Jam Gadang sebagai ikon Kota Bukittinggi dan Provinsi Sumbar pada umumnya, kembali direhabilitasi.
Pada rehab tahap kedua ini hanya berfokus pada perbaikan drainase, perbaikan lantai, serta perluasan pemagaran di sekitar Jam Gadang.
Dilihat dari kondisi sebelumnya, sistem drainase di sekitar Jam Gadang agak sedikit tak terawat. Ketika hujan mengguyur, lantai dasar Jam Gadang sering digenangi air, sehingga dikhawatirkan mempengaruhi keawetan stuktur lantai dasar di Jam Gadang. Atas dasar tersebut, perbaikan drainase Jam Gadang dilakukan.
Setelah sistem drainase tersebut selesai, lantai keramik di lantai dasar Jam Gadang akan ditukar, agar terlihat bersih dan indah. Selain itu, pagar yang sekarang ada di Jam Gadang juga akan dicopot dan dipasang lagi, yang luasnya sedikit lebih lebar dari sebelumnya.
“Rehab Jam Gadang ini merupakan rehabilitasi tahap kedua. Pada tahun lalu juga dilakukan rehab struktur bangunan dan pengecatan ulang. Rehab ini dilakukan agar Jam Gadang tetap terlihat indah, tidak rapuh dan tidak kusam meski telah berusia tua,” ujar Yusrizal, Koordinator Pelaksana Lapangan Rehabilitasi Jam Gadang Tahap II, dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Bukittinggi.
Yusrizal mengatakan, proses rehab Jam Gadang tahap kedua telah dimulai semenjak 28 Juni 2012. Namun Ia belum memastikan kapan rehabilitasi tahap dua itu akan selesai, karena tidak ada target waktu rehabilitasi yang ditetapkan.
Ia menjelaskan, dana rehabilitasi ini merupakan dana swakelola atau hibah dari Badan Pelestarian Pustaka Indonesia (BPPI) Jakarta. Namun Yusrizal mengaku tidak mengetahui jumlah dana hibah tersebut, dan mengatakan bahwa dirinya hanya sebagai pelaksana lapangan yang tak pernah diberitahu berapa jumlah dana rehab tersebut.
Dilihat dari sejarah berdasarkan Wikipedia, Jam Gadang dibangun pada tahun 1926, sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya.
Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk kalenteng. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2012 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah Kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang Kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010. (h/wan)
harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar