Pagi-pagi buta para siswa warga Dusun Pananian, Desa Batetangnga, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, sudah mulai meninggalkan rumah masing-masing. Mereka membawa obor berbahan bakar minyak tanah sebagai alat penerangan.
Mereka harus berangkat pagi-pagi sekali agar tidak terlambat karena sekolah mereka berjarak belasan kilometer, terlebih lagi mereka menempuhnya dengan berjalan kaki. Meskipun demikian, semangat mereka tidak luntur demi mendapatkan pendidikan.
Desa mereka memang terpencil. Untuk mencapai sekolah, para siswa Madrasah Ibtidaiyah (sekolah setingkat SD) Binuang harus berjalan kaki menembus hutan.
Mereka juga saling menunggu agar bisa berangkat bersama-sama, dalam kelompok besar, agar tidak takut bila menjumpai hewan liar, seperti monyet atau babi hutan. Ada juga anak-anak yang diantar jemput orangtua. Biasanya mereka yang masih duduk di kelas I dan II.
Di sepanjang perjalanan, mereka harus melintasi beberapa anak sungai dan jembatan gantung sepanjang 50 meter yang kondisinya tidak cukup aman. Bila hari hujan dan sungai meluap, anak-anak itu memilih tidak pergi ke sekolah.
Berhadapan dengan berbagai kesulitan karena minimnya infrastruktur, kebanyakan orangtua mendorong anak-anak mereka untuk terus bersekolah. Memang tidak sedikit anak usia sekolah yang akhirnya memilih berhenti dengan alasan jarak yang jauh dan melelahkan.
"Kasihan anak-anak harus berangkat pagi-pagi saat warga lain masih tidur, supaya mereka bisa tiba di sekolah sebelum pelajaran dimulai," tutur Nanni, seorang orangtua siswa. Nanni sendiri mendorong anaknya untuk terus bersekolah.
Aturan tidak ketat
Setiba di sekolah, para siswa langsung masuk kelas dan belajar seperti biasanya. Sekolah pun tidak menerapkan aturan yang terlalu ketat. Mereka tidak harus berseragam. Sandal jepit pun tidak menjadi masalah. Para guru bahkan menyambut anak-anak Desa Batetangnga bak pahlawan.
"Bagi para guru, kedatangan siswa di sekolah yang rumahnya cukup jauh adalah berkah. Kalaupun mereka terlambat, itu harus dimaklumi karena rumah mereka jauh dan mereka harus berjalan kaki belasan kilometer," kata Seniwati, salah seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah itu.
Jam pelajaran berakhir tepat pada pukul 13.30 Wita. Anak-anak itu pun harus kembali menempuh perjalanan yang jauh. Bagi mereka, pulang adalah tantangan yang lebih berat, karena matahari tetap di atas kepala dan mereka lapar.
Perut mereka hanya terisi setelah sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Itupun sudah habis untuk energi perjalanan berangkat. Mereka tidak pernah membawa bekal makanan dan uang jajan karena keluarga mereka harus berhemat. Mereka baru makan "siang" setelah tiba di rumah, sekitar pukul 16.00 Wita.
Tetap semangat
Berbagai kesulitan itu dihadapi Masdar, salah seorang siswa, dengan hati riang. Dia mengaku senang-senang saja harus bersekolah dengan perjuangan yang seberat itu.
"Saya senang karena guru-gurunya ramah dan bersahabat," ujar bocah, yang ditemui Kompas.comsaat tengah bermain dengan teman-temannya pada jam istirahat.
Kata Masdar, para guru memperlakukan dia dan teman-temannya seperti anggota keluarga sehingga mereka merasa seperti di rumah sendiri.
Orangtua siswa di Desa Batetangnga berharap pemerintah memerhatikan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka ingin pemerintah membangun jalan desa yang layak agar mereka tidak terisolasi seperti saat ini.
Ketiadaan jalan yang layak menyebabkan tidak adanya angkutan umum. Bahkan, sepeda motor pun sulit melewatinya. Padahal, mereka hanya ingin anak-anak di desa itu bisa mendapatkan akses pendidikan yang lebih mudah.
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar