NIL MAIZAR
Nyetel dengan sepakbola yang kini beraroma industri sarat sorot kampanye media, penampilannya parlente, berkemeja lengan panjang putih dan bercelana warna gelap. Dia Nil Maizar, pelatih tim nasional Indonesia.
Pemberontakan Nil Maizar bertuah, tidak berhenti sekadar macan kertas. Pada babak pertama, Indonesia mampu menjinakkan gerak eksplosif dari para pemain Korut yang disebut-sebut sebagai salah satu kekuatan terpendam dari sepak bola Asia.Selama babak pertama berlangsung ketika anak asuhnya bersimbah peluh dan beradu asa dengan lawan, mantan pelatih Semen Padang itu terus berdiri di pinggir lapangan, melayangkan pandangan, menyapu setiap sisi lini permainan.
Indonesia menantang Korea Utara (Korut) dalam ajang persahabatan SCTV Cup 2012 yang dihelat di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Senin (10/9).
Ia sesekali berteriak memberi aba-aba agar pemain senantiasa terus bergerak mengisi setiap ruang demi membuka peluang mencetak gol ke gawang lawan, dan tidak lengah menutup pergerakan pemain lawan.
Ia tidak ingin sekedar duduk manis di bangku pemain cadangan, tetapi menunjukkan bahwa memimpin tidak cukup mengomando bahwa anak buah perlu memakai seragam, tetapi membuktikan diri bahwa dia punya “sesuatu”. Meminjam bahasa gaul, “tidak omong doang” atau menyukai pernyataan, “itu bagus, silakan diteruskan”.
Alhasil, Wahyu Wijiastanto dan Handi Ramdhan sebagai palang pintu tahanan Tim Garuda mendapat energi ekstra dari sang pelatih. Penampilan keduanya lugas, tidak jarang beradu badan dan beradu lari dengan dua ujung tombak timnas Korea Utara, Ri Jin Hyok dan Jong Il Gwan.
Pemberontakan gaya Nil Maizar dapat dirumus secara negatif, ia tidak ingin terus mengomando anak buah. Ia ingin senantiasa hadir menyertai anak buah di setiap laga. Ia ingin ada dalam ruang dan waktu bersama seluruh tim.
Tidak main-main, Korut di bawah asuhan pelatih Yun Jong Su, datang dengan empat pemain yang ikut berlaga di Piala Dunia 2010. Mereka adalah Ro Myong Guk, Ri Kwang Hyok, Pak Nam Chol, dan Ri Myong Chol.
Korut punya gawe serius, bahwa tim asuhan Jong Su ini disiapkan untuk Piala Asia 2015 dan Piala Dunia 2018. Inilah ruang dan waktu dari nadi seluruh jagat sepak bola Korut. Tim berjuluk Chollima, kini menyabet peringkat 89 FIFA.
Nil Maizar mendaulat anak buahnya agar tidak berkecil hati. Lihat saja aksi perorangan yang diperagakan Okto Maniani melewati pemain bertahan Korut dan aksi pemain gaek Elie Aiboy melepaskan diri dari kawalan pemain lawan.
“Saya menunjuk dia (Elie Aiboy) sebagai kapten, karena dia punya segudang pengalaman internasional,” kata Maizar menjawab pertanyaan soal alasan penunjukan Elie Aiboy sebagi kapten tim, meski di babak kedua, ia diganti oleh Nur Iskandar.
Energi pemberontakan Nil Maizar menyuntik keberanian Okto untuk tampil “all out”. Didahului kerjasama satu dua dengan Aiboy, Okto menyelesaikannya dengan melepaskan tembakan keras mengarah gawang Korut yang dijaga Ri Myong Guk. Bola tipis melayang di atas gawang Korut. Ratusan penonton bersuara, “aarrgh….”
Jual beli serangan merasuk dua tim. Korut ganti menyerang dan melepaskan tendangan jarak jauh, tetapi si kulit bundar masih bisa ditepis oleh Endra Prasetyo.
Semenit kemudian, serangan balik Indonesia meneror gawang Korut. Umpan silang Elie Aiboy luput dihalau kiper Korut, Ri Myong-Guk. Sayang, Okto kurang afdol memotong bola. Di babak pertama, Indonesa menahan imbang Korut, 0-0.
Keberanian Okto dan kejelian Aiboy bersumber dari bara pemberontakan Nil Maizar yang bersumber dari pertanyaan mengenai siapa sesungguhnya manusia. Infus semangat yang disuntikan Nil Maizar dapat dirumus secara positif, bahwa manusia sesungguhnya sudah punya bakat untuk mengetahui sesuatu.
Di mata Nil Maizar, manusia selalu memakai kacamata tertentu dalam menangkap, mengamati dan mengalami segalanya di semesta bola.
Lebih dulu, ia menangkap spiral kekecewaan publik terhadap prestasi timnas yang terus kedodoran. Kini timnas Indonesia berada di peringkat 159 FIFA (Agustus 2012), peringkat terendah dibandingkan pada capaian September 1998 (peringkat 76).
Kepedihan sepak bola Indonesia memuncak ketika timnas Indonesia menelan pil pahit. Bahrain menekuk Indonesia 10-0 di laga penyisihan grup Piala Dunia 2014. Di tengah gelora pemberontakan Nil Maizar, ada kerikil. “Tim Garuda” takluk 0-2 dari Korut.
Ini lantaran, mental bertanding tim anjlok setelah Hamdi Ramdhan melakukan pelanggaran keras, akibatnya ia diganjar kartu merah oleh wasit asal Malaysia, Shuhaizi Bin Shukri. Indonesia harus mampu bermain dengan 10 orang. Korut ciamik memanfaatkan momen keunggulan pemain dan mencetak dua gol melalui Park Song-Chol dan Jong Il-Gwan.
“Hamdi sudah meminta maaf. Saya katakan tak apa-apa. Kadang, pemain belakang secara naluri pasti melakukan tekel seperti itu. Apalagi, posisi pemain Korut sangat menguntungkan untuk mencetak gol,” kata Nil dalam jumpa pers setelah pertandingan.
“Mudah-mudahan semua bisa dibenahi, karena masih ada dua bulan untuk perbaikan tim. Tim ini masih butuh proses. Secara keseluruhan, dua babak tak terlalu berbeda bagi kami. Ada sedikit lubang yang perlu ditambal,” katanya menambahkan.
Dua pernyataan bernuansa pemberontakan dari Nil itu bermuara dari pandangan mengenai manusia. Manusia hanya tahu mengenai benda tertentu, berkat pengalamannya. Pemain timnas Indonesia dapat tahu mengenai “bagaimana memenangi laga” dari pengalaman bertanding.
Menurut filosof Michael Polanyi, supaya manusia bisa “tahu bahwa sesuatu sebagaimana adanya”, manusia harus punya pengalaman pribadi yang langsung.
Manusia tahu konsep hijau, hanya melalui penunjukan berulang-ulang dan berbagai contoh dari benda yang berwarna hijau. Pemain timnas Indonesia tahu mengenai visi bermain, hanya melalui pengalaman berulang-ulang dari berbagai laga.
Pengamat sepak bola, Danurwindo menggarisbawahi pentingnya visi bermain bagi timnas Indonesia. Caranya, dengan melakukan banyak pertandingan agar tertanam jiwa dan semangat “pemberontakan” untuk memperoleh kemenangan dari setiap laga.
Pemberontakan gaya Nil mendapat apresiasi dari pelatih Korut, Yun Jong Su. “Barisan penyerang Indonesia memiliki kecepatan dan olah bola yang cukup. Tim Anda masih bisa berkembang,” kata Jong Su.
Kurang apa lagi? Maju terus Nil, di tengah kisruh sepak bola Indonesia yang terbelah dalam dua kubu saling berseteru antara PSSI dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI); di tengah pemain terbaik negeri ini terpecah menjadi dua kekuatan. Ini tantangan bagi pemberontakan gaya Nil Maizar.
Korut punya gawe serius, bahwa tim asuhan Jong Su ini disiapkan untuk Piala Asia 2015 dan Piala Dunia 2018. Inilah ruang dan waktu dari nadi seluruh jagat sepak bola Korut. Tim berjuluk Chollima, kini menyabet peringkat 89 FIFA.
Nil Maizar mendaulat anak buahnya agar tidak berkecil hati. Lihat saja aksi perorangan yang diperagakan Okto Maniani melewati pemain bertahan Korut dan aksi pemain gaek Elie Aiboy melepaskan diri dari kawalan pemain lawan.
“Saya menunjuk dia (Elie Aiboy) sebagai kapten, karena dia punya segudang pengalaman internasional,” kata Maizar menjawab pertanyaan soal alasan penunjukan Elie Aiboy sebagi kapten tim, meski di babak kedua, ia diganti oleh Nur Iskandar.
Energi pemberontakan Nil Maizar menyuntik keberanian Okto untuk tampil “all out”. Didahului kerjasama satu dua dengan Aiboy, Okto menyelesaikannya dengan melepaskan tembakan keras mengarah gawang Korut yang dijaga Ri Myong Guk. Bola tipis melayang di atas gawang Korut. Ratusan penonton bersuara, “aarrgh….”
Jual beli serangan merasuk dua tim. Korut ganti menyerang dan melepaskan tendangan jarak jauh, tetapi si kulit bundar masih bisa ditepis oleh Endra Prasetyo.
Semenit kemudian, serangan balik Indonesia meneror gawang Korut. Umpan silang Elie Aiboy luput dihalau kiper Korut, Ri Myong-Guk. Sayang, Okto kurang afdol memotong bola. Di babak pertama, Indonesa menahan imbang Korut, 0-0.
Keberanian Okto dan kejelian Aiboy bersumber dari bara pemberontakan Nil Maizar yang bersumber dari pertanyaan mengenai siapa sesungguhnya manusia. Infus semangat yang disuntikan Nil Maizar dapat dirumus secara positif, bahwa manusia sesungguhnya sudah punya bakat untuk mengetahui sesuatu.
Di mata Nil Maizar, manusia selalu memakai kacamata tertentu dalam menangkap, mengamati dan mengalami segalanya di semesta bola.
Lebih dulu, ia menangkap spiral kekecewaan publik terhadap prestasi timnas yang terus kedodoran. Kini timnas Indonesia berada di peringkat 159 FIFA (Agustus 2012), peringkat terendah dibandingkan pada capaian September 1998 (peringkat 76).
Kepedihan sepak bola Indonesia memuncak ketika timnas Indonesia menelan pil pahit. Bahrain menekuk Indonesia 10-0 di laga penyisihan grup Piala Dunia 2014. Di tengah gelora pemberontakan Nil Maizar, ada kerikil. “Tim Garuda” takluk 0-2 dari Korut.
Ini lantaran, mental bertanding tim anjlok setelah Hamdi Ramdhan melakukan pelanggaran keras, akibatnya ia diganjar kartu merah oleh wasit asal Malaysia, Shuhaizi Bin Shukri. Indonesia harus mampu bermain dengan 10 orang. Korut ciamik memanfaatkan momen keunggulan pemain dan mencetak dua gol melalui Park Song-Chol dan Jong Il-Gwan.
“Hamdi sudah meminta maaf. Saya katakan tak apa-apa. Kadang, pemain belakang secara naluri pasti melakukan tekel seperti itu. Apalagi, posisi pemain Korut sangat menguntungkan untuk mencetak gol,” kata Nil dalam jumpa pers setelah pertandingan.
“Mudah-mudahan semua bisa dibenahi, karena masih ada dua bulan untuk perbaikan tim. Tim ini masih butuh proses. Secara keseluruhan, dua babak tak terlalu berbeda bagi kami. Ada sedikit lubang yang perlu ditambal,” katanya menambahkan.
Dua pernyataan bernuansa pemberontakan dari Nil itu bermuara dari pandangan mengenai manusia. Manusia hanya tahu mengenai benda tertentu, berkat pengalamannya. Pemain timnas Indonesia dapat tahu mengenai “bagaimana memenangi laga” dari pengalaman bertanding.
Menurut filosof Michael Polanyi, supaya manusia bisa “tahu bahwa sesuatu sebagaimana adanya”, manusia harus punya pengalaman pribadi yang langsung.
Manusia tahu konsep hijau, hanya melalui penunjukan berulang-ulang dan berbagai contoh dari benda yang berwarna hijau. Pemain timnas Indonesia tahu mengenai visi bermain, hanya melalui pengalaman berulang-ulang dari berbagai laga.
Pengamat sepak bola, Danurwindo menggarisbawahi pentingnya visi bermain bagi timnas Indonesia. Caranya, dengan melakukan banyak pertandingan agar tertanam jiwa dan semangat “pemberontakan” untuk memperoleh kemenangan dari setiap laga.
Pemberontakan gaya Nil mendapat apresiasi dari pelatih Korut, Yun Jong Su. “Barisan penyerang Indonesia memiliki kecepatan dan olah bola yang cukup. Tim Anda masih bisa berkembang,” kata Jong Su.
Kurang apa lagi? Maju terus Nil, di tengah kisruh sepak bola Indonesia yang terbelah dalam dua kubu saling berseteru antara PSSI dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI); di tengah pemain terbaik negeri ini terpecah menjadi dua kekuatan. Ini tantangan bagi pemberontakan gaya Nil Maizar.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar