KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Novi Seran (16), siswa kelas II SMA Katolik Sta Maria Ratu Rosari, hendak mengajarkan tugas kelompok mewakili empat rekannya di depan kelas. Di tengah ruang kelas yang mirip kandang ayam, para siswa masih bersemangat untuk belajar dan mengukir prestasi yang meyakinkan.
Bangunan tua beratap seng karatan dengan dinding ”bebak” terletak persis di sisi jalan utama Desa Mota Ulun, Kecamatan Malaka Barat, Belu, Nusa Tenggara Timur. Setiap pelintas jalan utama di depan sekolah itu tahu kondisi sekolah tersebut, tetapi tak ada tindakan. Gedung SMA Katolik Besikama, Belu, itu sudah reyot dan tidak layak pakai.
Bentuk bangunan sudah miring ke sebelah kanan dan nyaris tumbang. Bagian dalam ruang kelas berantakan. Tak ada sekat pemisah antara ruang kelas yang satu dan ruang kelas lain, kecuali papan tripleks setinggi 1 meter, yang sebagian besar sudah hancur.
Papan tulis sebagian sudah sobek dan berlubang. Seluruh ruangan tampak reyot, tidak ada plafon sehingga bunyi hujan begitu terasa dan pada musim kemarau sangat panas (gerah).
Kursi meja yang seharusnya 40-50 tempat duduk hanya tersedia 20-30 unit. Itu pun sudah miring, patah, dan tidak ada sandaran punggung. Sebagian siswa terpaksa menulis di lantai atau menggunakan tempat duduk dan landasan menulis seadanya.
Lantai bangunan langsung tanah kosong. Hanya disirami batu kerikil dan pasir halus. Ketika banjir akibat daerah aliran sungai Benanain, Malaka Barat, meluap, seluruh ruangan tergenang air. Sekolah pun libur sampai menunggu air kering.
Tidak hanya ruang kelas, seluruh halaman sekolah bahkan seluruh bangunan sekolah juga terendam air banjir Benanain saat meluap. Dinding bangunan dari bebak, tulang daun dari pohon gewang, terendam air dan mulai lapuk. Padahal, bebak termasuk bahan bangunan yang bertahan sampai ratusan tahun.
Meski sedang tidak hujan (kering), sebagian areal halaman sekolah itu tergenang air berlumpur. Bahkan, beberapa bagian dinding bangunan tampak berlumut akibat luapan banjir Benanain.
Sekolah itu dibangun Yayasan Katolik Keuskupan Atambua, Belu, pada 2002 dengan tujuan membantu menampung lulusan SMPN dari Kecamatan Malaka Barat. Sebelumnya, anak-anak lulusan dua SMPN dari Kecamatan Malaka Barat mengikuti pendidikan SMAN di Kecamatan Malaka Tengah, 10 kilometer dari Malaka Barat.
Kepala SMA Katolik Sta Maria Ratu Rosari Besikama, Kabupaten Belu, Thomas Bere di Desa Mota Ulun, 95 kilometer dari Atambua, Senin (20/2), mengatakan, kebetulan wartawan datang ke sekolah itu sedang tidak hujan meski musim hujan. Sudah dua pekan terakhir wilayah tersebut kering dan menyisakan sejumlah titik genangan (kubangan air) mirip danau di sejumlah tempat.
Saat musim hujan, seluruh bangunan ini digenangi air. Sekolah terpaksa diliburkan sampai menunggu air surut.
”Meski serba kekurangan, kami tetap bekerja maksimal untuk berprestasi. Kami memanfaatkan semua sarana dan prasarana yang ada seefektif mungkin,” kata Bere.
Lulusan SMA Katolik itu sudah memasuki angkatan keenam. Persentase kelulusan tiga tahun terakhir masing-masing 100 persen (2011), 100 persen (2010), dan 95 persen (2009) dengan jumlah peserta ujian nasional 118, 123, dan 121 siswa.
Tahun 2007, sekolah itu mengikuti ujian nasional di SMAN Malaka Tengah, 10 kilometer dari Malaka Barat. Namun, sejak 2008, SMA Katolik Sta Maria Ratu Rosari menyelenggarakan ujian nasional sendiri sesuai keputusan Dinas Pendidikan Kabupaten Belu.
Jumlah keseluruhan siswa di SMA itu 326 orang, tertampung dalam tujuh ruangan belajar. Kelas III paralel A, B, C masing-masing dengan rombongan belajar 30-40 orang. Kelas I dan kelas II masing-masing paralel A-B saja dengan jumlah siswa 40-50 orang. Setelah naik kelas III, dibagi menjadi kelas III A, B, dan C.
Sebanyak 14 guru yayasan mengajar di sekolah tersebut dan hanya ada dua guru PNS. Dari 14 guru yayasan itu, yang sudah disertifikasi sebanyak lima guru, termasuk kepala sekolah.
Guru yayasan diberi honor Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan, tergantung dari masa mengajar. Pihak yayasan meminta kepada dinas pendidikan setempat agar para guru swasta itu diangkat menjadi pegawai negeri, tetapi sampai saat ini belum terealisasi.
Pemerintah telah membangun satu unit SMAN Malaka Barat dan dua unit SMAN jarak jauh di wilayah itu pada 2007. Namun, kebanyakan siswa lulusan SMPN lebih memilih SMA Katolik Ratu Rosari.
Lamber Klau Nahak (45), wakil kepala sekolah bidang sarana dan prasarana ajar, mengatakan, kesulitan yang dihadapi sekolah itu tidak hanya menyangkut gedung sekolah yang sudah reyot, tetapi juga buku-buku pelajaran nasional yang menjadi sasaran ujian nasional, seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Fisika, Kimia, Sosiologi, Geografi, dan Ekonomi. Tahun 2010, sekolah itu mendapat bantuan buku-buku tersebut dari provinsi, tetapi pada tahun 2011 dan 2012 tidak ada lagi.
Terkait gedung yang tak layak pakai dan kesulitan buku pelajaran, Klau mengatakan, pihaknya sudah berulang kali menyampaikan permohonan bantuan kepada Gubernur NTT, anggota DPR, Farry Francis dan Jefri Riwu Kore, serta anggota DPRD NTT yang berkunjung melihat bencana banjir Benanain, tetapi tidak satu pejabat pun merespons.
”Mereka hanya janji, tetapi sampai hari ini tidak ada yang bersedia membantu. Mungkin karena ini sekolah swasta sehingga tidak ada perhatian pemerintah. Namun, sekolah ini, meski di tengah keterbatasan yang ada, telah menghasilkan lulusan yang tidak kalah dari lulusan SMA di Kota Kupang atau Atambua,” kata Klau.
Anton Nahak (56), tokoh masyarakat Mota Ulun, mengatakan, pemerintah sering gagal mengelola sekolah di pedalaman kecuali swasta. Namun, pemerintah merasa gengsi memberikan bantuan kepada sekolah swasta. Sekolah swasta juga berkarya mencerdaskan generasi muda ke depan, bukan hanya sekolah negeri.
”Guru-guru negeri yang tumpuk di kota sebaiknya dikirim ke pedalaman seperti di Mota Ulun ini. Di sini, kami sangat butuh guru negeri sehingga dapat meringankan beban yayasan yang ada, sekaligus membantu orangtua siswa,” kata Nahak.
Yeni Klau Seran (15), siswa SMA setempat, meminta pemerintah membantu membangun sekolah tersebut. Jumlah siswa terus meningkat setiap tahun, tetapi ruang kelas sangat terbatas. Yeni adalah siswa teladan di sekolah itu.
Sekretaris Camat Malaka Barat Yohanes Seran mengatakan, gedung yang sedang dibangun di belakang SMA Katolik itu dibangun yayasan. Namun, yayasan Katolik juga mendapat dana alokasi khusus dari Pemerintah Kabupaten Belu dan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
”Kondisi sekolah seperti itu karena kepala sekolah tidak memberikan masukan atau laporan kepada dinas pendidikan. Jika ada laporan, tentu pemerintah sudah melakukan rehabilitasi gedung,” kata Seran.
(KORNELIS KEWA AMA)
http://edukasi.kompas.com
Bentuk bangunan sudah miring ke sebelah kanan dan nyaris tumbang. Bagian dalam ruang kelas berantakan. Tak ada sekat pemisah antara ruang kelas yang satu dan ruang kelas lain, kecuali papan tripleks setinggi 1 meter, yang sebagian besar sudah hancur.
Papan tulis sebagian sudah sobek dan berlubang. Seluruh ruangan tampak reyot, tidak ada plafon sehingga bunyi hujan begitu terasa dan pada musim kemarau sangat panas (gerah).
Kursi meja yang seharusnya 40-50 tempat duduk hanya tersedia 20-30 unit. Itu pun sudah miring, patah, dan tidak ada sandaran punggung. Sebagian siswa terpaksa menulis di lantai atau menggunakan tempat duduk dan landasan menulis seadanya.
Lantai bangunan langsung tanah kosong. Hanya disirami batu kerikil dan pasir halus. Ketika banjir akibat daerah aliran sungai Benanain, Malaka Barat, meluap, seluruh ruangan tergenang air. Sekolah pun libur sampai menunggu air kering.
Tidak hanya ruang kelas, seluruh halaman sekolah bahkan seluruh bangunan sekolah juga terendam air banjir Benanain saat meluap. Dinding bangunan dari bebak, tulang daun dari pohon gewang, terendam air dan mulai lapuk. Padahal, bebak termasuk bahan bangunan yang bertahan sampai ratusan tahun.
Meski sedang tidak hujan (kering), sebagian areal halaman sekolah itu tergenang air berlumpur. Bahkan, beberapa bagian dinding bangunan tampak berlumut akibat luapan banjir Benanain.
Sekolah itu dibangun Yayasan Katolik Keuskupan Atambua, Belu, pada 2002 dengan tujuan membantu menampung lulusan SMPN dari Kecamatan Malaka Barat. Sebelumnya, anak-anak lulusan dua SMPN dari Kecamatan Malaka Barat mengikuti pendidikan SMAN di Kecamatan Malaka Tengah, 10 kilometer dari Malaka Barat.
Kepala SMA Katolik Sta Maria Ratu Rosari Besikama, Kabupaten Belu, Thomas Bere di Desa Mota Ulun, 95 kilometer dari Atambua, Senin (20/2), mengatakan, kebetulan wartawan datang ke sekolah itu sedang tidak hujan meski musim hujan. Sudah dua pekan terakhir wilayah tersebut kering dan menyisakan sejumlah titik genangan (kubangan air) mirip danau di sejumlah tempat.
Saat musim hujan, seluruh bangunan ini digenangi air. Sekolah terpaksa diliburkan sampai menunggu air surut.
”Meski serba kekurangan, kami tetap bekerja maksimal untuk berprestasi. Kami memanfaatkan semua sarana dan prasarana yang ada seefektif mungkin,” kata Bere.
Lulusan SMA Katolik itu sudah memasuki angkatan keenam. Persentase kelulusan tiga tahun terakhir masing-masing 100 persen (2011), 100 persen (2010), dan 95 persen (2009) dengan jumlah peserta ujian nasional 118, 123, dan 121 siswa.
Tahun 2007, sekolah itu mengikuti ujian nasional di SMAN Malaka Tengah, 10 kilometer dari Malaka Barat. Namun, sejak 2008, SMA Katolik Sta Maria Ratu Rosari menyelenggarakan ujian nasional sendiri sesuai keputusan Dinas Pendidikan Kabupaten Belu.
Jumlah keseluruhan siswa di SMA itu 326 orang, tertampung dalam tujuh ruangan belajar. Kelas III paralel A, B, C masing-masing dengan rombongan belajar 30-40 orang. Kelas I dan kelas II masing-masing paralel A-B saja dengan jumlah siswa 40-50 orang. Setelah naik kelas III, dibagi menjadi kelas III A, B, dan C.
Sebanyak 14 guru yayasan mengajar di sekolah tersebut dan hanya ada dua guru PNS. Dari 14 guru yayasan itu, yang sudah disertifikasi sebanyak lima guru, termasuk kepala sekolah.
Guru yayasan diberi honor Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan, tergantung dari masa mengajar. Pihak yayasan meminta kepada dinas pendidikan setempat agar para guru swasta itu diangkat menjadi pegawai negeri, tetapi sampai saat ini belum terealisasi.
Pemerintah telah membangun satu unit SMAN Malaka Barat dan dua unit SMAN jarak jauh di wilayah itu pada 2007. Namun, kebanyakan siswa lulusan SMPN lebih memilih SMA Katolik Ratu Rosari.
Lamber Klau Nahak (45), wakil kepala sekolah bidang sarana dan prasarana ajar, mengatakan, kesulitan yang dihadapi sekolah itu tidak hanya menyangkut gedung sekolah yang sudah reyot, tetapi juga buku-buku pelajaran nasional yang menjadi sasaran ujian nasional, seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Fisika, Kimia, Sosiologi, Geografi, dan Ekonomi. Tahun 2010, sekolah itu mendapat bantuan buku-buku tersebut dari provinsi, tetapi pada tahun 2011 dan 2012 tidak ada lagi.
Terkait gedung yang tak layak pakai dan kesulitan buku pelajaran, Klau mengatakan, pihaknya sudah berulang kali menyampaikan permohonan bantuan kepada Gubernur NTT, anggota DPR, Farry Francis dan Jefri Riwu Kore, serta anggota DPRD NTT yang berkunjung melihat bencana banjir Benanain, tetapi tidak satu pejabat pun merespons.
”Mereka hanya janji, tetapi sampai hari ini tidak ada yang bersedia membantu. Mungkin karena ini sekolah swasta sehingga tidak ada perhatian pemerintah. Namun, sekolah ini, meski di tengah keterbatasan yang ada, telah menghasilkan lulusan yang tidak kalah dari lulusan SMA di Kota Kupang atau Atambua,” kata Klau.
Anton Nahak (56), tokoh masyarakat Mota Ulun, mengatakan, pemerintah sering gagal mengelola sekolah di pedalaman kecuali swasta. Namun, pemerintah merasa gengsi memberikan bantuan kepada sekolah swasta. Sekolah swasta juga berkarya mencerdaskan generasi muda ke depan, bukan hanya sekolah negeri.
”Guru-guru negeri yang tumpuk di kota sebaiknya dikirim ke pedalaman seperti di Mota Ulun ini. Di sini, kami sangat butuh guru negeri sehingga dapat meringankan beban yayasan yang ada, sekaligus membantu orangtua siswa,” kata Nahak.
Yeni Klau Seran (15), siswa SMA setempat, meminta pemerintah membantu membangun sekolah tersebut. Jumlah siswa terus meningkat setiap tahun, tetapi ruang kelas sangat terbatas. Yeni adalah siswa teladan di sekolah itu.
Sekretaris Camat Malaka Barat Yohanes Seran mengatakan, gedung yang sedang dibangun di belakang SMA Katolik itu dibangun yayasan. Namun, yayasan Katolik juga mendapat dana alokasi khusus dari Pemerintah Kabupaten Belu dan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
”Kondisi sekolah seperti itu karena kepala sekolah tidak memberikan masukan atau laporan kepada dinas pendidikan. Jika ada laporan, tentu pemerintah sudah melakukan rehabilitasi gedung,” kata Seran.
(KORNELIS KEWA AMA)
http://edukasi.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar