HAJI Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah bagian sejarah dan tokoh nasional yang layak diteladani. Pribadi yang memiliki ragam pengalaman, sarat ilmu, dan tak mundur langkah di hadang rezim pemerintah. Keberanian Hamka pernah mengantarkannya masuk penjara tanpa peradilan selama dua tahun empat bulan. Tuduhan atau fitnah yang ditimpakan di masa orde lama itu adalah subversif.
Di penjara Sukabumi, pria yang juga akrab disapa Buya Hamka ini mengalami perlakukan yang tidak pantas dan cenderung penyiksaan. Meski demikian, kelahiran 17 Februari 1908 itu tidak menyimpan dendam dan ikut menshalati jenazah Bung Karno. Bahkan konon, pimpinan orde lama itu sendiri yang meminta Hamka memimpin shalat jenazah tersebut.
Pada zaman orde baru, saat menjadi ketua MUI dan mengeluarkan fatwa haram bagi umat islam untuk melaksanakan natal bersama, dia mengalami tentangan dari banyak pihak. Pemerintah juga tidak sejalan dengan pemikiran tersebut.
Akhirnya, ayah dari dua belas anak itu rela melepaskan jabatan dengan tetap memegang prinsip. Terlepas dari pro-kontra fatwa, paling tidak, keteguhan hati dan tanggung jawab tokoh Muhammadiyah ini terhadap ijtihad-nya pantas diacungi jempol.
Sebuah pantun yang digubah Datuk Panduko Alam dalam buku Rancak di Labuh, menjadi pelecut semangat dan keberanian Hamka dalam menghadapi hidup. Ini menginspirasi lelaki yang tak pernah tamat pendidikan formal tersebut untuk selalu optimis dan pantang takut pada apapun jua.
Putuslah tali layang / Robek kertasnya dekat bingkai / Hidup nan jangan mangapalang (hidup jangan tanggung-tanggung) / Tidak punya berani pakai (jika tergolong bukan orang yang berpunya atau kaya, pakailah keberanian sebagai modal).
Mungkin tidak banyak orang tahu kalau Hamka muda adalah pimpinan di sejumlah angkatan perjuangan. Pemuda yang pada usia 18 tahun nekat belajar di Mekkah meski kemampuan bahasa arab-nya masih minim tersebut aktif di medan perang dan jadi target penjajah. Dia sempat menjadi pimpinan di Front Kemerdekaan Sumatera Barat, Tentara Keamanan Rakyat, Front Pertahanan Nasional, dan Barisan Pengawas Negari dan Kota.
Atas jasanya di masa perjuangan kemerdekaan, Jenderal Nasution di tahun 1960 pernah menawari-meski kemudian ditolak secara halus—penulis Di Bawah Lindungan Ka’bah ini pangkat kehormatan Mayor Jenderal Tituler. Walaupun hanya pangkat kehormatan, fasilitas yang didapat sama dengan pangkat karir.
Irfan Hamka, putra kelima Buya Hamka, menulis buku berjudul Ayah... yang didedikasikan bagi peraih Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar tersebut. Isi buku terbitan Republika tahun 2013 itu tidak melulu soal pemikiran seni, budaya, agama, dan politik penulis tafsir Al Quran monumental Al-Azhar tersebut. Irfan juga mengisahkan banyak pengalaman selama hidup bersama Hamka hingga sang panutan meninggal dunia.
Dari buku ini tampak ketenangan Hamka dalam menjalani hidup. Bagaimana kebesaran jiwa dan karakter pasrah pada sang khalik, telah identik bagi pria yang mendapat predikat resmi Pahlawan Nasional pada 2011 tersebut.
Dalam sebuah perjalanan darat dengan mobil dari Irak menuju Mekkah bersama istri (Siti Raham Rasul), Irfan, dan seorang sopir (Umar), Hamka tak henti memberi motivasi dan menenangkan semua penumpang. Sebab, berulang kali mereka mendapat pengalaman menegangkan dalam perjalanan tiga hari empat malam di tahun 1968 itu. Misalnya, saat mobil mereka nyaris diterpa angin topan gurun, dikejar air bah selepas hujan yang tiba-tiba turun, dan saat mobil nyaris terguling karena Umar tertidur sambil menyetir saking lelahnya (hal: 162)
Hamka juga begitu bijak saat mengetahui kalau serumah dengan jin. Makhluk halus yang dijuluki Innyiak Batungkek (kakek bertongkat) itu kerap menimbulkan suara aneh atau menggerak-gerakkan sesuatu. Dalam sebuah “ritual” kecil, mantan aktivis dan tokoh Yayasan Pesantren Indonesia itu bercakap-cakap dengan Innyiak melalui simbol-simbol ketukan.
Pria yang menolak tawaran menjadi Dubes RI di Arab Saudi karena ingin fokus mengembangkan Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru ini tidak langsung mengusir jin. Meskipun sebenarnya sanggup mengenyahkan Innyiak dari rumah tersebut, dia memutuskan untuk hidup berdampingan. Dengan catatan, jin tersebut berhenti mengganggu keluarganya (hal: 69).
Salah satu yang turut mewarnai buku ini adalah kata pengantar yang ditulis Dr Taufiq Ismail. Taufiq menyisipkan tentang kondisi seberang pendapat antara Pramoedya Ananta Toer dan Hamka. Betapa dulu Pram kerap melontarkan kritikan keras pada karya dan pemikiran Hamka. Semisal, saat halaman Lentera yang diasuh Pram di harianBintang Timur melansir tudingan plagiat untuk karya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Seberapapun keras dan bertolak belakang pemikiran dua sastrawan besar tersebut, ternyata di masa tua, Pram menyuruh calon menantunya belajar agama pada Hamka. Ulama besar yang sempat rutin mengisi pengajian di RRI dan TVRI itu pun tidak keberatan. Taufiq yang bisa dibilang salah satu saksi hidup “pertikaian” mereka di masa lalu, kini bersaksi pula kalau sejatinya mereka sudah “berdamai”. (*)
RIO F. RACHMAN
(Mahasiswa S2 Media dan Komunikasi Universitas Airlangga) H
(Mahasiswa S2 Media dan Komunikasi Universitas Airlangga) H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar