RUMAH GADANG
Saat rumah gadang itu lapuk, sebagian kayunya dimanfaatkan untuk kayu bakar. Minimnya perhatian kaum dan ninik mamak terhadap rumah gadang, mempercepat hancurnya simbol adat dan budaya Minang ini.
Bukan saja surau yang telah roboh. Rumah gadang juga berangsur-angsur lenyap dari muka bumi. Rumah gadang adalah simbol pertahanan terakhir adat dan budaya Minang.
Rumah gadang tercatat sebagai salah satu cagar budaya, tersebar di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat. Namun keberadaannya kian hari kian memprihatinkan, kotor, tak terawat dan lapuk dimakan usia. Lalu satu persatu roboh, bersimpuh ke bumi. Karena tak ada yang menghuninya dan tidak pula ada yang merawatnya.
Pemilik rumah gadang, anggota sebuah suku atau kaum di sebuah nagari sudah pergi merantau mencari kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Di samping itu ada pula yang sudah membuat rumah sendiri yang lebih kecil. Kalau pun ada kerabat yang tinggal berdekatan dengan rumah gadang, tapi tak sanggup pula mengeluarkan uang untuk merawatnya. Sebab hidupnya sendiri juga susah.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumbar Burhasman, keberadaan rumah gadang erat kaitannya dengan rasa memiliki dan kebanggaan dari sebuah kaum atau suku. Bagi mereka yang rasa memilikinya masih kental dan kekerabatan yang kuat, tetap berupaya mempertahankan rumah gadangnya suku atau kaumnya. Apalagi bagi kaum kerabat yang mampu, ikut memberikan bantuan untuk perawatan dan kelestarian rumah gadangnya. Harus diakui, merawat rumah gadang membutuhkan biaya yang lumayan besar. Bahan bangunannya adalah bahan pilihan, tidak bisa sembarangan, ditambah dengan sejumlah ornamen khas yang tidak mudah diperoleh di pasar.
“Kelestarian rumah gadang itu erat kaitannya dengan rasa memiliki dan kebanggaan suatu kaum atau suku. Di samping itu tak bisa dipungkiri biaya yang dibutuhkan untuk perawatannya lumayan besar. Dan kita selalu mendorong masyarakat untuk selalu memiliki kebanggaan pada rumah gadangnya sehingga muncul rasa memiliki dan memperhatikan rumah gadangnya,” terang Burhasman yang didampingi Kabid Sejarah dan Kepurbakalaan Jhony Rizal kepada Haluan, pekan lalu.
Namun sebaliknya, terjadi pergeseran pemikiran dari sebuah kemajuan zaman. Tipikal rumah gadang yang kompleks dan ditempati seluruh anggota keluarga, kurang diminati sebuah keluarga dewasa ini. Rumah-rumah modern yang lebih kecil dan dihuni keluarga inti saja, rupanya lebih menarik.
Apalagi untuk mendirikan sebuah rumah modern itu, lebih mudah dan gampang mendapatkan bahan bangunannya. Meski demikian, Pemprov Sumbar sangat peduli dengan kelestarian rumah gadang ini. Bahkan beberapa tahun belakangan, selalu dialokasikan anggaran untuk pemeliharaannya dalam APBD Sumbar, terutama rumah gadang yang sudah berusia lebih dari 50 tahun dan termasuk cagar budaya.
“Jangan terjadi lagi rumah gadang yang rubuh dimakan usia, lalu masyarakat mengambil kayu dari bangunannya yang lapuk sebagai kayu api. Karena seharusnya muncul empati dalam diri kita melihat kenyataan ini,” katanya.
Penolakan Bantuan Pemeliharaan
Setiap rumah gadang yang usianya sudah lebih 50 tahun, akan didata oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) sebagai cagar budaya. Saat ini tercatat sekitar 557 unit cagar budaya di Sumbar tersebar di seluruh kabupaten/kota kecuali di Padang Panjang.
Jenisnya bermacam-macam, selain rumah gadang terdapat juga komplek pemakaman, situs, balairung, surau, masjid, rumah dinas dan lainnya. Pemprov Sumbar berupaya mengalokasikan bantuan untuk pelestariannya terutama rumah gadang yang kurang terawat.
Namun tak semua niat baik itu mendapat tanggapan yang baik pula. Sebab di antaranya menolak untuk diberi bantuan perawatan ini. Kekhawatiran muncul dari pemilik atau ahli warisnya, bahwa rumah gadangnya akan beralih kepemilikan karena masuknya modal pemerintah.
“Salah satu kendala kita dalam perawatan rumah gadang ini adalah adanya pemahaman keliru dari pemilik atau ahli waris ketika kita menyalurkan bantuan untuk pemeliharaannya. Bagi yang memahaminya, maka rumah gadangnya kita bantu pemeliharaannya,” terang Bushasman.
Salah satunya adalah rumah gadang Tuanku Lareh di Matua, Agam, mendapatkan bantuan pemeliharaan tahun 2011 lalu. Bantuan diberikan tidak dalam bentuk uang, tetapi langsung dikerjakan berupa pagar dan jalan masuk ke rumah gadang itu.
Begitu pula rumah gadang Rajo Siguntua di Dharmasraya, mendapat bantuan selama 2 tahun anggaran, APBD 2010 dan APBD 2011. Dengan kondisi bangunan yang terawat, lokasi cagar budaya ini akan menjadi salah satu tujuan wisata. Hal itu lah yang dirasakan pemilik atau kerabat rumah gadang Rajo Siguntua dan Tuanku Lareh.
“Lokasi ini kini menjadi salah satu tujuan wisata pendidikan dan juga wisata sejarah. Banyak masyarakat yang berkunjung terutama dari kalangan pelajar,” kata Jhony.
Tetapi dengan keluarkan Permendagri No.32 tahun 2011 tentang Dana Hibah dan Bantuan Sosial, maka pada tahun 2012 ini tidak dapat lagi dianggarkan. Menurut ketentuannya, kewenangan itu ada di masing-masing kabupaten/kota. Untuk itu diharapkan, kabupaten/kota dapat menindaklanjutinya dengan mengalokasikannya pula.
Pemprov Sumbar tetap berupaya memberikan perhatian bagi pelestarian rumah gadang, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Rasa memiliki dan kebanggaan terhadap rumah gadang harus selalu ditumbuhkan dalam jiwa masyarakat Minang.
Melalui kegiatan Lomba Film Dokumenter yang digelar untuk kedua kalinya tahun ini, diharapkan lahir dokumentasi deskripsi sebuah kearifan lokal terhadap seni budaya dan wisata Ranah Minang, termasuk rumah gadang.
“Tahun ini kita menggelar Lomba Film Dokumenter untuk kedua kalinya. Kita harapkan dari lomba ini akan lahir dokumentasi deskripsi sebuah kearifan lokal Ranah Minang, seperti prosesi batagak rumah, turun ke sawah dan lainnya, termasuk kebanggaan terhadap rumah gadang,” ujar Burhasman.
Laporan: DEVI DIANI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar