Masjid Raya Padang
FACHRUL RASYID HF
Empat hari lalu saya menerima sebuah pesan singkat dari seorang Pemimpin Redaksi (Pemred) sebuah harian di Padang. Ia mempertanyakan kenapa ceramah mubaligh itu ke itu saja tak berkembang dan tak menarik. Apakah tak ada lagi pelatihan mubaligh?
Saya memahami jika seorang Pemred berkeluh kesah soal mubaligh itu. Sebagai jurnalis, ia selalu mengikuti perkembangan aktual. Dan, setiap perkembangan selalu dibahas dan ditawarkan solusinya sehingga surat kabarnya dinantikan orang. Dan, pembaca pun selalu memperoleh informasi dan pembahasan-pembahasan yang aktual. Artinya, respon terhadap mubaligh tersebut bukan hanya datang dari seorang Pemred, tapi bisa dari siapapun.
Tapi adakah mubaligh menyadari keluhan jamaahnya. Saya kira tidak. Pernyataan Sekretaris Korps Mubaligh Kota Padang (lupa namanya) saat ceramah Ramadhan di Masjid Barkah, Kelurahan Jati, Kecamatan Padang Timur, Padang, 17 Oktober 2005 silam, bisa jadi bukti. Katanya, Padang memiliki masjid terbanyak di provinsi ini. Tapi jamaahnya (mungkin saat dia wirid di masjid-masjid itu) rata-rata lengang. Ia berkesimpulan, masjid sepi karena sebagian besar iman umat masih setengah hati.
Saya tak mau berdebat soal masjid sepi (apalagi saat wirid) dan iman setengah hati itu. Saya cuma ingin melihat masalah bertabligh, berdakwah, berceramah dan berbicara di depan publik sebagai persoalan komunikasi. Dalam makalah di depan 1.090 peserta pelatihan mubaligh (enam angkatan) yang diadakan Biro Sosial, Pemuda dan Olahraga Pemda Sumbar sejak tahun 2006 lampau saya selalu mengingatkan tentang tiga hal oleh juru dakwah supaya pembicaraannya menarik bagi jamaah. Yaitu, apa yang Anda bicarakan, dengan siapa Anda berbicara dan di mana Anda berbicara.
Saya merasa perlu mengingatkan karena menurut almarhum Ustaz H. Salmanir ia pernah meneliti sekitar tahun 1982 silam, diketahui tak seorang pun mubaligh yang berusaha mengenal jamaah yang akan dikunjunginya. Saya sendiri, berdasarkan observasi dan dialog selama 20 tahun jadi pengurus masjid, menemukan hal serupa. Karena itu saya pun memprediksi lebih 90% dai/mubaligh tak berobservasi atau mensurvei calon jamaahnya. Mereka cenderung melihat umat hanya dari atas mimbar. Bak burung, tanpa menyentuh akar rumput, mereka terus berkicau dari pohon ke pohon.
Maklum, urusan itu cukup merepotkan. Seorang dai/mubaligh tentu terlebih dulu perlu observasi kalau bukan survey ke nagari/ kelurahan atau desa di mana masjidnya/ mushalla akan didatanginya. Berdasarkan hasil observasi itu setidaknya ia akan mengenal tingkat pendidikan, ekonomi, adat kebiasaan dan tingkat pengetahuan dan keberagamaan masyarakat. Dari situ bisa disusun draft atau outline ceramah yang aktual, relevan, jelas magnitudenya, dan sebagainya.
Akibatnya, karena tak memahami dan tak menghayati kondisi riil kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat, ceramahnya pun sering mengawang, tak menyentuh persoalan aktual yang dihadapi masyarakat jamaahnya. Jamaah yang tadinya berharap mendapat ‘obat’ penyiram jiwa, memperoleh solusi persoalan hidup yang tak pernah redup, malah merasa dicecar, dimusuhi, dihakimi dan diejek oleh mubaligh. Dan ini boleh jadi penyebab masjid semakin dijauhi. Padahal, agama tanpa masyarakat hanyalah kitab-kitab dan ajaran agama tanpa didukung kondisi politik, sosial budaya dan ekonomi masyarakat juga akan sia-sia.
Selain itu materi dan pembahasan dakwah bahkan khutbah, juga dalam penyelenggaran pendidikan agama di sekolah-sekolah, pesantren dan pesantren Ramadhan, cenderung tekstual dan bukan kontesktual. Mubaligh, dai/khatib-khatib dan guru-guru hanya membaca, menerjemahkan teks agama, lalu, menguraikan sendiri sesuai pengalaman dan alur pikirannya. Jarang sekali yang berani menggunakan nash atau teks agama menjawab persoalan kehidupan aktual yang dijalani masyarakat. Karena tak aktual dan tak kontekstual ceramah jadi tak menarik, terasa jauh dari kehidupan nyata. Lebih jauh akibatnya, agama seolah hanya urusan akhirat dan kehidupan adalah urusan dunia.
Karena itu jangan heran. Meski di Sumbar terdapat 9.250 ulama, dai dan mubaligh, 14.275 masjid dan mushalla, 5.398 TPA/MDA, 71 Madrasah Ibtidiayah, 341 Madrasah Tsanawiyah dan 150 Madrasah Aliyah (negeri dan swasta), kemudian ada sejumlah Perguruan Tinggi Agama Islam dan tiap Ramadhan ada kegiatan pesantren Ramadhan, meski di Sumbar juga terdapat organisasi keagamaan Muhammadiyah, NU, Perti dan Tarbiyah Islamiyah di samping organisasi dakwah: Persatuan Mubaligh, Dewan Masjid Indonesia, DDII, MUI dan sebagainya, namun pertanyaan kita belum juga terjawab. Kenapa kehidupan keberagamaan kita tak makin membaik.
Meski di bulan Ramadhan 1432 H lalu Kakanwil Kemenag Sumbar menurunkan 9.250 ulama, dai dan penyuluh agama ke 14.275 masjid dan mushala di provinsi ini, namun tak kunjung jelas sejauhmana efektivitas ceramah mereka di masyarakat. Kanwil Kemenag sendiri mungkin belum melakukan penelitian tentang itu.
Dari kenyataan itu, saya sejak sepuluh tahun terakhir selalu menyuarakan perlunya dirumuskan rencana tata ruang wilayah dakwah (RTRWD) alias peta dakwah. RTRWD bisa susun berdasarkan penelitian (misalnya lewat mahasiswa KKN IAIN) tentang beberapa indikator kehidupan keberagamaan tiap nagari, kecamatan dan kabupaten. RTRWD (bisa berubah sesuai perkembangan) berguna bagi penyusunan rencana dakwah, materi dan metoda dakwah untuk tiap nagari.
Maka, selain mengubah pendekatan dan metoda yang sudah ada, RTRWD adalah salah satu solusi memecahkan persoalan dakwah dan peningkatan kehidupan keberagamaan. Setidaknya dengan RTRWD itu mubaligh akan terbantu menentukan apa yang dibicarakan, dengan siapa ia berbicara dan di mana ia berbicara. Dengan cara itu dakwah menjadi komunikatif dan kontekstual sehingga pengajian/ceramah agama menjadi kebutuhan di kalangan umat.
Bukankah agama diturunkan untuk kehidupan aktual di dunia yang akan diimbali di akhirat? Bukankah Islam diturunkan menjadi rahmatallilalamin? Dan bukankah kita diajarkan berdoa Rabbana aatina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah? (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar