KOMPAS.com/Indra AkuntonoGubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama Direktur RSUD Tarakan Jakarta Kusnaidi (baju putih), Rabu (20/2/2013), di RS Tarakan Jakarta.
Beberapa hari ini masyarakat kembali digegerkan dengan kasus meninggalnya dua orang bayi di Jakarta. Layanan rumah sakit di Jakarta yang tidak maksimal adalah pemicunya.
Dera Nur Anggraini yang lahir di Rumah Sakit Zahira meninggal dunia dalam usia 4 hari pada 16
Februari 2013 lalu setelah gagal mendapatkan penanganan di delapan rumah sakit dengan alasan keterbatasan alat dan ruangan penuh. Lima hari berselang, Upik divonis meninggal dunia oleh RS Bersalin Kartini dalam keadaan masih bernapas.
Dalam kasus Dera, semua pihak, rumah sakit dan Pemerintah Provinsi DKI telah memberikan klarifikasi bahwa kondisi rumah sakit benar-benar tidak memungkinkan untuk melakukan penanganan. Keterbatasan ruangan, serta tak adanya fasillitas Neonatal Intensive Care Unit (NICU) menjadi penyebab rumah sakit tak bisa menerima Dera yang menderita gangguan pernapasan.
Pada 19 Februari, Kepala Dinas Kesehatan Dien Emawati menggelar jumpa pers untuk memberikan penjelasan. Di situ terungkap, bahwa minimnya jumlah NICU di rumah sakit tak lain disebabkan oleh dana pengadaan yang sangat tinggi. Biaya investasi pembelian peralatan NICU mencapai Rp 5-7 miliar per unit. Itulah mengapa di seluruh Jakarta hanya terdapat 143 layanan kamar dengan fasilitas NICU.
Dien mengakui 143 unit NICU tidak akan mampu melayani kelahiran bayi yang dalam kondisi kesehatan khusus. Berdasarkan perhitungannya, dari 100 kelahiran bayi setiap hari, setidaknya satu bayi harus dirawat di ruang NICU Keterbatasan semakin diperparah dengan minimnya tenaga dokter spesialis anak dan perawat khusus yang harus siap siaga selama 24 jam memantau kondisi kesehatan bayi. Ruang NICU membutuhkan satu inkubator khusus yang dikendalikan dokter spesialis anak dan perawat selama 24 jam.
"Untuk mengantisipasi keterbatasan peralatan NICU, kami akan menambah peralatan NICU minimal di RSUD. Supaya kejadian tak berulang, kami akan minta tambah tahun ini," kata Dien.
Menjawab persoalan itu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo langsung meminta semua RSUD untuk mengubah 75 persen ruang kelas II menjadi kelas III. Instruksi itu akan segera berlaku, dan sudah dilakukan di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat.
Selain penambahan jumlah ruang kelas III, Jokowi juga bertekad menambah jumlah fasilitas ICU dan NICU, ditambah sistem integrasi (online) untuk memudahkan pasien mendapatkan informasi mengenai ketersediaan ruang rawat inap. Sumber dananya diupayakan melalui APBD DKI 2013, atau melalui APBD Perubahan 2013.
"Kalau untuk yang dua ini (ICU dan NICU) memang perlu waktu satu tahun. Kalau nanti belum ada (anggarannya) kan bisa digeser-geser, kalau belum ada nanti di perubahan. Artinya akhir tahun sudah bisa," ujar Jokowi, Kamis (21/2/2013).
Untuk kasus Upik, Jokowi juga turut menyesalkan. Ia berjanji akan memberikan sanksi tegas pada semua rumah sakit, khususnya yang ada di bawah Pemerintah Provinsi DKI. Sanksi tersebut bisa berupa dipersulitnya proyek, sampai dengan pencabutan izin operasional.
Di sisi lain, RSB Kartini mengaku telah maksimal menangani Upik dan membantah menolak menangani karena tak mampu membayar. "Apa yang telah kami lakukan saat pertama kali menyatakan meninggal telah sesuai dengan ilmu kedokteran karena detak denyut jantung, nafas, maupun pupil sudah tidak ada," kata Direktur RSB Kartini, dr Elmira.
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar