin. Sengaja diamankan atau betulan sakit karena tidak ada penanganan yang sistematis terhadap Nazaruddin, maka berkembang imajinasi di persepsi publik, di balik Nazaruddin itu ada kunci kotak pandora di mana banyak pejabat publik yang terlibat. Faktor-faktor inilah yang turut menyumbang terhadap merosotnya kinerja pemerintahan SBY," katanya.
Kekecewaan komunitas-komunitas ini diperburuk pula dengan kekecewaan publik terhadap sikap Presiden SBY yang terlalu reaktif dan gemar curhat ketika menanggapi kasus-kasus yang bukan "kelasnya presiden", seperti reaksi terhadap pesan singkat yang dinilai telah memfitnah Presiden SBY serta curhat soal gaji Presiden.
"Misalnya, reaktif terhadap SMS yang menyerang pribadi. Coba kita bayangkan dari SMS yang beredar hanya hitungan beberapa hari, SBY lalu beri tanggapan resmi. Bandingkan dgn kasus dipancungnya TKI kita di Arab Saudi. SBY baru tanggapi secara resmi beberapa hari kemudian. Tentu lebih reaktif terhadap SMS yang menyerang pribadi," katanya.
"Sebagai presiden harusnya tak perlu tanggapi hal-hal yang secara teknis, harusnya cukup dilaksanakan oleh bawahannya," tambah Sunarto kemudian.
Peneliti senior Sunarto Ciptoharjono mengatakan, hasil ini disebabkan kekecewaan di sana-sini dari berbagai kelompok masyarakat terhadap Presiden keenam Republik Indonesia tersebut.
"Ini faktor pertama, adanya kekecewaan di beberapa komunitas terhadap kasus-kasus yang tak tuntas," katanya di kantor LSI, Minggu (26/6/2011).
Sunarto menyebutkan, kelompok pertama yang kecewa adalah komunitas pembela hak asasi manusia, seperti kasus pembunuhan Munir. "Di awal pemerintah ingin tuntaskan, tapi sampai sekarang tak terjawab dalangnya sampai sekarang. Kasus itu tidak clear sampai saat ini," tambahnya.
Komunitas yang juga kecewa adalah komunitas politik yang kecewa dengan tak terungkapnya kasus besar dana bail out Bank Century. Pertanyaan ke mana larinya dana Rp 6,7 triliun tak kunjung terjawab.
Komunitas prokeberagaman agama dan pluralisme juga kecewa, contohnya dalam kasus pembunuhan aktivis Ahmadiyah. Menurut Sunarto, Presiden SBY selalu menjanjikan pembubaran organisasi-organisasi yang radikal, namun hal itu hanya berhenti pada tataran wacana.
Realisasinya nol bahkan isu kekerasan terhadap komunitas dan ekstremisme makin tinggi. Komunitas lain yang juga kecewa adalah komunitas antikorupsi, terutama dalam menanggapi kasus yang melibatkan mantan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin dan petinggi Demokrat lainnya.
Sunarto mengatakan, SBY sejak awal sudah berjanji berdiri dalam garda depan pemberantasan korupsi. Sayangnya, kasus Nazaruddin menunjukkan korupsi terjadi di jantung partainya sendiri.
"Publik kemudian menebak-nebak ada apa dengan Nazaruddin. Sengaja diamankan atau betulan sakit karena tidak ada penanganan yang sistematis terhadap Nazaruddin, maka berkembang imajinasi di persepsi publik, di balik Nazaruddin itu ada kunci kotak pandora di mana banyak pejabat publik yang terlibat. Faktor-faktor inilah yang turut menyumbang terhadap merosotnya kinerja pemerintahan SBY," katanya.
Kekecewaan komunitas-komunitas ini diperburuk pula dengan kekecewaan publik terhadap sikap Presiden SBY yang terlalu reaktif dan gemar curhat ketika menanggapi kasus-kasus yang bukan "kelasnya presiden", seperti reaksi terhadap pesan singkat yang dinilai telah memfitnah Presiden SBY serta curhat soal gaji Presiden.
"Misalnya, reaktif terhadap SMS yang menyerang pribadi. Coba kita bayangkan dari SMS yang beredar hanya hitungan beberapa hari, SBY lalu beri tanggapan resmi. Bandingkan dgn kasus dipancungnya TKI kita di Arab Saudi. SBY baru tanggapi secara resmi beberapa hari kemudian. Tentu lebih reaktif terhadap SMS yang menyerang pribadi," katanya.
"Sebagai presiden harusnya tak perlu tanggapi hal-hal yang secara teknis, harusnya cukup dilaksanakan oleh bawahannya," tambah Sunarto kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar