Menarik mengikuti diskusi bersama masyarakat Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Solok, Sabtu, (16/7). Diskusi membahas persoalan tanah ulayat yang masih kuat dipertahankan oleh masyarakat nagari setempat. Selain itu juga membahas tentang persoalan-persoalan lingkungan yang muncul akibat keberadaan PLTA Danau Singkarak.
Nagari Guguk Malalo adalah salah satu di antara 13 nagari yang mengitari Danau Singkarak dan nagari ini berada dalam Pemerintahan Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar. Nagari yang berpenduduk lebih kurang 4.435 jiwa dengan 1.162 kk ini, pada ummnya masih kental dengan adat istiadatnya dan kebanyakan penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.
Proyek PLTA Singkarak dikerjakan sekitar tahun 1991 dengan Surat Keputusan Subernur Sumatera Barat dan memulai operasi sekitar tahun 1997. Lokasi pembangunan PLTA Danau Singkarak tepat berada di kawasan wilayah Nagari Guguk Malalo.
Karena itu beberapa tahun belakangan ini masyarakat setempat mulai merasakan dampak negatif dari keberadaan PLTA tersebut.
Keberadaan PLTA Singkarak terus menjadi isu hangat ketika melakukan diskusi-diskusi dengan masyarakat, dan ini tidak hanya terjadi dengan masyarakat Nagari Guguk Malalo saja, melainkan juga dengan nagari-nagari lain yang berada di pinggiran Danau Singkarak, ternyata mereka juga sudah merasakan langsung dampak negatif dari kebaradaan PLTA tersebut.
Dampak PLTA
Setidaknya dari pengakuan masyarakat khususnya masyarakat Nagari Guguk Malalo dan umumnya masyarakat nagari sekeliling Danau Singkarak dengan hadirnya PLTA telah menyebabkan dampak yang merugikan secara ekonomi buat masyarakat setempat dan juga secara ekologi buat keberlangsungan lingkungan. Misalnya, berkurangnya endemik ikan bilih yang menjadi ikon dari Danau Singkarak otomatis mempengaruhi pendapatan masyarakat pinggiran danau. Menurut pengakuan masyarakat ada beberapa jenis fauna lain yang sudah menghilang begitu saja. Selain itu, dampak dari PLTA juga terjadi penumpukan-penumpukan sampah di danau yang menyebabkan semakin dalamnya lumpur danau Singkarak. Ini tak bisa dilepaskan karena adanya perubahan sirkulasi air keluar-masuk danau singkarak akibat pembagunan terowongan untuk memutar turbin di daerah Asam Pulau, Kabupaten Padang Pariaman.
Karena itu, dengan berkurangnya endemik ikan bilih, tidak mengherankan rasanya kalau saat ini di pasaran ikan bilih Singkarak bersaing ketat dengan ikan bilih yang berasal dari Danau Toba. Bahkan tidak menjadi asing lagi konsidi hari ini di lapangan sebagian besar masyarakat yang berada di pinggiran Danau Singkarak justru mengolah ikan bilih yang berasal dari Danau Toba termasuk salah satunya masyarakat Nagari Guguk Malalo.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita beberapa bulan yang lewat ketika berlangsungnya “Tour de Singkarak” Harian Haluan juga sempat menyajikan berita-berita yang berkaitan dengan keberadaan ikan bilih Singkarak yang sudah mulai punah. Bahkan seorang staf bagian kaur ekonomi Pemerintahan Nagari Guguk Malalo saudara Dahmuri juga menulis sebuah opini tentang “Ikan Bilih Singkak Terancam Punah” (Haluan, Kamis, 16/6).
Dari apa yang disampaikan oleh Dahmuri dalam tulisannya, memberikan sebuah gambaran nyata kepada kita bahwa keberadaa PLTA Singkarak benar-benar memberikan dampak yang negatif terhadap masyarakat, terutama masyarakat Nagari Guguk Malalo.
Bahkan yang lebih parah lagi dengan keberadaan PLTA Singkarak telah menyebabkan hilangnya beberapa mata air yang berada di sekitar terowongan yang menjadi sumber utama dalam mengairi sawah masyarakat. Sehingga dengan hilangnya mata air ini, telah menyebabkan sebagian sawah masyarakat tidak bisa lagi digarap, hingga harus berubah fungsi menjadi kebun.
Meninjau Ulang Kajian AMDAL
Dari beberapa dampak yang disebabkan karena keberadaan PLTA Singkarak yang berakibat kepada kerugian yang diderita oleh masyarakat, perlu kiranya sesegera mungkin partisipasi aktif dari stakholder terkait untuk meninjau ulang kembali Amdal pembangunan PLTA Singkarak tersebut, karena kalau tidak masyarakat akan terus-menerus dirugikan dari hari-kehari.
Mengapa demikian? Karena kondisi saat ini ketika masyarakat berharap untuk pemenuhan ekonomi mengandalkan potensi yang dimiliki oleh Danau Singkarak sudah jauh dari harapan dan tidak bisa lagi menjamin. Sementara di sisi lain dengan mengandalkan hasil sawah juga tidak memungkinkan karena kekurangan pasokan air.
Kalau sudah begitu, lalu apa lagi yang akan bisa digarap oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya? Lantas berharap untuk mengelola hutan yang ada di nagari, tambah tidak ada peluang masyarakat karena tersangkut status kawasan hutan lindung, sehingga pada akhirnya masyarakat dalam kendisi terjepit oleh keadaan yang tidak berpihak kepada mereka. Tentu ini harus menjadi bahan pemikiran buat kita bersama, terutama buat pemerintah sebagai pihak pengambil kebijakan.
Selama ini juga menimbulkan sebuah pertanyaan besar bagi masyarakat, sudah hampir lebih kurang 14 tahun PLTA Singkarak beroperasi tapi Amdal sepertinya tidak pernah ditinjau ulang. Sehingga akibatnya adalah menimbulkan kerugian baik secaraa ekonomi buat masyarakat maupun secara ekologi dalam menjaga keberlangsungan lingkungan yang baik.
Oleh karena itu kita berharap, semestinya pemerintah harus bersifat terbuka dan aktif untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan. Kita tidak mengharapkan pembenaran sepihak yang datang dari pemerintah tanpa melihan fakta-fakta sesungguhnya yang terjadi. Kita juga berharap, hendaknya dengan dilakukannya suatu pembangunan, jangan justru akan mengancam terhadap keberlangsungan hidup masyarakat setempat, seperti halnya pembangunan PLTA Singkarak.
Mudah-mudahan paninjauan ulang terhadap Amdal PLTA Singkarak akan bisa sesegera mungkin dilaksanakan sesuai apa yang menjadi tuntutan masyarakat Nagari Guguk Malalo khusunya dan nagari sekeliling danau Singkarak pada umumnya, sehingga nantinya tidak akan ada lagi masyarakat yang dirugikan akibat keberadaan PLTA Singkarak. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar