DESRI AYUNDA
MEMBUNUH tikus, lumbung dibakar. Istilah itu seolah menemukan padanannya tatkala di Sumatra Barat diberlakukan pembatasan tonase truk. Pada saat bersamaan sepanjang jalur pantura, truk-truk raksasa, bahkan ‘nenek moyang truk’ melaju, melesat membelah siang dan malam. Nanar kita melihatnya. Truk itu membawa kebutuhan rakyat, tak diributkan orang. Makin maju negeri, makin ribet saja terasa.
Surat Edaran (SE) Gubernur Sumbar nomor 500/267a/Perek-2011, tentang pembatasan muatan dan jumlah berat yang diizinkan (JBI) untuk kendaraan yang masuk maupun keluar Sumatra Barat, memang mengejutkan. Rasanya SE tersebut kurang tepat diterapkan di kala Sumbar sedang membangun dan membutuhkan investor setelah gempa meluluhlantakakan ranah Minang. Tapi anak panah sudah dilepaskan gubernur dari busurnya.
Pemerintah daerah tentu punya alasan dalam membatasi JBI, colt diesel yang biasanya 8 ton sekarang dibatasi menjadi 4 ton dengan JBI 8,2 ton. Truk Engkel biasanya 15 ton, sekarang hanya boleh bermuatan 7,5 ton dengan JBI 13,3 ton, dan truk Tronton yang 30 ton diizinkan hanya 12 ton dengan JBI 20,1 ton. Jika muatan truk tidak dibatasi, dikhawatirkan akan merusak jalan.
Inilah yang dikatan untuak mambunuh mancik lumbuang nan dibaka. Jalan harus diperbaiki, jika APBD tidak mencukupi, tentunya kepiawaian gubernur untuk melakukan lobi ke Jakarta agar dapat kucuran dari dana APBN, bukannya muatan truk dibatasi untuk solusinya.
Di daerah orang kenapa bisa jalannya rancak, kenapa tiba di kita tidak? Di Jawa jalan tol muncul tiap sebentar, di sini, yang ada justru makin parah, jalan berlobang yang dipelihara.
Selama ini banyak truk besar lalu lalang keluar dan memasuki Sumbar. Sebentar lagi kita tidak akan menyaksikan truk bermuatan semen, batubara, CPO, kebutuhan bahan pokok dan lainnya yang sarat dengan muatan melintas. Pemilik armada harus melakukan perbaikan desain tanki dan baknya, memperkecil dan menciutkan ukurannya. Ini semua membutuhkan biaya yang cukup besar, dikhawatirkan para pengusaha transportir memindahkan armadanya ke provinsi lain, karena yang pembatasan muatan hanya berlaku di Sumbar saja.
Apakah tim ekonomi pemprov tidak mengkaji dampak negatif dari surat edaran tersebut? Multiplier effects yang akan terjadi dari kebijakan tersebut tidakkah dipikirkan? Banyak dampak negatif yang akan terjadi.
Dampak pertama bagi produsen naiknya ongkos angkut 150-200%, bahkan untuk daerah tertentu di luar Sumbar bisa lebih, akibatnya harga pokok akan naik akibat kenaikan tarif, akan terjadi kenaikan harga jual produk mencapai 30 persen.
Dampak kedua terjadinya kenaikan biaya transportasi, akan mengurangi daya saing pengusaha/produsen di Sumbar, akibatnya berkurangnya minat investor untuk berinvestasi.
Karena volume muatan dibatasi berakibat terhadap peningkatan jumlah truk yang akan mondar-mandir memanfaatkan jalan dan akan menambah kemacetan, serta menghancurkan jalan. Yang diantisipasi oleh SE Gubernur akan terjadi juga dan akan lebih parah lagi, apalagi kualitas jalan tidak ditingkatkan, mestinya kelas jalan yang ditingkatkan, urang bisa kok awak indak?
Dampak ketiga di bidang ekonomi, akan terjadi kenaikan harga barang akibat perusahaan transportasi di luar Sumbar enggan untuk membawa barang ke daerah ini, harga pokok akan naik cukup tajam dan tingkat inflasi akan meningkat tajam, dan dikhawatirkan banyak produsen terancam gulung tikar, akibatnya pengangguran akan bertambah.
Tidak dapat dipungkiri, peluang pungutan liar oleh oknum tertentu dijalanan juga akan meningkat. Memang pada awalnya surat tilang dan penahanan surat KIR berjibun jumlahnya disita aparat, namun tidak berapa lama lagi masalah ini akan berkurang dengan sendirinnya, karena dapat diselesaikan di jalanan.
Dengan banyaknya jembatan timbangan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya (kecuali Lubuk Silasih dan Sungai Lansek), menimbulkan pertanyaan, bagaimana petugas bisa menentukan jumlah muatan? Hanya dengan estimasi? dan akhirnya diselesaikan “secara adat”
Saat masyarakat Sumbar kembali membangun daerahnya dihadapkan dengan problema seperti diatas, kita tidak bisa membayangkan kapan Sumbar kembali bangkit dari keterpurukan.
Seharusnya dengan kondisi Sumbar yang membutuhkan recovery di bidang ekonomi dan infrastruktur, kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah Sumatra Barat mestinya memperkuat struktur jalan utama dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian Sumbar. Struktur jalan yang diperkuat, seperti jalan yang pernah dikerjakan perusahaan dari Korea dulu. Jika muatan akan dibatasi juga, lakukan secara bertahap sebesar JBI, tidak drastis seperti ini.
Di Pulau Jawa bak semut beriring truk kontainer 40 ton, tidak ada pembatasan berat. Apakah tidak terpikirkan bagaimana barang yang masuk dari provinsi tetangga harus membongkar muatannya sebahagian untuk masuk ke wilayah Sumbar? Tidak adanya jaminan muatan balik yang dapat menutupi biaya operasional truk, akan menambah keenganan mereka untuk masuk ke Sumbar.
Kita tidak antipati dengan kebijakan yang tidak populis ini, namun kita berharap pejabat yang berwenang perlu mengkaji ulang, demi kepentingan masyarakat Sumbar, kalau kita tidak mau ‘terisolasi’ akibat dari kebijakan yang tendensius dan tidak tepat. (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar