Gonjang-ganjing tentang Ujian Nasional menemukan titik terang. Mulai tahun pelajaran 2013/2014 Ujian Nasional Sekolah Dasar ditiadakan atau dihapus.
Ini sejalan dengan Pasal 67 ayat 1a PP Nomor 32 tahun 2013 tentang Perubahan atas PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penghapusan UN SD ini masih menimbulkan pro-kontra, ada yang setuju dihapus, ada juga yang menyesalkan penghapusan UN SD ini.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, amandemen pasal Pasal 72 ayat (1) PP 32/2013 yang menyebutkan peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan dasar dan menengah setelah (a) menyelesaikan eluruh program pembelajaran, (b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran (c) lulus ujian sekolah/madrasah, dan (d) lulus ujian nasional. Khusus ayat (1d) dihilang kan, sehingga Pasal 72 ayat (1a) berbunyi , khusus peserta didik dari SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat dinyatakan lulus setelah memenuhi ketentuan pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c.
Pascakeluarnya PP tersebut, banyak komentar yang beredar. Sebagian guru berharap UN tetap dipertahankan karena UN bisa meningkatan motivasi peserta didik dalam belajar. Apalagi selama ini orangtua juga sudah diajak untuk bekerja sama dalam mengawasi anak-anak dalam belajar, terutama men jelang ujian nasional. Bagi orangtua, tidak ada persoalan UN tetap digelar karena inilah salah satu upaya untuk meningkatkan semangat peserta didik dalam belajar. Di samping itu, dengan adanya ujian nasional maka masih ada alat ukur secara nasional yang bisa dipakai untuk melihat mutu pendidikan di berbagai daerah di Indonesia.
Sementara yang setuju ujian nasional dihapus berpendapat jika kebijakan ini sudah sejalan dengan harapan masyarakat. Masyarakat sejak lama berharap Ujian Nasional dihapus. Bukan hanya UN Sekolah Dasar dan MI, jika perlu semua jenis UN dihapus. Apalagi selama ini UN selalu diiringi dengan berbagai persoalan seperti kebocoran, kecurangan dan keterlambatan pendistribusian soal. UN yang seharusnya menjadi alat ukur untuk melihat pemerataan mutu pendidikan berubah menjadi ajang untuk saling melakukan kecurangan. Karena itulah, penghapusan UN seharusnya disambut baik agar kecurangan di dunia pendidikan tidak terus terjadi.
Negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman ter nyata tidak mengenal ujian nasional. Soedijarto (2007) menulis, Amerika Serikat dan Jerman tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijakan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.
Diakui atau tidak, kita masih jauh dari kondisi ideal tersebut. Setiap saat ada upaya untuk menjadikan guru profesional. Beragam pelatihan untuk guru sudah dan sedang dilakukan. Namun guru yang mendapatkan pelatihan tersebut terbatas, bahkan ada yang belum pernah mendapatkan pelatihan untuk menjadikan diri profesional sama sekali. Di samping itu, berapa persenkah guru yang mencurahkan segenap waktu, tenaga dan pikirannya untuk pendidikan. Kita tentu mengapresiasi positif para guru yang masih mau mengabdi dengan sepenuh hati, yang menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memajukan pendidikan, untuk mendam pingi peserta didik belajar dan memperoleh kemajuan.
Permasalahan tidak berhenti pada penciptaan guru profesional, guru yang mengabdi dengan sepenuh hati dan guru yang terus-menerus belajar untuk meningkatkan kompetensinya, kita juga dihadapkan pada upaya men ciptakan pembelajaran yang menyenangkan, menggembirakan dan suasana yang nyaman. Selama ini kita mengenal pembelajaran PAI KEM (Pembelajaran aktif interaktif kreatif efektif dan menyenangkan), namun baru sebatas di kelas. Kita belum bisa menciptakan suasana yang sama di luar kelas. Sekolah-sekolah di negara maju ternyata menyediakan sarana olahraga dan seni untuk menyalurkan bakat siswa, sekaligus untuk menjaga kebugarannya dalam belajar. Beberapa sekolah di Malaysia pun terlihat sudah mengadopsi sistem seperti ini. Mereka menyediakan lapangan bola kaki, tenis lapangan, atletik, tenis meja, badminton, basket dan beragam sarana olahraga lainnya, di samping fasilitas untuk menyalurkan bakat seninya.
Para siswa menjadi betah berada di sekolah sejak pagi hingga sore menjelang. Apalagi dengan adanya buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar secara optimal. Ketika beragam sarana tersebut sudah ada di sekolah, tentu siswa akan semakin betah berada di sekolah. Mereka tidak lagi gelisah untuk meninggalkan gedung sekolah kemudian tawuran dan melakukan tindakan kriminal lainnya di luar sekolah.
Lihat saja perpustakaan dan laboratotium yang ada di sekolah yang ada saat ini, berapa persenkah yang memenuhi persyaratan ideal sebagai perpustakaan dan laboratorium yang memungkinkan siswa belajar secara optimal. Taufik Ismail berkali-kali menyampaikan jika pelajar kita rabun membaca dan lumpuh menulis. Nyaris tidak ada buku yang diwajibkan untuk dibaca selama mereka duduk di bangku sekolah, sejak SD-SLTA. Karena itulah disebut sebagai rabun membaca. Begitu juga kewajiban untuk menulis laporan atau buku, nyaris tidak ada. Ironisnya kondisi yang sama terjadi juga pada guru, mereka juga rabun membaca dan lumpuh menulis. Dari 2,9 juta guru di Indonesia, berapa gurukah yang selalu meluangkan waktunya untuk membaca dan berapa pula yang mampu menulis buku dan karya tulis lainnya?
Dalam kondisi seperti itulah, ujian nasional menjadi perdebatan panjang. Di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman ujian nasional tidak ada, tetapi penilaian dilakukan secara terus-menerus. Peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektualnya, partisipasinya dalam belajar. Penilaian seperti ini tentu akan lebih baik daripada menentukan nasib peserta didik dalam tiga atau empat hari. Namun jika pembelajaran memang sudah berlangsung maksimal, tidak ada salahnya ujian nasional tetap dilaksanakan.
Setelah ujian nasional dihapus, diperlukan penilaian yang berkesinambungan agar mutu pendidikan tetap menjadi perhatian utama. Mau tidak mau, guru harus terus-menerus meningkatkan kompetensi dan keperofesionalannya agar penilaian berkelanjutan bisa dilakukan dan pendidikan yang bermutu bisa diwujudkan. Bagaimanapun, kita tetap memerlukan peserta didik yang matang secara intelegensi, emosional, sosial dan spritual agar persaingan di dunia global bisa diikuti. (*)
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, amandemen pasal Pasal 72 ayat (1) PP 32/2013 yang menyebutkan peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan dasar dan menengah setelah (a) menyelesaikan eluruh program pembelajaran, (b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran (c) lulus ujian sekolah/madrasah, dan (d) lulus ujian nasional. Khusus ayat (1d) dihilang kan, sehingga Pasal 72 ayat (1a) berbunyi , khusus peserta didik dari SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat dinyatakan lulus setelah memenuhi ketentuan pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c.
Pascakeluarnya PP tersebut, banyak komentar yang beredar. Sebagian guru berharap UN tetap dipertahankan karena UN bisa meningkatan motivasi peserta didik dalam belajar. Apalagi selama ini orangtua juga sudah diajak untuk bekerja sama dalam mengawasi anak-anak dalam belajar, terutama men jelang ujian nasional. Bagi orangtua, tidak ada persoalan UN tetap digelar karena inilah salah satu upaya untuk meningkatkan semangat peserta didik dalam belajar. Di samping itu, dengan adanya ujian nasional maka masih ada alat ukur secara nasional yang bisa dipakai untuk melihat mutu pendidikan di berbagai daerah di Indonesia.
Sementara yang setuju ujian nasional dihapus berpendapat jika kebijakan ini sudah sejalan dengan harapan masyarakat. Masyarakat sejak lama berharap Ujian Nasional dihapus. Bukan hanya UN Sekolah Dasar dan MI, jika perlu semua jenis UN dihapus. Apalagi selama ini UN selalu diiringi dengan berbagai persoalan seperti kebocoran, kecurangan dan keterlambatan pendistribusian soal. UN yang seharusnya menjadi alat ukur untuk melihat pemerataan mutu pendidikan berubah menjadi ajang untuk saling melakukan kecurangan. Karena itulah, penghapusan UN seharusnya disambut baik agar kecurangan di dunia pendidikan tidak terus terjadi.
Negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman ter nyata tidak mengenal ujian nasional. Soedijarto (2007) menulis, Amerika Serikat dan Jerman tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijakan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.
Diakui atau tidak, kita masih jauh dari kondisi ideal tersebut. Setiap saat ada upaya untuk menjadikan guru profesional. Beragam pelatihan untuk guru sudah dan sedang dilakukan. Namun guru yang mendapatkan pelatihan tersebut terbatas, bahkan ada yang belum pernah mendapatkan pelatihan untuk menjadikan diri profesional sama sekali. Di samping itu, berapa persenkah guru yang mencurahkan segenap waktu, tenaga dan pikirannya untuk pendidikan. Kita tentu mengapresiasi positif para guru yang masih mau mengabdi dengan sepenuh hati, yang menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memajukan pendidikan, untuk mendam pingi peserta didik belajar dan memperoleh kemajuan.
Permasalahan tidak berhenti pada penciptaan guru profesional, guru yang mengabdi dengan sepenuh hati dan guru yang terus-menerus belajar untuk meningkatkan kompetensinya, kita juga dihadapkan pada upaya men ciptakan pembelajaran yang menyenangkan, menggembirakan dan suasana yang nyaman. Selama ini kita mengenal pembelajaran PAI KEM (Pembelajaran aktif interaktif kreatif efektif dan menyenangkan), namun baru sebatas di kelas. Kita belum bisa menciptakan suasana yang sama di luar kelas. Sekolah-sekolah di negara maju ternyata menyediakan sarana olahraga dan seni untuk menyalurkan bakat siswa, sekaligus untuk menjaga kebugarannya dalam belajar. Beberapa sekolah di Malaysia pun terlihat sudah mengadopsi sistem seperti ini. Mereka menyediakan lapangan bola kaki, tenis lapangan, atletik, tenis meja, badminton, basket dan beragam sarana olahraga lainnya, di samping fasilitas untuk menyalurkan bakat seninya.
Para siswa menjadi betah berada di sekolah sejak pagi hingga sore menjelang. Apalagi dengan adanya buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar secara optimal. Ketika beragam sarana tersebut sudah ada di sekolah, tentu siswa akan semakin betah berada di sekolah. Mereka tidak lagi gelisah untuk meninggalkan gedung sekolah kemudian tawuran dan melakukan tindakan kriminal lainnya di luar sekolah.
Lihat saja perpustakaan dan laboratotium yang ada di sekolah yang ada saat ini, berapa persenkah yang memenuhi persyaratan ideal sebagai perpustakaan dan laboratorium yang memungkinkan siswa belajar secara optimal. Taufik Ismail berkali-kali menyampaikan jika pelajar kita rabun membaca dan lumpuh menulis. Nyaris tidak ada buku yang diwajibkan untuk dibaca selama mereka duduk di bangku sekolah, sejak SD-SLTA. Karena itulah disebut sebagai rabun membaca. Begitu juga kewajiban untuk menulis laporan atau buku, nyaris tidak ada. Ironisnya kondisi yang sama terjadi juga pada guru, mereka juga rabun membaca dan lumpuh menulis. Dari 2,9 juta guru di Indonesia, berapa gurukah yang selalu meluangkan waktunya untuk membaca dan berapa pula yang mampu menulis buku dan karya tulis lainnya?
Dalam kondisi seperti itulah, ujian nasional menjadi perdebatan panjang. Di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman ujian nasional tidak ada, tetapi penilaian dilakukan secara terus-menerus. Peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektualnya, partisipasinya dalam belajar. Penilaian seperti ini tentu akan lebih baik daripada menentukan nasib peserta didik dalam tiga atau empat hari. Namun jika pembelajaran memang sudah berlangsung maksimal, tidak ada salahnya ujian nasional tetap dilaksanakan.
Setelah ujian nasional dihapus, diperlukan penilaian yang berkesinambungan agar mutu pendidikan tetap menjadi perhatian utama. Mau tidak mau, guru harus terus-menerus meningkatkan kompetensi dan keperofesionalannya agar penilaian berkelanjutan bisa dilakukan dan pendidikan yang bermutu bisa diwujudkan. Bagaimanapun, kita tetap memerlukan peserta didik yang matang secara intelegensi, emosional, sosial dan spritual agar persaingan di dunia global bisa diikuti. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar