Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA
Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang Prof Dr H Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah
koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.
Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang Prof Dr H Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah
koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.
Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang prilaku kesehariannya bertentangan dengan
materi dakwah yang ia sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah SWT telah memberikan pahala kepada beliau.
Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada
sekadar dai berbulu musang.
Muncul oknum dai yang berani memungut imbalan alias upah dari masyarakat yang didakwahinya. Alias Dai Walakedu (jual ayat kejar duit).
Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, organisasi para dai yang dipimpin shahibul fadhiilah KH
Syukron Ma’mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam musyawarah nasional (Munasnya yang ke-4), yang dihadiri 350 peserta, para ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah.
Diantara kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang didakwahi. Apa yang
dirumuskan Munas Ittihadul Muballigin mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu Dr Tarmizi Taher.
Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah, karena berkembangnya dai-dai yang masang tarif dalam berdakwah.
Kami sungguh sangat kenyang menerima pengaduan masyarakat tentang kekecewaan mereka terhadap oknum-oknum dai yang memasang tarif dalam berdakwah.
Banyak masyarakat yang gagal mendatangkan seorang dai karena setelah tawar menawar seperti layaknya berdagang sapi mereka tidak mampu membayar tarif yang diminta dai yang bersangkutan.
Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang sebesar itu kepada dai bertarif.
Dalam kajian fiqh memang ada tiga pendapat yang berkembang, yang pertama: pendapat yang mengharamkan secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnnya maupun tidak, pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat baik dari al-Qur’an maupun Hadis.
Pendapat kedua yang membolehkan berdakwah dengan memungut imbalan, pendapat ini berlandaskan kepada Hadis riwayat Imam Bukhori, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah al-Qur’an.”
Dalil ini memang kuat, namun penggunaan (Istidlal) hadis ini untuk membolehkan memungut imbalan dalam berdakwah sangat lemah, karena berdasarkan sabab wurud hadis ini, hadis ini tidak berkaitan dengan berdakwah melainkan berkaitan dengan mengobati orang yang sakit dengan pengobatan Ruqyah (membacakan surah al-Fatihah).
Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh Munas ke-4Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah
pendapat yang mengatakan, apabila ada perjanjian sebelumnya seorang dai akan menerima upah dalam dakwahnya hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang saku, hal itu dibolehkan.
Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya shalat dan puasa, kendati tidak menjadi rukun Islam. Surah al-Baqarah ayat 159 mengancam orang-orang yang tidak mau berdakwah, mereka akan dilaknat Allah SWT dan para makhluk yang melaknat.
Orang yang tidak mau berdakwah kecuali diberi imbalan sama artinya dia tidak mau berdakwah kalau tidak ada
imbalan. Fenomena memungut imbalan ini belakangan sungguh sangat memprihatinkan karena banyak dai yang dalam dakwahnya memakai cara berdagang sapi dengan tawar menawar, perjam, pertitik dan sebagainya.
Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam berdakwah ini adalah Rp 100 juta satu kali ceramah (satu
titik) dan yang paling murah adalah Rp 10 juta.
Wajar bila masyarakat mengeluh terhadap fenomena pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan adalah uang sumbangan dari orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras keringat kemudian dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang itu.
Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah umat bukan orang yang membuat masalah bagi umat. Dai adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang yang membebani umat.
Dai-dai yang kepingin cepat kaya lebih baik berdagang sapi saja, karena terbukti banyak orang yang berdagang
sapi mendapatkan uang ratusan milyar rupiah, mobil pun banyak dan istri pun berderet-deret.
Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah SWT di dunia karena ia masih punya kesempatan untuk bertaubat.
Dan celakalah dai ketika aibnya dibuka oleh Allah SWT di akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk
bertaubat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar