Mataram - Ketua Pemuda Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat, Muharrar Ikbal, S.Hi., M.A., meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk mengusut tragedi berdarah yang terjadi di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima.
"Salah satu korban tewas pada aksi represif aparat kepolisian adalah anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat (NTB) menyesalkan kejadian itu dan mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusut tragedi berdarah itu," kata Muharrar Ikbal di Mataram, Sabtu.
Anggota IMM NTB yang menjadi korban tewas pada insiden berdarah yang terjadi di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Sabtu sekitar pukul 06.00 WITA adalah Immawan Ashary. Mahasiswa tersebut merupakan salah satu dari tiga korban tewas diduga terkena peluru aparat.
Dari laporan yang diterima, kata Muharrar, Immawan Ashary adalah bagian dari kelompok masyarakat yang berjuang bersama ribuan masyarakat Kabupaten Bima yang menuntut keadilan dari Pemerintah Kabupaten Bima mengenai hak pengelolaan tambang emas di wilayahnya.
Dari laporan yang diterima, kata dia, korban merupakan bagian dari ribuan masyarakat Kabupaten Bima yang berjuang menuntut keadilan dari pemerintah mengenai hak pengelolaan lahan pertambangan emas yang ada di wilayahnya.
"Apa pun status korban, kami tetap berkewajiban memberikan pembelaan. Sebagai kakak dan saudara, kami juga sudah menyampaikan ucapan belasungkawa kepada keluarga Immawan Ashary," ujarnya.
Muharrar Ikbal mengatakan bahwa pihaknya menyesalkan adanya tindakan refresif dari aparat kepolisian dalam menyelesaikan aksi pemblokiran Pelabuhan Sape yang menghubungkan Provinsi NTB dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Muharrar juga mendesak Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Bima, aparat keamanan, baik dari Polres Bima maupun Polda NTB, untuk bertanggung jawab atas insiden berdarah itu.
"Saya minta pemerintah daerah di NTB, terutama Pemerintah Kabupaten Bima dan Polda NTB untuk bertanggung jawab. Aksi represif yang menewaskan warga adalah tindakan sewenang-wenang," ujarnya.
Seperti diketahui, aksi unjuk rasa ribuan warga disertai blokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, NTB, yang telah berlangsung sejak sepekan terakhir ini, dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian, Sabtu sekitar pukul 07.00 WITA, berujung tindakan anarkis.
Tindakan represif aparat kepolisian terhadap ribuan pengunjuk rasa yang terdiri atas kaum laki-laki, perempun, dan anak-anak dari tiga kecamatan, yakni Kecamatan Sape, Lambu, dan Kecamatan Langgudu tersebut menelan tiga korban jiwa yang diduga terkena peluru tajam.
Unjuk rasa itu terkait dengan permintaan masyarakat agar Bupati Bima Ferry Zulkarnaen mencabut Surat Keputusan (SK) Nomor 188.45/357/004/2010 tentang Izin Eksplorasi Pertambangan Emas di Kecamatan Sape dan Kecamatan Lambu yang diberikan kepada dua perusahaan tambang.
Kedua perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan (IUP) itu masing-masing PT Sumber Mineral Nusantara dengan luas wilayah tambang 24.980 hektare dan PT Indo Mineral Citra Persada dengan luas wilayah tambang 14.318 hektare. (KR-WLD/M025)
"Salah satu korban tewas pada aksi represif aparat kepolisian adalah anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Oleh karena itu, Pemuda Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat (NTB) menyesalkan kejadian itu dan mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusut tragedi berdarah itu," kata Muharrar Ikbal di Mataram, Sabtu.
Anggota IMM NTB yang menjadi korban tewas pada insiden berdarah yang terjadi di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Sabtu sekitar pukul 06.00 WITA adalah Immawan Ashary. Mahasiswa tersebut merupakan salah satu dari tiga korban tewas diduga terkena peluru aparat.
Dari laporan yang diterima, kata Muharrar, Immawan Ashary adalah bagian dari kelompok masyarakat yang berjuang bersama ribuan masyarakat Kabupaten Bima yang menuntut keadilan dari Pemerintah Kabupaten Bima mengenai hak pengelolaan tambang emas di wilayahnya.
Dari laporan yang diterima, kata dia, korban merupakan bagian dari ribuan masyarakat Kabupaten Bima yang berjuang menuntut keadilan dari pemerintah mengenai hak pengelolaan lahan pertambangan emas yang ada di wilayahnya.
"Apa pun status korban, kami tetap berkewajiban memberikan pembelaan. Sebagai kakak dan saudara, kami juga sudah menyampaikan ucapan belasungkawa kepada keluarga Immawan Ashary," ujarnya.
Muharrar Ikbal mengatakan bahwa pihaknya menyesalkan adanya tindakan refresif dari aparat kepolisian dalam menyelesaikan aksi pemblokiran Pelabuhan Sape yang menghubungkan Provinsi NTB dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Muharrar juga mendesak Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Bima, aparat keamanan, baik dari Polres Bima maupun Polda NTB, untuk bertanggung jawab atas insiden berdarah itu.
"Saya minta pemerintah daerah di NTB, terutama Pemerintah Kabupaten Bima dan Polda NTB untuk bertanggung jawab. Aksi represif yang menewaskan warga adalah tindakan sewenang-wenang," ujarnya.
Seperti diketahui, aksi unjuk rasa ribuan warga disertai blokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, NTB, yang telah berlangsung sejak sepekan terakhir ini, dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian, Sabtu sekitar pukul 07.00 WITA, berujung tindakan anarkis.
Tindakan represif aparat kepolisian terhadap ribuan pengunjuk rasa yang terdiri atas kaum laki-laki, perempun, dan anak-anak dari tiga kecamatan, yakni Kecamatan Sape, Lambu, dan Kecamatan Langgudu tersebut menelan tiga korban jiwa yang diduga terkena peluru tajam.
Unjuk rasa itu terkait dengan permintaan masyarakat agar Bupati Bima Ferry Zulkarnaen mencabut Surat Keputusan (SK) Nomor 188.45/357/004/2010 tentang Izin Eksplorasi Pertambangan Emas di Kecamatan Sape dan Kecamatan Lambu yang diberikan kepada dua perusahaan tambang.
Kedua perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan (IUP) itu masing-masing PT Sumber Mineral Nusantara dengan luas wilayah tambang 24.980 hektare dan PT Indo Mineral Citra Persada dengan luas wilayah tambang 14.318 hektare. (KR-WLD/M025)
Editor: Kliwon(ANT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar