Jalan menuju pedalaman Tukang, Jambi itu setapak. Lebarnya hanya sekitar semeter. Sepanjang pinggirnya ditumbuhi rerumputan liar. Sedangkan di sisi kanan-kirinya ditumbuhi pepohanan yang rindang. Muhammad Ali Imran menggeber motornya seorang diri. Gerungan motor lawas itu memecah sunyi. Lelaki bertubuh besar ini berlomba dengan waktu yang terus beranjak sore. Matahari di ufuk Barat kian merayap. Jingga menghias senja. Dia harus sampai di Tukang sebelum tengah malam.
Sayang, di tengah jalan, motornya terjebak lumpur. Maklum, jalan menuju Tukang ini masih berupa tanah biasa. Ada beberapa bagian yang masih becek dan berlumpur. Motornya pun berhenti. Lelaki yang akrab disapa Abu Usamah ini lalu hendak turun dari motor dan menuntunya. Kaki kirinya turun lebih dulu dan diinjakkan ke sebuah bongkahan tanah hitam yang mirip batu. Naas, Imrah justru terjatuh. Bongkahan tanah itu bukan batu, tetapi lumpur hitam. Dia pun jatuh terguling. Lumpur itu ternyata dalam dan merembes. Tubuh Imran yang besar dan pendek itu seperti tersedot ke dalam.
Imran langsung menyadarinya. Jika tidak keluar dari kubungan lumpur itu, tubuhnya bakal habis ditelan lumpur. Pasalnya, lumpur itu sudah hampir menelannya hingga setengah badan. Begitu juga motornya: yang tersisa hanya bagian atas. Sisanya ditelan lumpur. Imran pun sekuat tenaga keluar dari lumpur itu. Sayang, semakin kuat untuk keluar, justru tarikan lumpur semakin kuat. Imrah tinggal kepalanya yang tersisa. Imran semakin khawatir. Apalagi hari kian gelap. Tak ada orang. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan binatang hutan.
Lelaki kelahiran Palembang 14 Maret 1974 ini tak henti-hentinya berdoa. Dia yakin, Allah akan menolongnya. Apalagi, tujuan ke Tukang untuk berdakwah. Bukan untuk bermaksiat. Jamaah di sana telah menunggu. Jika dia harus meninggal ditelan lumpur itu, siapa yang akan berdakwah di sana. Imran terus berdoa sambil tubunya perlahan-lahan dihisap lumpur. Hari pun kian gelap. Sepanjang mata memandang hanya gelap yang tampak. Tak diduga, ketika lumpur telah menelannya hingga leher, seorang warga tiba-tiba lewat.
Ketika melewati Imrah orang tersebut berhenti. Dilihatnya benda aneh di dalam lumpur. Warga tersebut tidak mengenali Imrah karena wajahhnya kotor oleh lumpur. Disenternya wajah Imran.
“Siapa, yah?” tannya sambil sedikit takut jika kepala yang tertanam di dalam lumpur itu hantu.
“Saya, Imran,” jawabnya.
“Oalah. Ustadz Imran, tho! Saya kira siapa. Soalnya saya nggak bisa mengenali ustadz karena wajahnya kotor oleh lumpur,” jawabnya.
Berkat pertolongan warga itu, akhirnya Imran bisa keluar dari kubungan lumpur beserta motornya. Meski sudah kotor, tapi Imran tetap melanjutkan dakwahnya. Tanggung, perjalanan telah jauh. Pantang untuk pulang ke pesantren.
Daerah Jambi masih banyak dikelilingi daerah pedalaman. Daerah yang terletak di Sumatera ini masih dikelilingi perbukitan dan hutan. Di Jambi juga banyak perkebunan karet dan sawit. Masyarakatnya multi etnis. Untuk daerah pelosok, selain pribumi juga banyak warga transmigrasi dari berbagai daerah, salah satunya Jawa. Di Jambi juga ada suku Kubu atau anak dalam. Suku ini tinggal nomaden atau berpindah-pindah dari satu ke daerah lain tergantung cuaca. Daerah paling banyak Suku Kubu yaitu di Batanghari dan Bukit 12.
Suku ini masih sangat tradisional. Mereka acapkali hanya menggunakan sarung yang diselempangkan ke tubuh. Namun, tak sedikit yang telah berpakaian sempurna. Bahasa suku ini menggunakan bahasa Jambi tempoe doloe. Karena itu, jika berinteraksi dengan mereka harus menggunakan bahasa yang sama. Kebanyakan mereka penganut animisme. Mereka punya undang-undang tak tertulis tentang alam. Mereka begitu menjunjung tinggi alam: menyatu dengan alam, dan memeliharanya.
Suku Dalam ini tak lepas dari bidikan dakwah Imran. Imrah beberapa kali telah berdakwah pada mereka. Untungnya, Imran yang asli Palembang ini paham sedikit bahasa Jambi. Karena itu, tak begitu sulit untuk mendakwahi mereka. Pendekatan dakwah yang dilakukan Imran melalui alam. Seperti dalam Islam, manusia juga memiliki adab dan hubungan dengan alam. Manusia harus memelihara alam dengan baik. Hal itu mudah diterima Suku Dalam. Namun, karena gaya hidup suku ini yang nomaden pendekatan dakwah agak sulit.r
Suku ini masih sangat tradisional. Mereka acapkali hanya menggunakan sarung yang diselempangkan ke tubuh. Namun, tak sedikit yang telah berpakaian sempurna. Bahasa suku ini menggunakan bahasa Jambi tempoe doloe. Karena itu, jika berinteraksi dengan mereka harus menggunakan bahasa yang sama. Kebanyakan mereka penganut animisme. Mereka punya undang-undang tak tertulis tentang alam. Mereka begitu menjunjung tinggi alam: menyatu dengan alam, dan memeliharanya.
Suku Dalam ini tak lepas dari bidikan dakwah Imran. Imrah beberapa kali telah berdakwah pada mereka. Untungnya, Imran yang asli Palembang ini paham sedikit bahasa Jambi. Karena itu, tak begitu sulit untuk mendakwahi mereka. Pendekatan dakwah yang dilakukan Imran melalui alam. Seperti dalam Islam, manusia juga memiliki adab dan hubungan dengan alam. Manusia harus memelihara alam dengan baik. Hal itu mudah diterima Suku Dalam. Namun, karena gaya hidup suku ini yang nomaden pendekatan dakwah agak sulit.r
Tidak ada komentar:
Posting Komentar