Tahun ajaran baru, dari waktu ke waktu tak ada yang menyenangkan. Senantiasa banyak keluhan dibanding keriangan karena dapat diterima di sekolah baru. Wajah-wajah murung yang berusaha memenuhi berbagai pengutan dan kewajiban beli di sekolah baru mewarnai pemandangan.
Itulah, sepertinya sudah jamak saja pemandangan memasuki tahun ajaran baru, para orangtua di berbagai daerah dipusingkan dengan uang sekolah, seragam, biaya membeli buku yang cenderung tinggi serta sulitnya menemukan sekolah berkualitas biaya murah.
Tak ada reaksi? Ada! Berbagai pungutan saat penerimaan siswa baru baik yang resmi maupun yang liar menjadi sorotan di berbagai koran di seluruh tanah air.
Sudah menjadi rahasia umum kalau ada sekolah yang memungut sampai Rp10 juta agar seorang anak bisa diterima di sebuah sekolah. DI Jakarta hal seperti itu seperti sudah merupakan perulangan peristiwa yang tak mempan dikritik dan dikecam.
Apa boleh buat, bak pepatah yang dipelesetkan, “Orang tua berdaging tebal, sekolah berpisau tajam”. Meski terasa amat berat dan sangat melelahkan para orang tua, tapi demi anaknya bisa sekolah, apapun dilakukan termasuk menggadaikan sejumlah harta benda.
Di beberapa provinsi justru dengan terang-terangan masuk SD sampai SMP sampai mesti bayar Rp3-4 juta pada waktu mendaftar. Padahal sudah dijelaskan bahwa SD dan SMP adalah masuk dalam bagian Program Wajib Belajar 9 Tahun. Kalau Wajib Belajar masih saja memberi beban kepada orang tua, artinya tidak usah ada kata wajib lagi. Ganti saja dengan ‘suka-suka’.
Ada sejumlah daerah yang mengeluarkan kebijaksanaan sekolah gratis tetapi entah bagaimana caranya yang namanya pungutan tetap saja sudah jadi candu untuk diterapkan. Kalau tidak dipungut di awal tahun ajaran, maka dipungut di triwulan pertama. Alasannya macam-macam, untuk biaya ini dan itu yang dicari-carikan.
Mahalnya biaya pendidikan menjadi suatu permasalahan bagi anak untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga tidak heran bila masih saja banyak anak putus sekolah di negeri ini Data yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, hingga April 2011, dari 31 juta siswa Sekolah Dasar (SD) di Indonesia, terdapat sekitar 500.000 an siswa yang putus sekolah.
Data itu hanya dari tingkat SD, belum lagi anak yang putus sekolah pada tingkat SMP sederajat dan SMA sederajat.
Padahal, pemerintah membuat program wajib belajar sembilan tahun. Di samping masih banyaknya anak yang putus sekolah karena permasalahan perekonomian, di negeri kita ini terdapat rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan sekolah berstandar internasional (SBI) yang memungut biaya yang sangat besar hingga puluhan juta rupiah.
Sehingga yang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas hanyalah anak orang kaya.
Sedangkan anak dari keluarga miskin tidak mendapatkan pendidikan berkualitas bahkan sejumlah anak terpaksa sama sekali tidak dapat merasakan pendidikan karena terkendala pada perekonomian.
Pendidikan yang baik, berkualitas dan murah menjadi salah satu dambaan masyarakat Indonesia.
Selain dapat mengurangi angka anak putus sekolah juga dapat meningkatkan kondisi pendidikan di negeri ini.
Karena dengan biaya sekolah yang murah, pendidikan dan pembelajaran dapat dirasakan anak secara merata, tanpa ada diskriminasi.
Konstitusi mengamanatkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Serta adanya anak usia sekolah yang yang tidak dapat mengakses pendidikan dasar adalalah pelanggaran konstitusi.
Terus terang kita ingin bertanya: sampai kapan keresahan dan kegalauan di awal tahun ajaran ini akan berakhir? Hingga kapan pendidikan tidak menjadi awal dari budaya koruptif yang membelit hampir semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara di republik tercinta ini? Kini saatnya untuk mengawali hidup bersih, dari bangku pendidikan! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar