Oleh HM Rizal Fadillah
Sebenarnya kita ini diberi oleh Allah banyak anugerah baik kesehatan, ilmu, keluarga, rezeki, kedudukan dan banyak lainnya lagi. Hanya saja sering orang merasakan bahwa hal itu bukan sebagai pemberian Allah melainkan semata usaha manusiawi. Hasil keringatnya sendiri. Sesungguhnya semua itu Allah yang memberi dan mengaturnya, untuk menguji apakah kita syukur atau kufur
.Sebenarnya kita ini diberi oleh Allah banyak anugerah baik kesehatan, ilmu, keluarga, rezeki, kedudukan dan banyak lainnya lagi. Hanya saja sering orang merasakan bahwa hal itu bukan sebagai pemberian Allah melainkan semata usaha manusiawi. Hasil keringatnya sendiri. Sesungguhnya semua itu Allah yang memberi dan mengaturnya, untuk menguji apakah kita syukur atau kufur
Dalam Hadits Riwayat Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat, ‘Wahai manusia ! Aku tunggangkan engkau di atas kuda dan unta. Aku nikahkan engkau dengan perempuan. Aku jadikan engkau sebagai pemimpin. Mana syukurmu atas semua itu ?”
“Fa aina syukru dzalika?” (Mana syukurmu atas semua itu ?) adalah pertanyaan Allah yang tajam terhujam kepada jiwa orang-orang biasa mengabaikan.
Ada tiga hal mendasar dari anugerah Allah dalam hadis itu.
Pertama adalah tunggangan atau kendaraan. Dahulu kuda dan unta, kini berbagai jenis kendaraan bermotor dapat digunakan. Hakekat berkendaraan adalah mengangkut orang dari satu tempat ke tempat yang lain untuk dapat memenuhi segala keperluannya. Kendaraan itu baik hewan maupun kendaraan bermotor dapat membahayakan pengendaranya, jika tidak dikendalikan dengan baik.
Rasulullah SAW mengingatkan bahwa Allah lah yang menundukkan dan menggerakkan semua itu sehingga “jinak” atau “nyaman” dan “aman”. “subhaanalladzii sakhkharolanaa hadzaa, wa maa kunnaa lahu muqriniin” (Maha suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini, padahal kami tak kuasa menundukkannya). Allah memuliakan manusia keturunan Adam dengan “mengangkut” mereka di darat dan di laut juga di udara. Kemuliaan manusia ada dalam dinamika geraknya, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain “Walaqad karromnaa banii aadama wa hamalnaahum fil barri walbahri..” (Dan sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan Adam dan kami angkut mereka di darat dan di laut..)—QS Al Israa 70.
Penderitaan apa yang dirasakan manusia jika ia dalam keadaan tak bisa bergerak, diam dan tidak mampu bepergian. Penderitaan berat apa juga yang jika jarak jauh harus ditempuh dengan berjalan kaki ? Allah telah beri kita “tunggangan” kendaraan!
Kedua, pernikahan. Rasulullah SAW bersabda “baitii janatii” rumahku adalah surgaku. Artinya rumah dalam arti tempat tinggal ataupun rumah dalam arti rumah tangga yang dibangun atas dasar pernikahan adalah surga kehidupan dunia yang penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Pernikahan tersebut berfungsi sebagai sarana bagi optimalisasi interaksi antara elemen yang ada di dalamnya, khususnya suami istri, untuk menggapai surga akhirat kelak.
Berkeluarga yang diikat oleh tali pernikahan adalah karunia Allah yang patut disyukuri. Ada dua keuntungan yang didapat jika senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang Allah berikan, pertama adalah kenikmatan yang akan selalu Allah tambahkan sebagaimana Firman-Nya “la-in syakartum la-aziidannakum”—Jika bersyukur maka Aku akan menambahkan (nikmat) kepadamu—(QS Ibrahim 7) dan kedua, Allah SWT akan menjauhkan dari adzab atau murka-Nya “maa yaf’alullahu biadzaabikum in syakartum wa aamantum”—Allah tidak akan mengadzabmu jika kamu bersyukur dan beriman—(QS An Nisa’147).
Dengan nikmat ditambah dan adzab yang dijauhkan maka yang ada adalah kesenangan dan kebahagiaan. Oleh karena itu rumah tangga yang baik adalah mereka yang selalu memandang baik segala karunia dan ketetapan Allah SWT meskipun mungkin karunia itu kecil dalam pandangan manusia. Betapa banyak karunia Allah sebagai akibat dari hidup berumahtangga baik ketenangan jiwa, rezeki yang bertambah, anak-anak yang menjadi hiasan kehidupan, amal dari memberi nafkah serta silaturahmi yang semakin luas.
Ketiga, menjadi pemimpin. Hampir di setiap jalan sudut kini kita lihat banyak orang yang berkompetisi ingin jadi pemimpin. Kepemimpinan membawa nikmat baik pengaruh, penghargaan, prestise, dan mungkin juga uang. Allah mengangkat derajat dengan peran kepemimpinan itu.
Meski sayang banyak para pemimpin yang tak mampu menjaga derajatnya tadi dengan menyia-nyiakan amanat, berlaku sewenang-wenang, menganggap rendah orang, memperkaya diri dengan segala cara, atau senang memperlakukan orang agar memelas. Dari Ma’qal bin jasar Almuzani katanya saya dengar Rosulullah SAW bersabda “Tiap-tiap hamba Allah yang diserahi jabatan sebagai pemimpin, sedang ia berlaku aniaya, curang, dan menyakiti, maka Allah akan haramkan baginya Surga” (HR Muslim).
Mensyukuri peran kepemimpinan adalah dengan menunaikan tugas sebaik-baiknya. Bermashlahat ke bawah, merindukan tempat yang lebih tinggi. Umar bin Abdul Azis berkata lirih kepada menterinya Roja bin Haiwah ”Aku merindukan pernikahan dengan puteri pamanku fathimah binti Abdul Malik, Allah memberi dan aku menikahinya. Aku merindukan jabatan Gubernur, Allah memberi, aku jadi Gubernur. Aku merindukan jabatan Khalifah, itu pun aku memperolehnya. Saat ini wahai Roja!, jiwaku sedang merindukan surga. Moga Allah jadikan aku penghuninya ”. Umar pun menangis terisak-isak.
Sebelum Allah membalikkan keadaan dimana kendaraan menjadi berkurang, hilang atau hancur, keluarga berantakan karena perceraian, atau jabatan yang turun dan jatuh memilukan, maka baiknya jadilah hamba yang pandai bersyukur.
Bukankah Allah telah bertanya, “Fa aina syukru dzalika?”---Mana syukurmu ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar