Jakarta, Singgalang Terpidana kasus penghinaan RS Omni Internasional, Prita Mulyasari menyambangi Komisi III DPR RI, mengadukan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan dirinya terbukti me lakukan pencemaran nama baik. Prita diterima Wakil Ketua Komisi III DPR, Azis Syamsudin di ruang rapat komisi Gedung Nusantara I DPR RI, Selasa (12/7). Kedatangan Prita ke komisi yang membidangi hukum itu, didam pingi sejumlah advokat dari Kantor Hukum OC Kaligis, dipimpin Slamet Yuwono. Prita divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Putusan ini dinilainya janggal, karena dalam perkara perdata kasus yang sama (RS Omni melawan Prita), MA justru memenangkan Prita. “Saya hanya rakyat biasa. Saya harus menghadapi perkara hukum yang tidak pasti. Sebelumnya, saya sudah dinyatakan tidak bersalah. Saya tak tahu ujungnya di mana. Tujuan saya ke sini, mohon waktu bapak atau ibu memperkenankan saya untuk mengeluhkan hal ini,” ujarnya. Menanggapi keluhan Prita, Azis Syamsudin mengatakan bahwa Komisi III DPR akan meminta penjelasan dari Jaksa Agung Basrief Arief terkait dasar pengajuan kasasi pada kasus Prita. Dia juga mengungkapkan keprihatinan Komisi III atas putusan yang diterima Prita. “Dalam rapat kerja dengan Kejaksaan Agung pada 18 Juli 2011 mendatang kasus Prita akan menjadi bahan untuk diagendakan. Kenapa jaksa untuk putusan yang sudah dinyatakan bebas kok masih diajukan kasasi. Peristiwa ini juga akan menjadi catatan dalam revisi RUU KUHAP,” kata politisi dari Partai Golkar itu lagi. Tentang desakan Komisi III memanggil MA, menurut Aziz tidak bisa dilakukan. Jadi, sifatnya adalah rapat konsultasi. “Soal kapan hal itu dilaksanakan, kita masih menunggu salinan putusan MA. Pengacara saja belum terima salinan putusan itu. Dalam rapat konsultasi itu diharapakan hakim agung yang mengambil putusan dalam perkara Prita itu akan memberi keterangan,” ujarnya. Saan Mustopa dari Fraksi Partai Demokrat juga merasa prihatin dengan apa yang sedang menimpa Prita. Dia mengusulkan agar Komisi III segera melakukan rapat konsultasi dengan MA dan menyampaikan dukungan Komisi III atas langkah yang ditempuh Prita. “Komisi III berupaya semaksimal mungkin apa yang dialami Prita cepat selesai dan tidak terulang. Dan dijadikan sebuah pelajaran untuk penagakan hukum lainnya, kasus Prita hanya salah satu kasus masyarakat yang diperlukan tak adil,” jelasnya. Saan mengkritik sensitifitas lembaga peradilan yang hanya melihat fakta hukum yang hitam putih tanpa rasa keadilan, dan perkembangan di masyarakat yang seharusnya dasar pertimbangan dalam memutus perkara. Dalam pertemuan itu kuasa hukum Prita, Slamet Yuwono memaparkan dalam pu tusan perkara perdata yang langsung dipimpin oleh Ketua MA Arifin Tumpa di tingkat kasasi, Prita disebut hanya mengeluh dan tidak ada niat menghina dan tidak memiliki itikad buruk untuk menghina. Ini hanya keluhan pasien atas buruknya pelayanan RS, namun di perkara pidana diputuskan terbukti ada penghinaan. “Ada pertentangan antara perkara pidata dan perdata. Agar ada kepastian hukum, kami mohon memanggil hakim agung kenapa bisa memutuskan berbeda dengan perkara perdata. Apakah ada pelanggaran kode etik hakim. Kalau ada supaya Komisi III menyampaikannya ke MA supaya tidak ada lagi kasus seperti ini,” terangnya. (503) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar