Pada era tahun 70-an sampai dengan 80-an, Sumatera Barat terkenal sebagai sentra peternakan kuda, dan terbesar di Asia Tenggara. Kini, masa jaya itu tinggal kenangan. Digerus zaman.
Dulu terutama di Sumatera Barat hampir seluruh penduduk di negeri ini mengandalkan tenaga kuda sebagai alat transportasi pengangkut barang. Setelah fungsinya sebagai alat transportasi dulunya digantikan mesin-mesin canggih, kini keberadaan kuda sebagai ternak, juga tak jelas.
Di Provinsi Sumatera Barat, populasi kuda dari tahun ke tahun mengalami penurunan signifikan. Dua puluh tahun yang lalu, Ranah Minang menjadi sentral peternakan kuda terbesar di Asia Tenggara yang pusatnya di Padang Mangateh Kabupaten Limapuluh Kota. Dan, melalui Bantuan Presiden (Banpres), Sumbar mendapatkan bantuan pada 1968, 1974, 1976, 1977, 1981, 1983, dan 1989. Namun, dekade 90-an hingga 2000, perhatian terhadap kuda, terutama dari pemerintah, nyaris tidak ada. Dekade 60-an, populasi kuda 1 juta ekor. Pada 1998, hanya tinggal 6.268 ekor. Jumlah itu menurun lagi pada 2005, tinggal hanya 4.783 ekor.
Kuda yang berkembang di Sumbar terdiri atas empat jenis, yaitu kuda padang mangateh, kuda batak, kuda agam, dan kuda gayo. Dari empat jenis tersebut, yang terbanyak dan relatif lebih baik adalah kuda batak.
PETERNAKAN KUDA DI SUMBAR NYARIS PUNAH DITELAN ZAMAN
Pada era tahun 70-an sampai dengan 80-an, Sumatera Barat terkenal sebagai sentra peternakan kuda, dan terbesar di Asia Tenggara. Kini, masa jaya itu tinggal kenangan. Digerus zaman.
Dulu terutama di Sumatera Barat hampir seluruh penduduk di negeri ini mengandalkan tenaga kuda sebagai alat transportasi pengangkut barang. Setelah fungsinya sebagai alat transportasi dulunya digantikan mesin-mesin canggih, kini keberadaan kuda sebagai ternak, juga tak jelas.
Di Provinsi Sumatera Barat, populasi kuda dari tahun ke tahun mengalami penurunan signifikan. Dua puluh tahun yang lalu, Ranah Minang menjadi sentral peternakan kuda terbesar di Asia Tenggara yang pusatnya di Padang Mangateh Kabupaten Limapuluh Kota. Dan, melalui Bantuan Presiden (Banpres), Sumbar mendapatkan bantuan pada 1968, 1974, 1976, 1977, 1981, 1983, dan 1989.
Namun, dekade 90-an hingga 2000, perhatian terhadap kuda, terutama dari pemerintah, nyaris tidak ada. Dekade 60-an, populasi kuda 1 juta ekor. Pada 1998, hanya tinggal 6.268 ekor. Jumlah itu menurun lagi pada 2005, tinggal hanya 4.783 ekor.
Kuda yang berkembang di Sumbar terdiri atas empat jenis, yaitu kuda padang mangateh, kuda batak, kuda agam, dan kuda gayo. Dari empat jenis tersebut, yang terbanyak dan relatif lebih baik adalah kuda batak.
Dulunya, ketika sepeda motor atau mobil masih menjadi barang mewah dan hanya dimiliki oleh orang kaya dan terpandang di tengan masyarakat. Masyarakat memanfaatkannya sebagai kudo baban yang membawa barang-barang. Sampai hari ini masih ada di beberapa daerah warga yang memakai kudo baban.
“Kuda bukan lagi masuk kategori peternakan rakyat. Kuda kini sudah menjadi barang mewah. Mereka yang memiliki kuda merupakan orang mampu atau kelompok masyarakat kelas atas,” kata Kepala Dinas Peternakan Sumbar Ir Edwardi didampingi pelaksana tugas (plt) Kepala Bidang Produksi Dinas Peternakan Sumbar, Ir Aryati kepada Haluan pekan lalu.
Pemerintah Provinsi Sumbar sendiri juga tidak lagi menjadikan kuda sebagai salah satu program pengembangan peternakan rakyat. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Sumbar 2010-2014, jenis hewan yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah sapi, kambing dan hewan ternak lokal lainnya.
Dulu, Pemprov Sumbar memang mengelola seluruh kuda yang ada di Sumbar. Bahkan beberapa kali pernah mendapatkan kuda bantuan presiden (banpres). Tetapi Pemprov Sumbar tidak sanggup membiayai perawatan dan pemeliharaan kuda bansos ini. Sebab merawat dan memelihara kuda membutuhkan biaya besar. Sampai akhirnya kuda-kuda diserahkan pada Pordasi Sumbar.
Begitu pula pembinaannya. Sejak tahun 2000, Dinas Peternakan Sumbar tidak lagi memberikan pendampingan atau bimbingan kepada pemilik kuda. Karena para pemiliknya dari kalangan masyarakat mampu, mereka sudah sangat paham tentang pemeliharaan dan kuda sehingga mereka menyewa orang untuk memelihara dan merawat kuda-kuda miliknya.
“Kita tidak lagi mengelola kuda bansos karena sudah diserahkan pada Pordasi. Begitu pula dalam pendampingan atau pun penyuluhan. Karena pemilik kuda adalah orang mampu, mereka sudah mengerti cara merawat kuda. Umumnya mereka membayar orang untuk merawat dan memelihara kudanya,” kata Aryati.
Meski demikian pada 2007, pengadaan kuda dari dana APBN masih diterima Sumbar untuk kelompok masyarakat di Kota Payakumbuh. Kuda yang diberikan adalah betina, sehingga untuk pengembangbiakannya perlu dibeli kuda jantan dari jenis kuda pacu.
Sementara itu, pengadaan kuda jantan kualitas kuda pacu biasanya didatangkan dari Australia. Namun Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian RI melarang impor kuda jantan Autralia karena adanya penyakit berbahaya yang diderita kuda di Negeri Kanguru itu.
Meski demikian, Pemprov Sumbar tetap berkoordinasi dengan Pordasi dalam berbagai hal tentang nasib kuda-kuda tersebut. Misalnya saja, Pordasi minta bantuan pengadaan kuda pacu. Permintaan tersebut telah diakomodir dan diajukan ke Tim Penyusun Anggaran Daerah (TPAD) Sumbar sebagai usulan agar dimasukkan dalam APBD 2012. Namun karena kuda tidak lagi menjadi peternakan rakyat, maka usulan tersebut tidak dipenuhi. n
BIAYA KAWIN KUDA MAHAL
Dari waktu ke waktu, populasi kuda di Sumbar terus menurun (lihat tabel). Penyebabnya tidak hanya soal peralihan fungsi kuda yang tidak lagi sebagai alat transportasi, tetapi juga disebabkan karena proses perkawinan kuda yang cukup mahal biayanya.
“Untuk mengawinkan kuda menghabiskan biaya Rp5 juta sekali kawin. Pemilik kuda umumnya meminta bantuan pada Pordasi atau peternakan kuda yang memiliki bibit kuda terbaik jenis kuda pacu. Prosesnya pun memakan waktu lama. Kuda tidak bisa langsung dikawinkan tetapi melalui proses pengenalan dulu,” terang Aryati.
Sebagian lain, sejak maraknya transportasi kendaraan bermotor, maka kuda dirasakan tidak efektif lagi. Sementara memiliki kuda berarti harus merawat dan . Karena jasanya tidak dipakai lagi dan tidak pula sanggup untuk merawatnya, maka sebagian kuda-kuda milik masyarakat tersebut dijual ke luar Sumbar. Sehingga yang tersisa saat ini adalah kuda-kuda yang dimiliki para kelompok masyarakat kelas atas dan Pordasi.
Batu Bajanjang Masih Pakai Kuda
Kemajuan zaman yang semakin canggih ini ternyata belum menyentuh masyarakat Batu Bajanjang, Kabupaten Solok. Sampai hari ini, penduduk setempat masih menggunakan kuda beban sebagai alat transportasi mengangkut barang.
Menurut Aryati, kendaraan modern satu persatu sudah masuk ke daerah ini. Tetapi untuk mencapai lokasi pemukiman yang berada di balik perbukitan dengan tanjakan yang terjal, masyarakat setempat masih menggunakan kuda beban sebagai pengangkut barang. Jumlah kuda beban yang digunakan masyarakat daerah ini memang banyak jumlahnya.
“Saat kami meninjau kampung Batu Bajanjang, kita menyaksikan masih ada masyarakat yang menggunakan kuda beban di sini untuk mencapai lokasi yang sulit, yang tidak sanggup ditembus sepeda motor,” katanya. n
Kuda “Hilang” Bersama Lenyapnya Pacuan Kuda
Selain sebagai alat transportasi, kuda juga diperlombakan dalam alek pacu kuda di gelanggang-gelanggang yang terdapat di Sumatera Barat, juga tingkat nasional. Tahun 1990 atau 12 tahun silam, Pemda Sumatera Barat memberikan bantuan kuda pejantan agar didapatkan kuda kuda berkualitas itu. Tak heran jika nama Pordasi Sumatera Barat “melangit”, ekonomi petani peternak kuda juga cukup cerah. Sebab kuda Sumatera Barat membukukan banyak juara.
Dalam cerita novel “Tenggelamnya Kapal Van Derwjick” karya Buya Hamka, ditutur paparkan alek pacuan kuda sebagai sarana hiburan rakyat badarai dan bendi sebagai angkutan tradisi. Alek pacuan kuda sangat dinanti oleh masyarakat mulai dari pelosok kampung hingga ke kota. Mereka datang ke gelanggang dengan bekal nasi bungkus untuk mereka makan di tengah gelanggang bersama anak-anak dan keluarga yang ikut menonton alek pacu kuda.
Pemerintah mendukung alek anak nagari pacu kuda itu. Ada kalender pacu kuda di 7 gelanggang yang terdapat di Ranah Minang ini. Tak ketinggalan perusahaan seperti PT Semen Padang dan pengusaha lainnya ikut pula berpartisipasi. Begitu benar besarnya perhatian untuk mengangkat alek anak nagari itu dahulu itu
Ini karena selain menjadi hiburan juga berdampak ekonomi bagi masyarakat. Tak sedikit lapak-lapak pedagang kecil bermunculan. Mulai yang menggalas makanan dan minuman. Kusir-kusir bendi dan mobil ikut panen. Alek pacu kuda sangat ditunggu tunggu oleh masyarakat
Berganti pimpinan pimpinan daerah, berganti pula kebijakan. Kuda sebagai sumber pendapatan petani peternak tak lagi jadi pemikirannya. Tentunya Dinas Peternakan mengingatkan Gubernur dan mengusulkannya ke DPRD di daerah masing-masing agar sektor beternak kuda terus terlaksana. Sediakan kuda pejantan. Maka petani akan mendapatkan bibit unggul dan harga jual kudanya nanti akan lebih tinggi
Penurunan populasi kuda tidak hanya akibat berkurangnya angkutan bendi yang tergilas dengan kemajuan sarana transportasi baik mobil atau kendaraan motor yang kian menjamur. Namun juga dipicu berkurangnya kuda-kuda berkualitas untuk berpacu. Bendi mulai hilang diperedaran. Kalaupun ada hanya dalam hitungan jari
Saat ini, pelaksanaan “alek pacu kuda “ di 7 gelanggang pacu di Sumatera Barat, sepertinya juga mengalami kelesuan. Jumlah kuda peserta lomba semakin menurun. Sedikit sekali kuda mendaftar untuk ikut berlomba. Kondisi itu menyebabkan banyak gelanggang yang tidak lagi bersemangat menyelenggarakan alek pacu kuda mengisi kalender pacu yang sudah dijadwalkan.
Pordasi telah menjadwalkan pacu kuda di gelanggang Bancah Laweh Padang Panjang, Batipuh X Koto, Kubu Gadang Payakumbuah, Kubu Ambacang Bukittinggi/Agam, Ampang Kualo Solok, Balah Aia Padang Pariaman, Bukik Gombak Batusangkar, dan lintasan pacu baru Kandih Sawah Lunto.
Namun akibat kurangnya semangat beberapa gelanggang, kalender pacu kuda itu menjadi kacau balau. Dan ada gelanggang kini terbilang mati dan tidak ada kegiatan
Taufik Hidayat salah seorang pengurus Pordasi Sumatera Barat ketika diminta komentarnya sama sekali tidak menapik masalah ini. Mengapa populasi ternak kuda di Sumatera Barat mulai langka termasuk kuda kuda pacu.
“Seyogyanyalah pemerintah dan DPRD propinsi bersama kabupaten dan kota di Sumatera Barat menyediakan anggaran tersendiri seperti halnya bantuan untuk pengadaan sapi atau kerbau yang disediakan pemerintah. Apa bedanya kuda dengan sapi atau kerbau, semuanya bertujuan meningkatkan ekonomi masyarakat di pedesaan,” kata Capaik di Meja Satu Gumarang Padang Panjang pekan lalu. n
PETERNAK KUDA BUKITTINGGI BERJALAN TANPA PERHATIAN PEMERINTAH
Tingkat populasi kuda di Kota Bukittinggi sejak dua terakhir cukup memprihatinkan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Peternakan Kota Bukittinggi hingga 2009 tercatat sebanyak 545 ekor, meningkat lagi menjadi 602 ekor pada 2010. Namun hasil laporan lapangan hingga awal 2012 hanya tinggal sekitar 300 ekor saja.
“Di atas kertas pada 2009 tercatat sebanyak 545 ekor dan dan 2010 sebanyak 602 ekor. Namun pada 2011 tidak lagi memiliki data, karena tidak dilakukan pendataan. Dan baru tahun 2012 ini akan melakukan pendataan,” kata Kasi Peternakan Ir Evi Martin Jumat (6/1).
Terjadinya penurunan drastis populasi kuda menurut Kasi Pemberitaan Pemko Bukittinggi Hirwandi Imam, terutama kuda bendi, salah satu penyebabnya dikalahkan masuknya secara besar-besaran “kuda jepang” alias sepeda motor. Mayoritas dijadikan ojek oleh pemilik. Dampaknya, keberadaan kuda sebenarnya jadi tersingkirkan.
Lain lagi yang dikemukakan Saiful (40) tahun. Menurut mantan joki dan kini pelatih joki, baik kuda pacuan maupun kuda jumping, hingga 2010 memang benar jumlah kuda mencapai 500-600 ekor.
Perkembangan sedikit itu terjadi karena semasa Kota Bukittinggi dipimpin Drs Jufri, komitmen untuk mengembangkan peternakan kuda tidak hanya sekadar slogan, tapi betul-betul terlaksana secara nyata dan manfaatnya benar dirasakan masyarakat pecinta kuda.
“Demikian juga di bawah kepemimpinan bapak Ismet Amzis sama dengan dengan dulu. Namun bedanya sekarang komitmen yang sama itu hanya indah di atas kertas namun sakit di lapangan. Akibatnya populasi kuda di Kota Bukittinggi saat ini hanya sekitar 300 ekor saja lagi,” tutur Saiful didampingi sejumlah kusir bendi dan peternak kuda lainnya di lokasi kandang kuda Bukit Ambacang Jumat (6/1).
Sekitar 300 ekor kuda yang ada itu katanya, sudah termasuk kuda bendi, kuda pacu serta kuda sewaan untuk jumping pada iven-iven tertentu yang dimiliki dua kuminitas, yakni Komunitas Wisata dan Ford de Kock, termasuk Komunitas wisata jelasnya yakni kuda kampung yang dimiliki rakyat biasa atau kelompok orang miskin seperti kusir bendi yang kudanya masuk generasi satu (G1).
Sedangkan Komunitas Ford de Kock yakni kuda yang masuk kelompok generasi kedua (G2), mayoritas pemiliknya orang-orang kaya. Kuda kelompok G2 ini merupakan kuda impor dari Australia serta hasil perkawinan kuda G1 dengan G2. Kuda jenis ini sering dimanfaatkan untuk kuda pacuan dan disewa untuk jumping pada iven-ivent tertentu atau disewa perusahaan film action dengan harga mahal untuk keperluan shooting.
“Jika harga kuda G1 Rp15 juta-20 juta per ekor, kuda G2 jauh lebih mahal berkisar Rp50 juta sampai Rp100 juta perekor,” jelasnya.
Peternak kuda di Bukittinggi memiliki keinginan untuk mengembangkan kuda, karena ada dua tempat untuk mengawinkan kuda. Satu milik pemerintah kota di bawah Dinas Pertanian dan Petenakan, satu milik swasta yang dikelola Fauzan Fauzan Havis (pengusaha sekaligus anggota DPRD Bukittinggi).
“Namun ketika komunitas G1 berusaha mengawinkan kuda G1-G1 atau G1-G2 melalui dinas peternakan, tidak mendapat pelayanan sebagaimana dulu atau semasa walikota Jufri.
Di sinilah letak sakitnya di masa kepemimpinan Ismet Amzis sekarang, karena selalu dipersulit oleh petugas di lapangan lantaran kami tidak mampu bayar mahal Rp50 ribu bagi kami untuk membayar uang saku itu sudah besar, tapi bagi petugas tidak, sehingga kami tidak dilayani,” jelas Saiful tegas.
Tapi kalau kelompok G2 yang terdiri dari orang-orang kaya mereka layani sebaik mungkin karena mampu membayar mahal. Dari praktek ini. Yang kaya makin kaya yang miskin makin terjepit, karena satu-persatu kuda terpaksa dijual.
Untuk mempertahankan kuda yang masih tersisa lanjutnya, kelompok G1 berupaya minta bantuan dari Fauzan Havis yang membuka praktik perkawinan kuda G1-G1 atau G1-G2 atau G2-G2 dengan harga Rp3,5 juta sampai Rp5 juta. Khusus untuk kaum miskin kendati tidak dipungut biaya, namun setelah lahir satu kaki anak kuda jadi miliknya. Artinya jika kuda dijual setelah dewasa kelak seharga Rp20 juta, Rp5 juta jadi miliknya, suatu hal yang wajar dan sangat membantu.
“Adanya upaya yang dilakukan Fauzan Hafiz, merupakan angin segar untuk populasi kuda ke depan. Hendaknya pemerintah Kota Bukittinggi dapat berbuat lebih dari itu, sehingga pemiliki kuda yang terdiri dari kaum miskin kembali bersemangat mengembangbiakkan kuda-kuda mereka yang sudah nyaris punah,” tambah Saiful. n
BERBENDI-BENDI KE SUNGAI TANANG, TINGGAL KENANGAN
Masa keemasan kuda telah berlalu, tapi di Agam masih ditemukan kuda beban sebagai sarana pangangkut barang. Dan juga ada bendi kendati terus tergeser dari hari ke hari.
Masih ingat lagu Babendi-bendi ke Sungai Tanang. Lagu ini terkenal dan poluler karena dinyanyikan sebagai pengiring tari piring. Lagu ini mengisahkan sepasang penganten baru yang berbulan madu dengan menggunakan alat transportasi bendi. Mereka menuju ke Sungai Tanang, Agam. Kini, babendi itu jadi barang mahal dan mewah karena sudah demikian langkanya.
Kuda merupakan hewan piaraan manusia. Ia disebut-sebut sebagai binatang paling setia kepada tuannya. Binatang satu itu sudah lama menjadi “teman” manusia, baik sebagai “alat transportasi,” kuda pacu, pembantu menarik bendi, dan lainnya.
Sebagai alat transportasi, kuda awalnya dimanfaatkan pengangkut beban. Kekuatannya yang luar biasa, mampu menapaki medan berat sekalipun, dengan beban berat di punggungnya. Kemudian, kuda digunakan untuk penarik bendi. Seiring dengan kemajuan zaman, keberadaan kuda sebagai alat transportasi kian tergeser. Pembangunan jalan sampai ke pelosok Agam menyebabkan kendaraan bermotor semakin mampu melayani kebutuhan warga sampai ke pelosok desa, membuat jasa kuda semakin tidak dibutuhkan di sektor transportasi.
Akhirnya, kuda beban dan kuda penarik bendi semakin langka di Agam. Peranannya sudah digantikan kendaraan roda dua (ojek), dan mobil cigak baruak. Namun masih ada kuda penarik bendi ditemukan di Agam, seperti di Tiku, Kecamatan Tanjung Mutiara. Di Lubuk Basung sudah tidak terlihat bendi berlalu lalang. Di Agam belahan timur masih ada warga memelihara kuda untuk penarik bendi. Namun mayoritas bendinya beroperasi dalam Kota Bukittinggi, seperti disampaikan Kepala Bidang Budidaya Peternakan pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan (Dipertahornak) Agam, Drh M Kamil, MP.
Kian menghilangnya bendi sebagai jasa angkutan, menyebabkan jumlah kuda juga kian berkurang di Agam. Keberadaan bendi tak terlihat lagi di Lubuk Basung dan sekitarnya tahun 2000-an. Penyebab utamanya adalah semakin menjamurnya ojek. Ojek dinilai lebih efektif dan efisien, sehingga bendi ditinggalkan penumpangnya.
Menurut mantan kusir bendi, St. Syarif, ia mengganti bendinya dengan ojek tahun 1990-an. Warga Pulai, Lubuk Basung itu, mengaku terpaksa mengikuti perkembangan zaman, karena penumpang bendinya semakin hilang.
“Ojek lebih cepat, dan diantar sampai ke depan rumah pelanggan. Makanya lebih diminati warga,” ujarnya.
Kuda beban dulu banyak dimanfaatkan warga Kecamatan Palembayan. Dulu jalan di kawasan itu belum begitu bagus, dan belum menjangkau pelosok desa. Medan yang sulit, dengan banyaknya tanjakan dan turunan tajam, menyebabkan jasa kuda beban sangat dibutuhkan. Namun kini, jumlah kuda beban bisa dihitung dengan jari di kawasan itu.
Kini di daerah berlambangkan Harimau Campo itu tercatat populasi kuda sebanyak 188 ekor. Di antaranya 68 jantan, dan 120 betina. Kebanyakan adalah kuda pacu. Jumlah terbesar ditemukan di Kecamatan Tilatang Kamang, yaitu 106 ekor. Di Kecamatan (77), Palembayan (4), dan di Kecamatan Tanjung Mutiara (1).
Sebagai kuda pacu, kuda milik Rang Agam cukup disegani di lintasan pacuan kuda yang ada di Sumbar. Bahkan dulu, kuda pacu dari Agam selalu merajai arena. Lapangan pacuan kuda pun bukan hanya di Bukik Ambacang, tetapi di Kecamatan Matur pun ada arena pacuan kuda. Letaknya di Ambun Pagi, Nagari Matua Mudiak. Karena adanya arena (gelanggang) pacuan kuda di sana, kawasan itu sampai kini masih disebut Padang Galanggang. Lokasi tersebut kini (sebagian) sudah dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan, seperti kantor wali angari, kantor Polsek Matur, dan asrama polisi, sisanya masih dimanfaatkan untuk sarana olahraga, yaitu lapangan sepakbola.
Masih Butuh Kuda Beban
Kuda tidak ada dibudidayakan di Kabupaten Agam, seperti disampaikan M. Kamil, didampingi Kasi Pembibitan dan Perawatan Ternak, Dahlius. Mungkin itulah yang jadi penyebab populasi kuda tidak berkembang di daerah itu. Jumlah populasinya cenderung menurun setiap tahun. Tahun 2009, jumlah kuda di Agam sekitar 205.
Kurangnya minat warga memelihara kuda, karena secara ekonomis kurang menguntungkan. Hewan ternak jenis sapi, kambing, dan kerbau dinilai lebih menguntungkan. Kuda yang ada di Agam pada umumnya didatangkan dari luar daerah, seperti dari Padang Mangateh 50 Kota, dan Malampah, Pasaman.
“Yang dibutuhkan dari kuda hanya tenaganya. Sementara dagingnya kurang diminati warga, makanya minat warga beternak kuda nyaris tidak ada,” ujar Kamil pula.
Kuda penghela bendi itu umumnya dimiliki rakyat “badarai” , tetapi kuda untuk berpacu milik pejabat atau orang-orang kaya, kudanyapun didapat dari daerah luar bukan hasil peternak kuda lokal.
Sampai tahun 1980 sejumlah pasar di Agam Barat seperti Pasar Lawang, Pakan Sabtu Palembayan, Pakan Akaik Salareh Aia, Pasa Bawan , Pasa Lubuk Basung, Pasa Tiku, Pasa Batu Kambiang dan Balai Akaik Maninjau masih ramai dikunjungi kuda beban dengan barang bawaannya berupa beras, kulit manis,kopi, dan sebagainya. Dari pasar ke kampung membawa berbagai jenis barang keperluan sehari-hari.
“Dulu kami biasa mengangkut barang dengan kuda ke pasar Lawang atau ke Lubuk Basung yang jaraknya sampai 40 km. Kami pergi secara berombongan, berangkat malam-malam menjelang subuh agar sampai di pasar pagi hari,” kenang Amir, mantan pemilik kuda beban di Jorong Tantaman Nagari III Koto Silungkang, Kecamatan Palembayan pekan lalu.
Di Jorong Lambeh Nagari Ampek Koto Palembayan Sabtu (1/1) Haluan masih menemukan dua ekor kuda beban milik seorang pemuda bernama Buyuang yang mengangkut pasir untuk proyek pencoran jalan kampung Pintu Angin menggunakan dana PNPM. Pasir terpaksa diangkut kuda karena mobil tidak bisa lewat.
“Lumayan jugalah, kalau ada proyek di tempat terpencil seperti ini cukup dapat untung , satu hari bisa menarik sewa seratus ribu” kata Buyuang.
Kalau tidak ada proyek Buyuang menggunakan kudanya untuk mengangkut padi dari rumah rakyat terpencil ke tempat penggilingan padi atau untuk keperluan keluarga.
Kata Buyuang selagi kendaraan roda empat belum lancar ke kampungya dia akan terus memelihara kuda beban, karena kuda beban cukup membantu. n
Laporan : DEVI DIANI, IWAN DN DT SIMARAJO, RIDWAN, MIAZUDDIN DAN KASRA SCORPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar