Rusmel Dt. Sati/Yasrizal
RUAS jalan raya Solok-Padang yang berhiaskan lembah dan pebukitan bukit hijau bagai lukisan hidup di kanvas alam. Dari kejauhan sayup terdengar raungan knalpot truk ‘bersenandung’ lewat semilir angin mengabarkan kehidupan. Sebuah romansa menyelusup kidung senja, tatkala pendakian Sitinjau Laut tersendat macet, tertatih-tatih mengiringi putaran roda yang melantunkan irama kering.
Di sebuah kelokan tajam sebuah truk terhenyak lesu. Wandy, 38, sopir truk sarat muatan batubara melompot turun sembari berlari ke belakang menyaksikan gerobak besinya yang tertahan tebing.
“Masih untung ada tebing, kalu tidak entah bagaimana ceritanya ini,” kata sopir itu ketika Singgalang menghampirinya, Jumat (5/8) lalu.
Sopir yang mengaku telah 15 tahun menempuh jalur Solok-Padang dengan muatan batubara dari kawasan ilia (Sijunjung-Red) itu menyebutkan aktivitasnya yang bagai bersabung nyawa. Terutama ketika melewati jalan antara Lubuk Selasi dan Lubuk Paraku, menjadi tantangan paling berat bagi sopir-sopir truck.
“Itu ada dua truk yang terjun ke jurang. Lihatlah ke sana, bagaimana kami para sopir memperjuangkan kehidupan, “ ujarnya
Sejurus, di belokan dekat batas Kota Padang dengan Kabupaten Solok, bau sengak menjalar dari jarak sekitar 15 meter. Kerumunan orang berjejar di tebing sebelah kiri arah ke Padang. Singgalang yang ikut memantau kejadian itu, menyaksikan sebuah truk warna putih yang konon bermuatan ikan terpuruk di kedalaman hampir 50 meter dari pinggir jalan.
Dari informasi yang diperoleh tidak ada korban jiwa. Belum kelihatan sesiang itu petugas lalu lintas yang berada di lokasi kecelakaan itu. Namun dari orang-orang yang menyaksikan, truk dalam keadaan terkapar di lembah sunyi itu, diperkirakan kejadian berlangsung antara subuh dan pagi hari.
“Belum dikenali siapa pengemudinya dan bagaimana nasibnya,” tutur salah seorang pengguna lalu lintas yang sengaja berhenti menyaksikan musibah itu.
Ditempat lain, dalam wak tu yang bersamaan sebuah truk Fuso yang juga tidak diketahui nomor polisinya juga mengalami hal yang sama. Truk yang ditengarai bermuatan batubara itu terjun bebas ke jurang di dekat Panorama II. Tidak diketahui juga akibat dari kecelakaan itu, apakah ada korban jiwa atau tidak. Namun dipastikan kondisi truk bagian depan dalam keadaan remuk.
Yang dapat diungkap adalah bagaimana tingginya risiko para sopir truk yang saban waktu melintas jalur Solok-Padang, terutama ketika meliwati kawasan Aie Sirah dengan Lubuk Peraku.
Bermenung-menung tentang kehidupan para sopir, sangat dilematis kalau akhirnya bersentuhan dengan pebatasan tonase truk.
Tak hendak melawan kebijakan Herman, 34, sopir truk yang mengangkut biji besi dari Bangko Jambi tujuan Teluk Bayur, mengaku letih kalau kebijakan itu tak ditangguhkan sampai benar-benar para sopir dan pengusaha siap menghadapi perubahan itu.
“Untng ruginya memang ada dengan pembatasan muatan itu. Tapi bagi kami sopir yang hidup bersabung nyawa lebih banyak merasakan ruginya, karena upah jelas berkurang, sedangkan risiko maut tetap mengintai, “ kata Herman.
Lelaki muda yang mengaku asal Pulau Punjung itu menyebutkan bukan masalah pembatasan tonase yang merisaukan, lebih kepada ketaatan petugas yang sama sekali belum siapnya menghadapi kebijakan itu. Bahkan oleh petugas, kadang pembatasan tonase kerap dijadikan alasan untuk menangkap truk bermuatan lebih.
“Kalau sama-sama taat aturan, tidak mengapa juga. Tetapi bukan omong kosong kalau pada malam hari petugas bahkan tetap membiarkan truk lewat walaupun bermuatan lebih, “ kata Herman saat berbincang dengan Singgalang, di Lubuk Selasih.
Kemudian seperti berkeluh kesah, Herman mengabarkan pula soal tingkah petugas Jembatan Timbang Oto (JTO) yang melakukan tilang (tindakan langsung) terhadap truk bermuatan lebih.
“Kalau lewat truk bermuatan lebih, bak melihat asam oleh petugas,” keluhnya.
Benar, di mata aturan pihak sopir salah dalam mengangkut beban muatan, tapi itu dilakukan berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi di jalan. Terlebih menghadapi lebaran yang sebentar lagi menuntut kebutuhan besar, membuat para sopir mencari upah untuk kebutuhan belanja anak-istri.
“Aturan hanya berlaku siang, tapi kalau lewat tengah malam, truk bermuatan lebih bisa dilepas dengan alasan membuat macet lalu lintas,” kata Herman.
Apa artinya semua itu? Sopir truk ingin mengabarkan, konsistensi kebijakan pembatasan tonase ternyata tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Karena itu para sopir berhendak agar kebijakan itu diurungkan saja bila pungutan liar tidak dapat dihentikan.
“Kami bersabung nyawa di jalan, tetapi dilain sisi kami juga menjadi santapan peraturan itu sendiri,” kata Syafril, sopir truk pengangkut biji besi lainnya.
Dilematis memang, antara peraturan pembatasan tonase dengan tantangan sopir yang seolah bersabung nyawa. Sedangkan tuntutan kebutuhan keluarga terus bermunculan seiring putaran roda truk itu sendiri. Para sopir itu sendiri tidak mengerti dengan analisa-analisa yang memakai kacamata matematis dan pertumbuhan ekonomi, kecuali mengharap aktivitas mereka tidak terganggu oleh peraturan yang membunuh ekonomi mereka sendiri. Dan kisah bersabung nyawa para sopir itu akan terus mengalir ketika roda truk masih berputar di ruas Lubuk Selasih-Lubuk Peraku.
(*)
RUAS jalan raya Solok-Padang yang berhiaskan lembah dan pebukitan bukit hijau bagai lukisan hidup di kanvas alam. Dari kejauhan sayup terdengar raungan knalpot truk ‘bersenandung’ lewat semilir angin mengabarkan kehidupan. Sebuah romansa menyelusup kidung senja, tatkala pendakian Sitinjau Laut tersendat macet, tertatih-tatih mengiringi putaran roda yang melantunkan irama kering.
Di sebuah kelokan tajam sebuah truk terhenyak lesu. Wandy, 38, sopir truk sarat muatan batubara melompot turun sembari berlari ke belakang menyaksikan gerobak besinya yang tertahan tebing.
“Masih untung ada tebing, kalu tidak entah bagaimana ceritanya ini,” kata sopir itu ketika Singgalang menghampirinya, Jumat (5/8) lalu.
Sopir yang mengaku telah 15 tahun menempuh jalur Solok-Padang dengan muatan batubara dari kawasan ilia (Sijunjung-Red) itu menyebutkan aktivitasnya yang bagai bersabung nyawa. Terutama ketika melewati jalan antara Lubuk Selasi dan Lubuk Paraku, menjadi tantangan paling berat bagi sopir-sopir truck.
“Itu ada dua truk yang terjun ke jurang. Lihatlah ke sana, bagaimana kami para sopir memperjuangkan kehidupan, “ ujarnya
Sejurus, di belokan dekat batas Kota Padang dengan Kabupaten Solok, bau sengak menjalar dari jarak sekitar 15 meter. Kerumunan orang berjejar di tebing sebelah kiri arah ke Padang. Singgalang yang ikut memantau kejadian itu, menyaksikan sebuah truk warna putih yang konon bermuatan ikan terpuruk di kedalaman hampir 50 meter dari pinggir jalan.
Dari informasi yang diperoleh tidak ada korban jiwa. Belum kelihatan sesiang itu petugas lalu lintas yang berada di lokasi kecelakaan itu. Namun dari orang-orang yang menyaksikan, truk dalam keadaan terkapar di lembah sunyi itu, diperkirakan kejadian berlangsung antara subuh dan pagi hari.
“Belum dikenali siapa pengemudinya dan bagaimana nasibnya,” tutur salah seorang pengguna lalu lintas yang sengaja berhenti menyaksikan musibah itu.
Ditempat lain, dalam wak tu yang bersamaan sebuah truk Fuso yang juga tidak diketahui nomor polisinya juga mengalami hal yang sama. Truk yang ditengarai bermuatan batubara itu terjun bebas ke jurang di dekat Panorama II. Tidak diketahui juga akibat dari kecelakaan itu, apakah ada korban jiwa atau tidak. Namun dipastikan kondisi truk bagian depan dalam keadaan remuk.
Yang dapat diungkap adalah bagaimana tingginya risiko para sopir truk yang saban waktu melintas jalur Solok-Padang, terutama ketika meliwati kawasan Aie Sirah dengan Lubuk Peraku.
Bermenung-menung tentang kehidupan para sopir, sangat dilematis kalau akhirnya bersentuhan dengan pebatasan tonase truk.
Tak hendak melawan kebijakan Herman, 34, sopir truk yang mengangkut biji besi dari Bangko Jambi tujuan Teluk Bayur, mengaku letih kalau kebijakan itu tak ditangguhkan sampai benar-benar para sopir dan pengusaha siap menghadapi perubahan itu.
“Untng ruginya memang ada dengan pembatasan muatan itu. Tapi bagi kami sopir yang hidup bersabung nyawa lebih banyak merasakan ruginya, karena upah jelas berkurang, sedangkan risiko maut tetap mengintai, “ kata Herman.
Lelaki muda yang mengaku asal Pulau Punjung itu menyebutkan bukan masalah pembatasan tonase yang merisaukan, lebih kepada ketaatan petugas yang sama sekali belum siapnya menghadapi kebijakan itu. Bahkan oleh petugas, kadang pembatasan tonase kerap dijadikan alasan untuk menangkap truk bermuatan lebih.
“Kalau sama-sama taat aturan, tidak mengapa juga. Tetapi bukan omong kosong kalau pada malam hari petugas bahkan tetap membiarkan truk lewat walaupun bermuatan lebih, “ kata Herman saat berbincang dengan Singgalang, di Lubuk Selasih.
Kemudian seperti berkeluh kesah, Herman mengabarkan pula soal tingkah petugas Jembatan Timbang Oto (JTO) yang melakukan tilang (tindakan langsung) terhadap truk bermuatan lebih.
“Kalau lewat truk bermuatan lebih, bak melihat asam oleh petugas,” keluhnya.
Benar, di mata aturan pihak sopir salah dalam mengangkut beban muatan, tapi itu dilakukan berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi di jalan. Terlebih menghadapi lebaran yang sebentar lagi menuntut kebutuhan besar, membuat para sopir mencari upah untuk kebutuhan belanja anak-istri.
“Aturan hanya berlaku siang, tapi kalau lewat tengah malam, truk bermuatan lebih bisa dilepas dengan alasan membuat macet lalu lintas,” kata Herman.
Apa artinya semua itu? Sopir truk ingin mengabarkan, konsistensi kebijakan pembatasan tonase ternyata tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Karena itu para sopir berhendak agar kebijakan itu diurungkan saja bila pungutan liar tidak dapat dihentikan.
“Kami bersabung nyawa di jalan, tetapi dilain sisi kami juga menjadi santapan peraturan itu sendiri,” kata Syafril, sopir truk pengangkut biji besi lainnya.
Dilematis memang, antara peraturan pembatasan tonase dengan tantangan sopir yang seolah bersabung nyawa. Sedangkan tuntutan kebutuhan keluarga terus bermunculan seiring putaran roda truk itu sendiri. Para sopir itu sendiri tidak mengerti dengan analisa-analisa yang memakai kacamata matematis dan pertumbuhan ekonomi, kecuali mengharap aktivitas mereka tidak terganggu oleh peraturan yang membunuh ekonomi mereka sendiri. Dan kisah bersabung nyawa para sopir itu akan terus mengalir ketika roda truk masih berputar di ruas Lubuk Selasih-Lubuk Peraku.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar