Walikota Surabaya Tri Rismaharini membuat heboh jagat politik tanah air. Kabarnya, dia berniat mundur dari jabatan yang diraihnya melalui pemilihan kepala daerah secara langsung itu.
Rumor yang berkembang, alasan Risma hendak mundur karena banyak tekanan dan ada konflik internal di tubuh partai dalam pemilihan wakil walikota yang menggantikan Bambang DH, wakil walikota yang berpasangan dengan Risma saat pilkada.
Tak perlu waktu lama, rumor itu ditanggapi serius Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mengusungnya dalam Pilkada tahun 2010 itu. PDIP langsung menurunkan petingginya untuk bicara secara langsung kepada Risma.
Untuk mencegah Risma mundur dari jabatannya, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu mengutus Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo, Wasekjen Ahmad Basarah dan Ketua DPP Mindo Sianipar untuk berangkat ke Surabaya bertemu Risma.
“Dari hasil pertemuan mereka, kami menyimpulkan yang terjadi hanya masalah dinamika internal,” ujar Basarah.
Basarah menegaskan, DPP PDIP tetap mendukung Risma sebagai Wali Kota Surabaya. Semua Dewan Pimpinan Cabang dan Dewan Pimpinan Daerah PDIP diminta bersikap sama, mendukung Risma. Basarah meminta Risma bersabar.
“Ini ujian Bu Risma untuk jadi pemimpin yang lebih besar lagi. Bu Risma harus fokus sampai selesai masa jabatannya. Kalau pemimpin berhenti di tengah jalan dengan alasan yang tidak bisa ditolerir, bisa negatif,” ujarnya.
Basarah mengakui ada konflik Risma dengan struktur DPC PDIP Surabaya dan DPD PDIP Jawa Timur. “Ada beberapa hal yang harus diklopkan karena Bu Risma bukan pengurus partai, tapi petugas partai di eksekutif. Ini hanya dinamika politik lokal antara Bu Risma dengan Pak Wisnu,” kata dia.
Wisnu yang ia maksud merupakan Ketua DPC PDIP Surabaya yang baru saja dilantik menjadi Wakil Wali Kota Surabaya untuk mendampingi Risma. Wakil Wali Kota Surabaya yang sebelumnya, Bambang Dwi Hartono, telah mundur ketika maju pada Pilkada Jawa Timur 2013. Namun Risma dikabarkan merasa tak cocok dengan Wisnu yang menggantikan Bambang.
PDIP curiga ada upaya memecah-belah soliditas internal PDIP oleh partai lain. Keinginan Tri Rismaharini untuk mundur dari jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya dibaca PDIP sebagai indikasi usaha adu domba tersebut. Apalagi Risma merupakan salah satu kader muda terbaik yang dimiliki PDIP.
“Ini sudah saya baca dari jauh hari. Ada skenario dari partai politik tertentu untuk mendorong konflik di PDIP. Ketika timbul konflik dan salah satu pihak dirugikan, kader kami yang merasa kecewa lalu diambil partai tertentu,” kata Basarah.
Menurut Politisi senior PDIP, Pramono Anung, Selasa 18 Februari 2014, Risma harus dipertahankan karena tak hanya partai saja yang menginginkan Risma, tetapi masyarakat Surabaya.
"Dalam persoalan Bu Risma, PDI P melihat apa yang jadi respon publik," kata Pramono di Gedung DPR, Jakarta.
Menurut Pramono, seharusnya Risma tak perlu resah dengan konflik internal ini. Terutama karena munculnya Wakil Wali Kota, Wisnu Sakti Buana. Sebab, sebagai pimpinan, Risma memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan. "Wakil tetap wakil," katanya.
Petisi Dukung Risma
Niat Tri Rismaharini mundur dari jabatan Wali Kota Surabaya juga ditentang keras sejumlah kalangan di luar DPP PDIP. Muncul tiga petisi dukungan terhadap Risma di change.org, platform petisi digital yang beredar di dunia maya. Dari tiga petisi itu, dua digagas warga Surabaya, dan satu warga Batam.
Petisi yang memperoleh paling banyak dukungan diinisiasi seorang asal Batam. Dia tidak mencantumkan nama aslinya, namun membuat petisi atas nama Save Risma. Hingga siang ini, Selasa 18 Februari 2014, petisi berjudul ‘Warga Surabaya Tidak Ingin Ibu Risma Mundur dari Jabatannya’ itu telah meraup 1.308 dukungan.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, juga mendukung Risma untuk meneruskan masa jabatannya hingga selesai masa jabatannya. Ahok menyarankan agar Risma menghadapi semua serangan dan tekanan selama memimpin Surabaya.
"Namanya orang politik pasti diserang orang. Kalau mundur malah orang pikir melarikan diri. Hadapi saja," ujar dia.
Pernah Dipecat DPRD
Langkah Risma sebagai Wali Kota Surabaya tak selalu mulus. Batu sandungan bahkan sudah menghadang di tahun pertama ia menjabat. Pada 31 Januari 2011, DPRD Surabaya mencoba melengserkan Risma. Itu gara-gara dia menerbitkan Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 56 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame, dan Perwali Nomor 57 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame Terbatas di Kawasan Khusus Kota Surabaya.
Kedua Perwali itu mengatur kenaikan pajak reklame ukuran besar dan sedang sebesar 25 persen, serta menurunkan pajak reklame ukuran kecil. Risma punya tujuan spesifik menerbitkan kedua Perwali itu: untuk menekan pertumbuhan reklame ukuran besar yang kerap roboh terkena angin kencang apabila cuaca buruk, dan mempermudah Usaha Kecil Menengah yang ingin memasang reklame kecil guna mempromosikan usaha mereka.
Risma juga menegaskan, pajak di kawasan khusus Surabaya memang perlu dinaikkan agar pengusaha tak seenaknya memasang iklan di jalan umum. Pemasangan iklan terlalu banyak, dan amburadul, menurut Risma, akan menjadikan Surabaya bak belantara iklan. Maka dengan meninggikan pajak reklame ukuran besar, ia berharap pengusaha iklan beralih memasang iklan di media massa ketimbang memasang baliho di jalan-jalan kota.
Namun penerbitan Perwali Nilai Sewa Reklame oleh Risma itu mendapat tentangan sejumlah pengusaha reklame besar. Mereka mengajukan surat keberatan melalui DPRD Kota Surabaya. DPRD Surabaya menganggap Risma melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Hukum Daerah, karena sang wali kota tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menyusun Perwali.
DPRD Surabaya pun merekomendasikan pemberhentian Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Keputusan itu didukung oleh enam dari tujuh fraksi politik yang ada di DPRD Surabaya, termasuk PDIP yang mengusungnya sebagai Wali Kota Surabaya pada Pilkada. Hanya satu fraksi yang menolak pemberhentian resmi Risma, Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pada akhirnya, Menteri Dalam Negeri Gawaman Fauzi menyatakan tak ada cukup alasan untuk memecat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Gamawan menegaskan, Peraturan Wali Kota tidak bisa dijadikan alasan pemecatan. Kesalahan administrasi dalam proses penerbitan Perwali Nilai Sewa Reklame, yaitu tak dilibatkannya SKPD dalam penyusunan Perwali, masih manusiawi.
“Jangankan Peraturan Wali Kota, Peraturan Daerah saja bisa salah. Untuk itu ada evaluasi terhadap peraturan-peraturan itu. Tapi pemecatan Wali Kota karena alasan itu terlalu berlebihan,” ujar Gamawan. Ia menambahkan, pemberhentian kepala daerah hanya dilakukan dengan apabila kepala daerah terkait melanggar sumpah dan tidak mampu melaksanakan tugas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar