Persoalan distribusi solar atau gas oil, belum menemui solusi efektif. Antrean kendaraan berbahan bakar solar, yang mayoritas truk beroda lebih dari empat, di Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) terus terjadi. Masalah yang muncul sejak awal Maret lalu, atau persis sejak berlakunya Peraturan Menteri (Permen) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak, jelas telah mengganggu roda ekonomi Sumbar. Dan, kemungkinan besar akan terus mengganggu, bila tak ada penegasan soal distribusi solar tersebut.
Apa sebetulnya yang menimbulkan masalah itu? Secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak kuat lagi menanggung subsidi BBM, salah satunya solar. Oleh karena itu harus ada pengendalian distribusi BBM, melalui pembatasan. Payung hukumnya, Permen ESDM No. 1/2013 tentang Pengendalian Penggunaan BBM. Salah satu yang diatur, bahwa mobil beroda lebih dari empat pengangkut hasil perkebunan, pertambangan, dan kehutanan dilarang menggunakan solar bersubsidi. Kecuali untuk usaha perkebunan rakyat yang skala usaha kurang dari 25 hektar; pertambangan rakyat dan komoditas batuan; hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Harga solar bersubsidi Rp4.500 per liter, dan solar non-subsidi Rp10.500 per liter (bisa kurang atau lebih tergantung harga minyak dunia).
Nah, pemerintah kemudian melakukan sosialisasi kepada pengusaha angkutan, pengusaha perkebunan, pertambangan, dan semua pihak yang berkepentingan dengan solar tersebut. Pada saat sosialisasi semua pihak bersepakat menjalankan Permen. Tapi, ketika Permen efektif berlaku mulai 1 Maret, persoalan muncul. Semua truk, yang dilarang menggunakan solar subsidi dan non-subsidi berbaur antre di semua SPBU. Sementara itu, Pertamina sudah membatasi kuota solar bersubsidi. Tentu saja solar bersubsidi jadi tak cukup. Pihak SPBU tak bisa dengan tegas membatasi distribusi kepada truk yang antre tersebut. Artinya, SPBU tetap menjual solar bersubsidi kepada semua truk yang antre, walaupun truk tersebut adalah pengangkut barang yang dilarang oleh Permen ESDM menggunakan solar bersubsidi.
Sampai di sini, masing-masing pihak saling membela diri.
Pertamina mengaku, jatah solar untuk Sumbar telah mencukupi. Bahkan ditambah. Tapi, kuota itu terdiri dari solar bersubsidi dan solar non-subsidi. Pertamina melalui SPBU tak bisa menolak mengisi solar bersubsidi untuk truk yang antre, walau truk itu sebetulnya tak berhak atas solar bersubsidi. Alasannya pihak SPBU tak bisa membedakan mana truk yang dapat jatah solar bersubsidi dan mana yang tidak. Pertamina berharap Pemda yang memberi tanda tersebut. Namun, Pemda berdalih tugas dan kewenangan memberi tanda kepada truk, ada di pusat. Sebab aturan itu dikeluarkan oleh pusat melalui Kementerian ESDM.
Akibat lemahnya pelaksanaan Permen ESDM ini, tentu saja dimanfaatkan oleh pengusaha nakal. Walau sebetulnya tak berhak atas solar bersubsidi, tapi truk mereka tetap bisa mendapat jatah solar bersubsidi di SPBU. Bagaimana pun juga, truk yang semestinya menggunkan solar non-subsidi, pasti akan terus berusaha mendapatkan solar bersubsidi. Tentu saja selama ada peluang. Pasalnya, perbedaan harga solar bersubsidi dengan solar non-subsidi sangat besar. Artinya, kalau tak ada tindakan tegas dalam distribusi solar ini, dapat dipastikan antrean truk yang mengular di SPBU akan terus terjadi. Ekonomi Sumbar juga akan bisa terus terganggu.
Bagaimana mengatasinya? Sebetulnya tak sulit benar. Pemerintah Pusat, Pertamina, Pemda, dan Polisi selaku penegak hukum, harus bersepakat menjalankan Permen ESDM tersebut. Beri tanda pembeda mana truk yang boleh dapat jatah solar bersubsidi dan mana yang tak boleh sesuai Permen ESDM tersebut. Setelah itu, pihak SPBU harus berani menolak mengisi solar bersubsidi, kalau truk tersebut harus diisi dengan solar non-subsidi. Pada tahap awal, bisa jadi akan ada protes di lapangan. Nah, ini tugasnya polisi. Kalau sudah jelas dilarang, tapi tetap ngotot, polisi bisa mengambil tindakan terhadap truk-truk yang tidak patuh tersebut. Polisi bisa memberi sangsi. Intinya, jangan beri peluang truk yang harus mengisi solar non-subsidi, dapat mengisi solar bersubsidi.
Namun, yang paling diharapkan tentu saja jangan sampai ada persoalan di lapangan. Caranya, pemilik truk dengan kesadaran sendiri mengisi solar non-subsidi, bila memang tak berhak atas solar bersubsidi. Kalau semua pengusaha bisa begitu, tentu tak perlu tindakan tegas atau keras di lapangan. Tapi bila tak bisa sadar sendiri, tentu harus “disadarkan”. Intinya, kepentingan masyarakat yang lebih luas harus diprioritaskan, dan peraturan harus ditegakkan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar