Sebuah kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Solok Selatan karena memiliki banyak situs kebudayaan dan sejarah yang memiliki nilai tinggi. Kabupaten pemekaran ini mendapatkan julukan Nagari Seribu Rumah Gadang, karena banyaknya Rumah Gadang yang tersebar merata di setiap kecamatan.
Akan tetapi, kebanggaan yang seharusnya muncul kesadaran untuk memelihara, atau bahkan menjadi daya tarik daerah untuk diminati oleh wisatawan. Kenyataannya, wisata Nagari Seribu Rumah Gadang, yang didengung-dengungkan itu tidak sehebat namanya. Kondisi Rumah Gadang sudah banyak yang rusak, atau bahkan ditinggal suku karena kondisi yang sudah melapuk.
Itulah yang melanda salah Rumah Gadang yang memiliki nilai sejarah, yaitu Rumah Gadang 21 Ruang yang terletak di Kenagarian Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan.
Rumah Gadang terpanjang di Minangkabau, yang dinamakan Rumah Gadang 21 Ruang Abai sudah rapuh karena dimakan usia. Kondisi kekinian Rumah Gadang kebanggaan Solok Selatan itu, mengalami kerusakan yang parah di bagian sudut kiri belakang. Lantainya ada yang roboh, dan pembatas antara ruang yang satu dengan ruang yang lain sudah tidak ada.
Jika dilihat sepintas lalu dari depan dan samping kanan Rumah Gadang Suku Melayu Sigintiu itu, tidak ada yang rusak. Atapnya sudah permanen, dan dinding depannya sudah terbuat dari semen. Namun sangat memprihatinkan sekali, ketika pandangan dialihkan di bagian kiri Rumah Gadang itu. Nampaknya, Rumah Gadang tersebut sudah keropos.
Rumah Gadang 21 Ruang Abai mulai dibangun pada 1972 dan selesai pada 1975. Pembangunannya berdasarkan kerja sama kaum suku (gotong royong). Arsitektur (gaya bangunan) gonjong 14 dan satu gonjong terletak di gerbang masuk rumah adat itu, sehingga ada 15 gonjong.
Dulu, Rumah Gadang 21 Ruang ini beratap ijuk, dan tiang-tiangnya memakai pasak kayu. Dinding dibuat bambu yang sudah disulam erat. Kini, Rumah Gadang tersebut sudah dimodernisasi. Atap ijuk diganti seng dan dinding dari bambu yang disulam dilapisi semen, namun lantai masih dari papan.
Rumah Gadang terletak di Kenagarian Abai Kecamatan Sangir Batang Hari, sekitar 40 km dari ibukota Kabupaten Solok Selatan, di Padang Aro, dan 72 km dari Muara Labuh. Dengan panjang sekitar 95 meter. Rumah Gadang ini berdiri di atas 15 tonggak utama. Ruang tengah yang memanjang menjadi ruang utama dan ada ruang kamar tidur. Pada saat pembangunan, tidak semua ruang kamar tidur yang selesai. Baru sebagian selesai dibangun dan sebagian lagi belum ada pembatas, karena kekurangan dana.
Selain itu, Rumah Gadang ini memiliki 14 ujung rumah yang runcing, sebagai ciri khas bagi suku Minangkabau. Makna dari 14 menara adalah menyatakan jumlah suku yang ada di Nagari Abai. Bagi Suku Melayu Sigintiu, Rumah Gadang tersebut berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan acara adat dan kesenian batombe serta pesta perkawinan.
Selain itu, Rumah Gadang digunakan kaum adat untuk membicarakan pembangunan dan masalah-masalah kesukuan dan tempat menyemayamkan anggota suku yang meninggal. Rumah Gadang tidak digunakan untuk tempat tinggal keluarga. Akan tetapi, bagi laki-laki yang baru menikah yang belum mampu membuat rumah sendiri maka bisa tinggal sementara waktu.
Tuo Suku Melayu Sigintiu Abai Dt Simajo Lelo didampingi Tungganai Buyung Narun kepada Haluan, Minggu (12/4) mengatakan, Rumah Gadang 21 Ruang Abai pernah dilakukan rehabilitasi 2007 lalu. Akan tetapi tidak ada tindak lanjut untuk penuntasan pembangunan.
Rumah Gadang 21 Ruang Abai pernah mendapatkan dana rehabilitasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbar-Riau senilai Rp95,412 juta. Dengan penggunaan anggaran biaya rehab ruang utama terdiri dari pembongkaran lantai kamar Rp15,261 juta, pembongkaran dinding kamar sasak bugis Rp298,290 ribu, pembongkaran jariau Rp38,352 ribu, pasang dinding sasak bugis Rp20,113 juta, pemasangan lantai Rp35,284 juta, pasang jendela Rp251,732 ribu, pasang pintu Rp418,488 ribu, mengapur dinding sasak bugis (dinding depan) Rp1,687 juta, dan pembuatan papan nama situs Rp500 ribu. Namun, papan situs sudah tidak ada lagi, mungkin memang karena usia rehabnya yang sudah kelamaan.
Melapuknya Rumah Gadang di Kabupaten Solok Selatan membuktikan rendahnya perhatian pemerintah daerah untuk melestarikan peninggalan budaya. Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Natsuarman didampingi Kabid Kebudayaan Desrial, mengakui bahwa minimnya dukungan dana menjadi penghambat upaya rehab Rumah Gadang.
“Pemkab Solsel memiliki keterbatasan dana untuk melakukan rahab Rumah Gadang yang jumlahnya mencapai ratusan unit. Maka dari itu, kita mengupayakan mencari bantuan dana dari Kementerian yang membidangi kebudayaan,” kata Desrial.
Selain minimnya anggaran dari APBD Solsel, melakukan rehab Rumah Gadang untuk mendapatkan bantuan ada beberapa kriteria, yaitu sudah berusia 50 tahun, memiliki masa gaya 50 tahun, memiliki arti khusus, dan memiliki nilai budaya bagi kepribadian bangsa.
Selain dari persyaratan formal itu, ada beberapa kesulitan bagi Pemkab Solsel untuk melakukan rehabilitasi Rumah Gadang di daerah itu. Alasan terhambatnya rehab Rumah Gadang dikarenakan minimnya anggaran APBD, tidak adanya Peraturan Daerah tentang cagar budaya, dan cagar budaya di Solsel umumnya milik kaum atau suku tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar