Berdirilah di pelataran Masjid Atta’awun, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Pandanglah dataran di bawah, hamparan Perkebunan Teh Gunung Mas yang dibelah Jalan Raya Puncak yang berkelok.
Tengok ke barat, ada Gunung Salak dan Gunung Halimun. Di selatan ada Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Udara sejuk. Di pagi dan sore, pandangan agak terganggu kabut.
Inilah kawasan Puncak, primadona pariwisata Bogor, 80-90 kilometer dari DKI Jakarta, jantung negara. Di sini banyak vila, resor, hotel, restoran, warung, rumah, taman, kebun, dan obyek wisata alam untuk masyarakat dari pelbagai kalangan.
Tidak mengherankan, Puncak masih menjadi tujuan wisata favorit warga Jabodetabek. Biarpun macet di akhir pekan dan musim libur, dengan potensi bencana alam dan kecelakaan, Puncak tetap jadi pilihan.
Krisis
Hingga 1960, Puncak masih hamparan tanah partikelir untuk pertanian. Seharusnya saat itu ada pembagian lahan kepada warga. Namun, redistribusi belum ditetapkan hingga kini sehingga lahan dikuasai, digarap, bahkan berpindah tangan.
Padahal, seiring waktu, Puncak berkembang menjadi pilihan wisata orang Jabodetabek. Lokasi dekat, alam indah, jasa wisata murah, prasarana dan sarana mantap.
Pembangunan secara legal dan bahkan ilegal terus-menerus berlangsung. Pemerintah Kabupaten Bogor mendata, ada sekitar 700 bangunan ilegal di Puncak. Sekitar 300 bangunan telah dibongkar pada 2013 melalui program pendanaan bersama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Program seharusnya berlanjut pada 2014 meskipun menunggu kedua pihak kembali mau merogoh ”dompet anggaran”.
Pembangunan tidak terencana menjadi bukti krisis multidimensi melanda Puncak. Area yang seharusnya untuk resapan air sekaligus wisata alam berubah menjadi kawasan terbangun. Perubahan fungsi mengurangi daya dukung lingkungan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Bogor Syarifah Sofiah mengatakan, menurut rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional, provinsi, dan kabupaten, Puncak merupakan kawasan strategis berfungsi lindung dan konservasi. Sebagian kawasan bisa untuk budidaya pertanian dan perkebunan dan atau permukiman skala padat, sedang, dan rendah, tetapi berprinsip lestari alam.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Bogor Agus Chandra Bayu berharap pemerintah bersedia mempertahankan, mengembangkan, dan menata Puncak agar tetap menjadi primadona pariwisata.
Menurut Ketua Kelompok Penggerak Pariwisata Cisarua Teguh Mulyana, penataan Puncak harus melibatkan warga dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Hadi Susilo Arifin, Guru Besar Manajemen Lanskap IPB, menyarankan pemerintah mematuhi RTRW dan membatasi pembangunan baru. Goda publik dengan pengelolaan dan pengembangan obyek wisata alternatif terdekat, seperti Salak Endah, untuk mengurangi tekanan pada Puncak. k
Tidak ada komentar:
Posting Komentar