Hampir semua daerah di Indonesia saat ini mengalami kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Masyarakat pemilik kendaraan bermotor harus rela antrean berjam-jam guna mendapatkan BBM jenis premium dan solar.
Tak terkecuali di Sumatera Barat, dalam beberapa hari terakhir telah terjadi antrean pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di mana-mana. Tak jarang keluar keluhan dari masyarakat pemilik kendaraan yang mengatakan bahwa pemerintah benar-benar tidak peduli nasib rakyatnya.
Adalah wajar adanya keluhan, umpatan atau bahkan cacian sekaligus. Karena untuk mendapatkan BBM beberapa liter saja mereka harus rela mengantre berjam-jam. Bahkan ada yang mengorbankan jam kerjanya demi mendapatkan BBM bersubsidi, atau tukang ojek yang harus mengeluarkan uang lebih di kios pengecer demi satu liter premium. Bahkan tidak terkecuali nelayan ada yang tidak bisa melaut lagi gara-gara keterbatasan BBM jenis solar.
Pertanyaannya sekarang, kemana menguapnya BBM bersubsidi tersebut? Ternyata ini terjadi lantaran PT Pertamina melakukan pemangkasan jatah harian terhadap BBM bersubsidi.
Pemangkasan jatah tersebut terpaksa dilakukan Pertamina lantaran sisa kuota untuk tahun 2014 ini hanya tinggal sekitar 29 persen dan itu harus cukup untuk masa 4 bulan sampai akhir tahun ini. Sementara, jika dihitung secara rata-rata dengan perbandingan jumlah kendaraan bermotor dan sebagainya, seharusnya kebutuhan selama 4 bulan sekitar 33 persen. Itu artinya akan terjadi minus 4 persen, jika tidak ada pembatasan.
Pihak Pertamina melalui Vice President Corporate Communication-nya, Ali Mundakir menyatakan, premium saat ini tinggal 10 juta kilo liter (KL), dibagi dengan jumlah hari sekitar 136 hari lagi sampai 31 Desember 2014 dan itu harus memadai. Sedangkan solar hanya tersedia 5,5 juta KL.
Jatah BBM subsidi yang 46 juta kilo liter dalam tahun ini sudah bisa dipastikan kurang dibandingkan dengan konsumsi masyarakat. Hal itu mengingat terus meningkatnya konsumsi BBM subsidi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bayangkan, selama tahun ini diperkirakan terjadi penambahan jumlah kendaraan roda empat pada masyarakat sekitar 1,2 juta unit dan 9 juta unit kendaraan roda dua. Untuk ukuran itu, setidaknya dibutuhkan BBM bersubsidi sekitar 48 juta KL. Kenyataannya, kuota BBM bersubsidi itu hanya 46 juta KL.
Lantas, apa yang harus dilakukan masyarakat? Sesuai harapan pemerintah, masyarakat berekonomi menengah ke atas jangan lagi menggunakan BBM bersubsidi, namun harus beralih ke nonsubsidi. Persoalannya sekarang, harga BBM nonsubsidi di masing-masing SPBU terkadang tidak sama. Kalaupun sama, untuk masuk ke areal SPBU, juga terhalang antrean yang mengular panjang.
Makanya kondisi seperti ini jangan dibiarkan berlama-lama. Pemerintah harus bisa mencarikan solusi bijak, seperti menaikkan harga BBM secara merata dalam batas yang wajar. Semoga saja darurat BBM ini tidak berlarut-larut di negeri ini. Semoga! (*)s
Tak terkecuali di Sumatera Barat, dalam beberapa hari terakhir telah terjadi antrean pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di mana-mana. Tak jarang keluar keluhan dari masyarakat pemilik kendaraan yang mengatakan bahwa pemerintah benar-benar tidak peduli nasib rakyatnya.
Adalah wajar adanya keluhan, umpatan atau bahkan cacian sekaligus. Karena untuk mendapatkan BBM beberapa liter saja mereka harus rela mengantre berjam-jam. Bahkan ada yang mengorbankan jam kerjanya demi mendapatkan BBM bersubsidi, atau tukang ojek yang harus mengeluarkan uang lebih di kios pengecer demi satu liter premium. Bahkan tidak terkecuali nelayan ada yang tidak bisa melaut lagi gara-gara keterbatasan BBM jenis solar.
Pertanyaannya sekarang, kemana menguapnya BBM bersubsidi tersebut? Ternyata ini terjadi lantaran PT Pertamina melakukan pemangkasan jatah harian terhadap BBM bersubsidi.
Pemangkasan jatah tersebut terpaksa dilakukan Pertamina lantaran sisa kuota untuk tahun 2014 ini hanya tinggal sekitar 29 persen dan itu harus cukup untuk masa 4 bulan sampai akhir tahun ini. Sementara, jika dihitung secara rata-rata dengan perbandingan jumlah kendaraan bermotor dan sebagainya, seharusnya kebutuhan selama 4 bulan sekitar 33 persen. Itu artinya akan terjadi minus 4 persen, jika tidak ada pembatasan.
Pihak Pertamina melalui Vice President Corporate Communication-nya, Ali Mundakir menyatakan, premium saat ini tinggal 10 juta kilo liter (KL), dibagi dengan jumlah hari sekitar 136 hari lagi sampai 31 Desember 2014 dan itu harus memadai. Sedangkan solar hanya tersedia 5,5 juta KL.
Jatah BBM subsidi yang 46 juta kilo liter dalam tahun ini sudah bisa dipastikan kurang dibandingkan dengan konsumsi masyarakat. Hal itu mengingat terus meningkatnya konsumsi BBM subsidi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bayangkan, selama tahun ini diperkirakan terjadi penambahan jumlah kendaraan roda empat pada masyarakat sekitar 1,2 juta unit dan 9 juta unit kendaraan roda dua. Untuk ukuran itu, setidaknya dibutuhkan BBM bersubsidi sekitar 48 juta KL. Kenyataannya, kuota BBM bersubsidi itu hanya 46 juta KL.
Lantas, apa yang harus dilakukan masyarakat? Sesuai harapan pemerintah, masyarakat berekonomi menengah ke atas jangan lagi menggunakan BBM bersubsidi, namun harus beralih ke nonsubsidi. Persoalannya sekarang, harga BBM nonsubsidi di masing-masing SPBU terkadang tidak sama. Kalaupun sama, untuk masuk ke areal SPBU, juga terhalang antrean yang mengular panjang.
Makanya kondisi seperti ini jangan dibiarkan berlama-lama. Pemerintah harus bisa mencarikan solusi bijak, seperti menaikkan harga BBM secara merata dalam batas yang wajar. Semoga saja darurat BBM ini tidak berlarut-larut di negeri ini. Semoga! (*)s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar