Krisis moral yang menerpa kalangan pelajar akhir-akhir ini menunjukkan intensitas yang meninggi. Hal itu tergambar dalam berbagai pemberitaan di media massa. Menguatnya tindakan asusila yang terjadi di kalangan pelajar akhir-akhir tentu sangat memprihatinkan. Terutama bagi orangtua, guru dan lembaga pendidikan itu sendiri.
Sebab jika fenomena negatif tersebut terus menjadi gaya hidup di kalangan pelajar (remaja), maka ia akan terkena dampak ikutan berikutnya, yakni rentan terkena HIV/AIDS, narkoba dan krisis identitas. Ini tentu akan sangat merugikan kita semua, terutama masa depan yang bersangkutan dan negara. Jika hal ini tidak diantisipasi maka kita akan gagal menikmati berkah demografi atau kependudukan itu sendiri.
Indonesia saat ini sedang menikmati apa yang disebut bonus demografi, dimana jumlah penduduk usia produktif mencapai 70 % dari keseluruhan penduduk dalam satu-dua dekade mendatang. (Gatra, 8 Mei 2013). Mereka yang termasuk dalam usia produktif ini disebut juga dengan generasi emas. Suatu generasi yang memiliki masa depan yang gemilang- karena usia nya yang produktif. Namun ia juga akan menjadi bumerang jika kita tidak dapat merawat dan mengembangkannya ke arah yang positif.
Revitilasi pendidikan agama
Dalam konteks mengupayakan agar kaum pelajar atau generasi emas yang dimiliki bangsa ini tetap jadi bonus demografi dan bukan sebaliknya jadi bencana, maka salah satu hal yang perlu dilakukan adalah revitalisasi peran pendidikan agama. Pendidikan agama menjadi sangat penting bagi kaum pelajar. Karena krisis yang dialami oleh mereka, seperti berbagai fenomena yang mengemuka, mulai dari seks bebas, narkoba, perkelahian, dll, sebenarnya bermula dari krisis identitas dan orientasi hidup. Krisis identitas dan orientasi hidup itu bermula dari ketidakmampuan yang bersangkutan memaknai eksistensi kefitrahannya. Bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah dan sejak awal sudah dibekali potensi agama. Namun potensi ini kemudian tenggelam dalam tarikan nafsu dan sifat kebinatangan yang ada di dalam diri manusia itu sendiri.
Pendidikan agama sebenarnya harus mampu menyadarkan kaum pelajar akan potensi fitrah dan agama yang dimilikinya. Bahwa hidup bukan saja berorientasi dunia yang fana ini, melainkan juga ada kehidupan yang lebih bermakna, bermartabat dan berbahagia di akhirat kelak. Pendidikan agama dalam konteks ini, harus melakukan orientasi kembali, agar kaum terpelajar mampu memahami potensi laten yang dimilikinya. Dalam konteks bagaimana agar pendidikan agama harus berperan transfotmatif dan evaluatif dalam kehidupan kaum pelajar, maka memang harus dilakukan revitalisasi terhadap pendidikan agama itu sendiri. Karena pendidikan agama yang berjalan selama ini lebih merupakan doktrin fatalis dan pengetahuan belaka. Agama hanya diajarkan sebagai doktrin yang membedakan agama satu dengan agama yang lain. Agama hanya diajarkan sebagai pengetahuan. Agama hanya diajarkan untuk melegitimasi bahwa yang bersangkutan beragama. Karenanya, pendidikan agama tidak bermakna apa-apa bagi penyelesaian berbagai persoalan yang dihadapi kaum remaja atau pelajar. Agama tidak hidup, dinamis dan interpretatif dalam menyikapi berbagai pergolakan pemikiran, perasaan dan realitas sosial yang dihadapi kaum pelajar. Agama lebih berperan sebagai “hakim”, ketimbang sebagai suara hati yang menggetarkan relung jiwa dan perilaku kaum remaja. Jika saja agama menjadi suara hati kaum pelajar, maka ia akan berfikir ulang tentang berbagai penyimpangan yang akan dilakukan. Karena itu sadar betul, bahwa ia memiliki kekuatan ruhiah yang harus ditunaikan dan tanggung jawab sosial yang harus diperankannya sebagai konsekuensi menjadi hamba Tuhan.
Untuk itu, pendidikan agama sebagai elemen terpenting dalam dunia pendidikan, terutama dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 yang berbasis pendidikan karakter, harus dilakukan upaya revitalisasi terhadap pendidikan agama itu sendiri. Pertama, pemahaman ulang tentang kedudukan dan fungsi pendidikan agama di sekolah. Selama ini pendidikan agama di sekolah lebih difungsikan untuk membedakan murid yang satu dengan murid yang beragama lainnya. Pemahaman fungsi agama yang demikian, mengakibatkan pengajaran agama lebih berorientasi doktrin dan ritual yang kering akan makna sosial dan peran kritis agama. Agama menjadi pemisah identitas. Mestinya, agama menjadi penyatu, pintu masuk bagi kaum remaja menyelesaikan berbagai persoalan dan perbedaan dalam merespon berbagai tantangan hidup yang dihadapinya.
Kedua, revitalisasi orientasi pembelajaran. Pembelajaran pendidikan agama selama ini lebih berorientasi pengetahuan semata. Padahal aspek pengetahuan dalam agama amatlah sedikit, yakni aspek melek kitab sucinya. Selebihnya harulah berorientasi pembentukan kepribadian. Makanya, orientasi pembelajaran agama ke depan haruslah berbasis pada psikologi behaviorisme atau yang dikenal dengan teori S-R (stimulus respon). Yakni dimana pendidikan agama diawali dengan pengkondisian emosi dan reflek. Karena kepribadian seseorang merupakan akumulasi emosi dan reflek yang dikondisikan. (Dede Rosyada, 2009). Dalam kaitan ini menarik pernyataan De-Mar, 1989, “ Beri saya selusin bayi sehat. Saya akan jadikan mereka seperti apa yang saya mau; dokter, pengacara, artis, pedagang, pemimpin politik dan bahkan pencuri sekalipun”. Mereka akan menjadi sesuatu yang baru lepas dari bakat dan kebiasaan leluhurnya.
Ketiga, penguatan kapasitas guru agama. Guru agama selama ini berada dalam kondisi terpuruk. Selain karena faktor internal ketidakpercayaan diri, malas belajar dan gagap teknologi, juga karena mereka kehilangan pengetahuan sosial dalam kehidupan sosial. Mereka tidak memiliki keahlian dalam bidang seni dan budaya sebagai pintu masuk untuk mengajarkan agama. Karenanya, guru agama harus memiliki keahlian agama tertentu dan juga perangkat ilmu kemasyarakatan, agar ia memiliki kekuatan budaya dan jaringan sosial ke masyarakat untuk merealiasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan pelajar.
Keempat, revitalisasi dalam aspek penilaian. Penilaian pendidikan yang bertumpu pada aspek pengetahuan belaka seperti yang dipraktikkan selama ini tidak akan membawa kepada pemahaman, penghayatan dan pengalaman agama itu sendiri. Aspek pengetahuan adalah bagian terkecil dari aspek penilaian agama, yang terpenting adalah aspek pemahaman, penghayatan dan pengamalan. Dalam konteks ini haruslah dicari formula dan skema penilaian pendidikan agama di sekolah, sehingga ada keutuhan aspek yang dinilai dengan realitas perilaku pelajar atau siswa. Tanpa ini direvitalisasi, maka pendidikan agama hanya sekedar pengetahuan yang setiap saat akan hilang dan tidak membekas dalam kepribadian siswa atau peserta didik.
Itulah untuk menyebut beberapa langkah revitalisasi yang mesti dilakukan dalam konteks menjadi pendidikan agama sebagai kekuatan budaya dan sekaligus kekuatan kritis dalam membangun kepribadian siswa atau pelajar. Kini momentum tersebut sangat terbuka dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 yang berbasis pendidikan karakter. Persoalannya, terpulang pada pemangku pendidikan, terutama pemangku pendidikan agama untuk mengisi dan mewarnainya dalam proses pembelajaran yang terintegratif. ***
UMAR NATUNA
(Ketua STAI Natuna)s
(Ketua STAI Natuna)s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar