Lebih dari 1.800 orang telah kehilangan nyawa di Gaza pada konflik antara militer Israel dan pejuang Hamas sejak tiga minggu yang lalu. Menurut data PBB termutakhir, sekitar 296 dari korban-korban tersebut adalah anak-anak.
N
Tentang anak-anak Gaza yang besar di tengah perang, ada kekhawatiran, perang akan berdampak signifikan terhadap perkembangan mereka. Sementara, sampai saat ini, konflik tersebut sampai sekarang belum ada tanda-tanda purna.
Catherin Weibel, Kepala Komunikasi untuk United Nation’s Children Fund (UNICEF), pada sebuah wawancara dengan The WorldPost di Yerusalem, seperti dilansir The Huffington Post, menyebut, ini adalah eskalasi kekerasan ketiga dalam enam tahun bagi anak-anak di wilayah tersebut.
Secara psikologis, ada dua dampak besar yang disoroti oleh Weibel: pertama, kekerasan menjadi sesuatu yang normal. Dampak ini akan terlihat jelas ketika anak-anak tersebut mulai menginjak dewasa; di mana beberapa anak akan lebih berani mengambil risiko akibat kehilangan kontak dengan batas-batas keselamatan.
Ketika kekerasa sudah menjadi sesuatu yang lumrah, anak-anak akan cenderung mereproduksi kekerasan itu dalam kehidupan sehari-hari. Misal, menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik dengan anak-anak mereka kelak, atau istri atau suami-suami mereka, atau ketika berada di tengah masyarakat.
Kedua, dalam waktu dekat, banyak anak-anak yang tidak bisa tidur, gelisah, dan bahkan benar-benar kehilangan nafsu untuk makan. Anak-anak bisa jadi sangat tenang, tapi mereka juga bisa terlihat sangat stres. “Sekitar 250.000 orang mengungsi, dan sebagian besar dari mereka adalah anak-anak,” tegas Weibel.
Tidak hanya tekanan psikis, anak-anak Gaza yang besar di tengah perang juga kesulitan makanan dan aksese kesehatan. Beberapa keluarga bahkan pergi meninggalkan rumah tanpa memiliki sikat gigi. Weibel menjabarkan, sekitar dua-pertiga dari penduduk Gaza tidak memiliki akses ke jaringan air, sehingga mereka tidak lagi memiliki air di rumah.
Oleh sebab itu, solusi UNICEF dan lembaga-lembaga lain adalah membawa air untuk dikelola sekolah-sekolah yang diinisiasi oleh PBB dan beberapa tempat lain, meski tidak mudah dijangkau karena situasi yang tidak memungkinkan.
Selain menyediakan kebutuhan dasar para penggungsi—dan terutama anak-anak Gaza yang besar di tengah perang, UNICEF benar-benar meminta konflik ini segera dihentikan. 296 anak telah tewas, di mana dua-pertiga dari 296 itu berusia di bawah 13 tahun, dan yang termuda adalah 3 bulan.k
Tentang anak-anak Gaza yang besar di tengah perang, ada kekhawatiran, perang akan berdampak signifikan terhadap perkembangan mereka. Sementara, sampai saat ini, konflik tersebut sampai sekarang belum ada tanda-tanda purna.
Catherin Weibel, Kepala Komunikasi untuk United Nation’s Children Fund (UNICEF), pada sebuah wawancara dengan The WorldPost di Yerusalem, seperti dilansir The Huffington Post, menyebut, ini adalah eskalasi kekerasan ketiga dalam enam tahun bagi anak-anak di wilayah tersebut.
Secara psikologis, ada dua dampak besar yang disoroti oleh Weibel: pertama, kekerasan menjadi sesuatu yang normal. Dampak ini akan terlihat jelas ketika anak-anak tersebut mulai menginjak dewasa; di mana beberapa anak akan lebih berani mengambil risiko akibat kehilangan kontak dengan batas-batas keselamatan.
Ketika kekerasa sudah menjadi sesuatu yang lumrah, anak-anak akan cenderung mereproduksi kekerasan itu dalam kehidupan sehari-hari. Misal, menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik dengan anak-anak mereka kelak, atau istri atau suami-suami mereka, atau ketika berada di tengah masyarakat.
Kedua, dalam waktu dekat, banyak anak-anak yang tidak bisa tidur, gelisah, dan bahkan benar-benar kehilangan nafsu untuk makan. Anak-anak bisa jadi sangat tenang, tapi mereka juga bisa terlihat sangat stres. “Sekitar 250.000 orang mengungsi, dan sebagian besar dari mereka adalah anak-anak,” tegas Weibel.
Tidak hanya tekanan psikis, anak-anak Gaza yang besar di tengah perang juga kesulitan makanan dan aksese kesehatan. Beberapa keluarga bahkan pergi meninggalkan rumah tanpa memiliki sikat gigi. Weibel menjabarkan, sekitar dua-pertiga dari penduduk Gaza tidak memiliki akses ke jaringan air, sehingga mereka tidak lagi memiliki air di rumah.
Oleh sebab itu, solusi UNICEF dan lembaga-lembaga lain adalah membawa air untuk dikelola sekolah-sekolah yang diinisiasi oleh PBB dan beberapa tempat lain, meski tidak mudah dijangkau karena situasi yang tidak memungkinkan.
Selain menyediakan kebutuhan dasar para penggungsi—dan terutama anak-anak Gaza yang besar di tengah perang, UNICEF benar-benar meminta konflik ini segera dihentikan. 296 anak telah tewas, di mana dua-pertiga dari 296 itu berusia di bawah 13 tahun, dan yang termuda adalah 3 bulan.k
Tidak ada komentar:
Posting Komentar