ARIEF KAMIL
VARIETAS itik Pitalah pernah menjadi primadona di Sumatra Barat. Dibanding jenis itik kampung lainnya, itik Pitalah memiliki kualitas jauh lebih bagus, baik dari segi produksi telur, lama masa produksi hingga kualitas telur yang dihasilkan.
Itik ini mempunyai ciri, warna dasar hitam, badan yang proporsional, warna belang jerami. Untuk pejantan memiliki corak hitam mengkilap di bagian leher dan ekor, seperti corak terang burung cenderawasih.
Dalam setahun itik yang berasal dari Tanah Datar, tepatnya di daerah Pitalah itu mampu memproduksi 300 lebih butir telur per-tahun per satu betina. Selain itu masa produksi jauh lebih panjang, 12 bulan. Artinya tidak berhenti bertelur dengan catatan jumlah dan kadar pakan harus memenuhi kebutuhan.
Itik Pitalah terkenal gesit dan mudah dipelihara, baik secara tradisional seperti dilepas di sawah atau pun dengan cara dikurung. Dari segi pengembangbiakan pun itik ini tidak terlalu sulit dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Itik akan mulai bertelur jika usianya sudah memasuki enam bulan.
Itik Pitalah merupakan varietas unggul yang belum ada tandingannya dibanding itik lokal, bahkan itik dari daerah lain, apalagi itik ini tak mengenal istilah afkir (berhenti berproduksi). Berbeda dengan itik Jawa yang hanya mampu memproduksi telur hingga umur tiga tahun dan setelah itu dijadikan itik potong.
Namun kini yang menyedihkan, itik Pitalah yang asli mulai langka ditemui daerah asalnya. Hasil penelusuran, kini kesulitan mencari jenis itik Pitalah yang asli.
Diduga karena memboomingnya itik Jawa (mojosari) yang merupakan hasil persilangan antara itik mojosari (Mojokerto) dengan itik alabio (Kalimantan) sehingga membuat itik Pitalah tertepikan. Malahan ada yang mengklaim itik jenis mojosari sebagai itik petelur nomor satu dan mengalahkan itik Tegal dan daerah lain.
Masuknya itik dari daerah Jawa ke Sumbar membuat keberadaan itik Pitalah kalah pamor. Menurut keterangan Pakiah Malano yang dijumpai di Pitalah, eksistensi itik Pitalah mulai tergusur dengan masuknya itik Jawa (mojosari). Pakiah memonis itik Pitalah yang asli sudah mulai langka.
“Banyak peternak itik baik yang melakukan kawin silang antara itik Jawa dengan itik Pitalah, sehingga bibit yang dihasilkan bukan lagi itik Pitalah,” jelas Pakiah Malano.
Untuk mengembalikan varietas itik Pitalah yang unggul, menurut Pakiah Malano membutuhkan waktu yang sangat lama, setidaknya menunggu tujuh kali keturunan.
“Untuk mengembalikan keaslian itik Pitalah tidak bisa dalam waktu satu atau dua tahun, tujuh kali keturunan baru mampu mengembalikan keasliannya. Yang pasti tentunya dengan indukan sesuai kriteria dan ciri dari itik Pitalah itu sendiri yang belum terkontaminasi oleh pengaruh gen itik Mojosari,” sambungnya lagi.
Upaya mengembalikan keberadaan itik Pitalah yang merupakan itik khas Tanah Datar itu, Pakiah Malano dibantu rekannya, Edi dan beberapa pemuda Pitalah lainnya yang tergabung dalam kelompok tani Kreatif melakukan ekspedisi pemulihan itik Pitalah asli dengan cara melakukan pembibitan ulang dengan induk yang sesuai kriteria itik Pitalah sebelumnya. Pakiah Malano dan kawan-kawan disponsori oleh Dinas Peternakan Sumbar membantu dengan pemberian mesin penetas telur.
“Untuk saat ini kami sedang menunggu bantuan dari Dinas Peternakan Sumbar yang berjanji memberikan satu unit mesin tetas yang akan kami gunakan untuk pembudidayaan nantinya,” tambah Edi.
Kelompok Tani Kreatif sedikit dari kelompok tani yang tersebar di Tanah Datar mendapat bantuan dari Dinas Peternakan. Untuk merealisasikan harapan mengembalikan itik Pitalah yang asli, kelompok tani Kreatif sudah memiliki 230 ekor indukan yang bakal di kelola dengan sistem modern.
“Kedepannya kami tidak lagi melepas itik ke sawah, melainkan melakukan metode modern yang disebut peternakan itik petak. Caranya itik dikurung dan diberi pakan yang cukup, sehingga produksi akan lebih baik,” tambah Pakiah Malano.
Walaupun begitu, Pakiah tidak memungkiri, melepas itik pada habitat aslinya jauh lebih baik daripada menganut sistem kurungan. Namun masih menurut Pakiah, dengan dukungan pakan yang berkualitas serta tambahan asupan makanan yang memiliki kadar protein, karbohidrat serta vitamin maka hasil produksinya akan sama dengan itik yang dilepas ke sawah.
“Keuntungan budidaya dengan sistem kurungan atau itik petak mungkin unggul dari segi pemeliharaan yang tidak membutuhkan tenaga dan pengawasan lebih, itik hanya berkutat dikandang dan tempat bermain yang sudah di pagar. Yang memberatkan adalah faktor pakan yang harus selalu tersedia, seperti dedak, jagung dan lainnya,” terang Edi pula.
Edi dan Pakiah Malano berharap dengan usaha yang kelompok tani Kreatif mampu mengembalikan keaslian itik Pitalah, sehingga itik jenis itu tak tinggal nama karena kalah bersaing dengan itik jenis lain. (*)
VARIETAS itik Pitalah pernah menjadi primadona di Sumatra Barat. Dibanding jenis itik kampung lainnya, itik Pitalah memiliki kualitas jauh lebih bagus, baik dari segi produksi telur, lama masa produksi hingga kualitas telur yang dihasilkan.
Itik ini mempunyai ciri, warna dasar hitam, badan yang proporsional, warna belang jerami. Untuk pejantan memiliki corak hitam mengkilap di bagian leher dan ekor, seperti corak terang burung cenderawasih.
Dalam setahun itik yang berasal dari Tanah Datar, tepatnya di daerah Pitalah itu mampu memproduksi 300 lebih butir telur per-tahun per satu betina. Selain itu masa produksi jauh lebih panjang, 12 bulan. Artinya tidak berhenti bertelur dengan catatan jumlah dan kadar pakan harus memenuhi kebutuhan.
Itik Pitalah terkenal gesit dan mudah dipelihara, baik secara tradisional seperti dilepas di sawah atau pun dengan cara dikurung. Dari segi pengembangbiakan pun itik ini tidak terlalu sulit dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Itik akan mulai bertelur jika usianya sudah memasuki enam bulan.
Itik Pitalah merupakan varietas unggul yang belum ada tandingannya dibanding itik lokal, bahkan itik dari daerah lain, apalagi itik ini tak mengenal istilah afkir (berhenti berproduksi). Berbeda dengan itik Jawa yang hanya mampu memproduksi telur hingga umur tiga tahun dan setelah itu dijadikan itik potong.
Namun kini yang menyedihkan, itik Pitalah yang asli mulai langka ditemui daerah asalnya. Hasil penelusuran, kini kesulitan mencari jenis itik Pitalah yang asli.
Diduga karena memboomingnya itik Jawa (mojosari) yang merupakan hasil persilangan antara itik mojosari (Mojokerto) dengan itik alabio (Kalimantan) sehingga membuat itik Pitalah tertepikan. Malahan ada yang mengklaim itik jenis mojosari sebagai itik petelur nomor satu dan mengalahkan itik Tegal dan daerah lain.
Masuknya itik dari daerah Jawa ke Sumbar membuat keberadaan itik Pitalah kalah pamor. Menurut keterangan Pakiah Malano yang dijumpai di Pitalah, eksistensi itik Pitalah mulai tergusur dengan masuknya itik Jawa (mojosari). Pakiah memonis itik Pitalah yang asli sudah mulai langka.
“Banyak peternak itik baik yang melakukan kawin silang antara itik Jawa dengan itik Pitalah, sehingga bibit yang dihasilkan bukan lagi itik Pitalah,” jelas Pakiah Malano.
Untuk mengembalikan varietas itik Pitalah yang unggul, menurut Pakiah Malano membutuhkan waktu yang sangat lama, setidaknya menunggu tujuh kali keturunan.
“Untuk mengembalikan keaslian itik Pitalah tidak bisa dalam waktu satu atau dua tahun, tujuh kali keturunan baru mampu mengembalikan keasliannya. Yang pasti tentunya dengan indukan sesuai kriteria dan ciri dari itik Pitalah itu sendiri yang belum terkontaminasi oleh pengaruh gen itik Mojosari,” sambungnya lagi.
Upaya mengembalikan keberadaan itik Pitalah yang merupakan itik khas Tanah Datar itu, Pakiah Malano dibantu rekannya, Edi dan beberapa pemuda Pitalah lainnya yang tergabung dalam kelompok tani Kreatif melakukan ekspedisi pemulihan itik Pitalah asli dengan cara melakukan pembibitan ulang dengan induk yang sesuai kriteria itik Pitalah sebelumnya. Pakiah Malano dan kawan-kawan disponsori oleh Dinas Peternakan Sumbar membantu dengan pemberian mesin penetas telur.
“Untuk saat ini kami sedang menunggu bantuan dari Dinas Peternakan Sumbar yang berjanji memberikan satu unit mesin tetas yang akan kami gunakan untuk pembudidayaan nantinya,” tambah Edi.
Kelompok Tani Kreatif sedikit dari kelompok tani yang tersebar di Tanah Datar mendapat bantuan dari Dinas Peternakan. Untuk merealisasikan harapan mengembalikan itik Pitalah yang asli, kelompok tani Kreatif sudah memiliki 230 ekor indukan yang bakal di kelola dengan sistem modern.
“Kedepannya kami tidak lagi melepas itik ke sawah, melainkan melakukan metode modern yang disebut peternakan itik petak. Caranya itik dikurung dan diberi pakan yang cukup, sehingga produksi akan lebih baik,” tambah Pakiah Malano.
Walaupun begitu, Pakiah tidak memungkiri, melepas itik pada habitat aslinya jauh lebih baik daripada menganut sistem kurungan. Namun masih menurut Pakiah, dengan dukungan pakan yang berkualitas serta tambahan asupan makanan yang memiliki kadar protein, karbohidrat serta vitamin maka hasil produksinya akan sama dengan itik yang dilepas ke sawah.
“Keuntungan budidaya dengan sistem kurungan atau itik petak mungkin unggul dari segi pemeliharaan yang tidak membutuhkan tenaga dan pengawasan lebih, itik hanya berkutat dikandang dan tempat bermain yang sudah di pagar. Yang memberatkan adalah faktor pakan yang harus selalu tersedia, seperti dedak, jagung dan lainnya,” terang Edi pula.
Edi dan Pakiah Malano berharap dengan usaha yang kelompok tani Kreatif mampu mengembalikan keaslian itik Pitalah, sehingga itik jenis itu tak tinggal nama karena kalah bersaing dengan itik jenis lain. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar