Indira Permanasari dan Cornelius Helmy Herlambang
Patung bawang putih setinggi 2 meter itu kusam. Catnya mengelupas, betonnya mulai rompal. Dibiarkan telantar, monumen itu seolah mengabarkan bahwa zaman keemasan petani bawang putih di Desa Sembalun, Lombok Timur, sudah tamat.
Bawang putih (Allium sativum L) kini hanyalah cerita indah masa lalu bagi warga lereng Gunung Rinjani itu. ”Dulu, setiap musim panas, semuanya bertanam bawang putih,” kata Dian (40), petani di Sembalun, ”Sekarang tidak lagi. Bangkrut sudah....”
Petani lain, Rusman (50), mengenang masa kejayaan itu dengan banyaknya perubahan di desanya. Jalan yang semula tanah kemudian diaspal. Warga, yang semula menunggang kuda, berganti naik sepeda motor dan mobil.
Bahkan, setiap tahun, warga Sembalun berbondong-bondong naik haji. Istilah ”haji bawang putih” kemudian menjadi sangat populer di Sembalun.
Terletak di ketinggian 1.156 meter di atas permukaan laut, Sembalun merupakan tempat tumbuh ideal bagi bawang putih. Letusan Rinjani pada masa lalu menyuplai berbagai unsur hara, termasuk belerang, yang memberikan aroma khas pada bawang putih.
Masa jaya
Bawang putih telah ditanam secara tradisional sejak lama di Sembalun. Mulai tahun 1980-an, komoditas ini mencapai puncak kejayaannya dan bertahan hingga akhir tahun 1990-an. Selama kurun waktu tersebut, daerah itu menjadi salah satu sentra bawang putih di Indonesia.
Saat itu, produksi bawang putih di Sembalun mencapai 7-10 ton per hektar. Panen dilakukan setiap tiga bulan. Berlimpahnya panenan membuat bawang putih dari Sembalun dipasarkan hingga Pulau Jawa.
Dengan harga jual saat itu sekitar Rp 5.000 per kilogram, petani mendapat keuntungan 50-100 persen. Lahan kopi dan tanaman keras dibabat, diganti bawang putih.
Pembukaan lahan baru bawang putih kemudian mendatangkan orang-orang dari luar Sembalun untuk menjadi buruh tani.
Titik balik
Namun, kejayaan bawang putih di Sembalun saat itu dianggap masih belum cukup. Pemerintah mengenalkan pupuk kimia untuk menggenjot produksi seiring dengan program intensifikasi yang saat itu digalakkan.
Hasilnya, produksi bawang putih di Sembalun melonjak menjadi 12 ton per hektar. Menurut Rusman, lonjakan produktivitas itu tidak bertahan lama. Tanah subur justru perlahan menjadi tandus karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan. Hasil panen kemudian menjadi kurang dari 5 ton per hektar.
Persoalan bertambah pelik dengan masuknya bawang putih impor yang merajalela sejak 1982. Tahun itu, bawang putih impor mencapai 20.000 ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya 13.000 ton. Harga bawang putih dari China, Taiwan, dan India itu lebih murah dibandingkan dengan produksi lokal. Hal ini membuat petani tidak sanggup bertahan. Semua sentra bawang putih di Indonesia terpukul, termasuk Sembalun.
Di tengah kondisi ini, pemerintah berkampanye berada di pihak petani dan ingin menertibkan impor bawang putih ini. Bahkan, pada tahun 1987, Presiden Soeharto datang ke Sembalun untuk menghadiri panen raya bawang putih.
Namun, laju impor bawang putih tetap tidak terbendung. Bahkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2002, volume impor bawang putih melonjak hingga 228.699 ton.
”Mendadak semuanya hancur,” ujar Rusman. Petani Sembalun mulai meninggalkan bawang putih. Pada tahun 2000, produksi bawang putih di Lombok Timur mencapai 51.240 ton, tetapi pada tahun 2008 tinggal 11.241 ton.
Sebagian petani beralih menanam tomat dan cabai yang modalnya lebih kecil serta mudah dijual. Namun, penggantian komoditas tidak membuat petani makmur. Lahan mereka telanjur tandus dan kebijakan yang tetap belum berpihak kepada petani membuat mereka terpuruk hingga kini.
Sebagian petani memilih menelantarkan lahan. Syaifudin (30), misalnya, sejak setahun terakhir membiarkan lahannya dan memilih menjadi porter pendakian ke Gunung Rinjani. ”Percuma ditanami,” ujar Syaifudin. ”Bukan untung, malah rugi.”
Menjadi TKI
Tidak semua orang di Sembalun sanggup menjadi porter. Sebagian lain memilih menjadi buruh migran di Malaysia atau Arab Saudi. Sembalun pun berkontribusi menempatkan Lombok Timur sebagai ”pengekspor” besar tenaga kerja Indonesia (TKI).
”Menjadi tenaga kerja di luar negeri, seperti Arab dan Malaysia, menjadi tren setelah hancurnya bawang putih,” kata Rusman. Survei Sosial Ekonomi Daerah 2004 mencatat, selama tahun itu, sebanyak 540 orang Sembalun menjadi TKI. Dari jumlah itu, 88 persen adalah lulusan sekolah dasar dan selebihnya berpendidikan SMP. Tanpa bekal pendidikan memadai, mereka rata-rata hanya mendapat tempat sebagai buruh kebun atau pembantu rumah tangga berpenghasilan kini Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan.
Sebagian TKI memang beruntung mendapat majikan baik dan bisa mengirim uang. Namun, banyak yang gagal lantaran tertipu. Bahkan, banyak yang disiksa majikan hingga tewas.
Dian termasuk yang merasa gagal selama menjadi TKI di Malaysia. ”Agen (TKI) cuma cerita yang baik-baik,” katanya. Kenyataannya jauh berbeda. Begitu sakit, TKI harus membayar sendiri pengobatan. Upah pun banyak dipotong. ”Kami dipermainkan,” katanya.
Rahidun (22) juga memiliki kenangan buruk selama menjadi TKI. Sejak usia 14 tahun, dia menjadi TKI di Sabah, Malaysia, sebagai buruh kebun sawit. ”Mandor tempat kerja pertama saya menipu dan memotong gaji saya. Dokumen saya juga ditahan mereka,” ujarnya.
Dia pindah ke kebun sawit lain dan bertahan selama setahun sebelum ditangkap polisi Malaysia lantaran tidak mempunyai dokumen imigrasi dan dokumen kerja. Dia dipulangkan setelah dipenjara. ”Menjadi petani dan TKI sama-sama seperti berjudi. Tidak ada jaminan,” keluh Dian, putus asa.
Berkah alam yang subur dan cocok untuk bertani ternyata tidak mampu menjamin kemakmuran. Kini, warga di lereng Rinjani berlomba ”berjudi” di Malaysia. Setelah bawang putih diimpor, pemerintah rupanya lebih suka ”mengekspor” tenaga kerja.
(Agung Setyahadi/Ahmad Arif)
Bawang putih (Allium sativum L) kini hanyalah cerita indah masa lalu bagi warga lereng Gunung Rinjani itu. ”Dulu, setiap musim panas, semuanya bertanam bawang putih,” kata Dian (40), petani di Sembalun, ”Sekarang tidak lagi. Bangkrut sudah....”
Petani lain, Rusman (50), mengenang masa kejayaan itu dengan banyaknya perubahan di desanya. Jalan yang semula tanah kemudian diaspal. Warga, yang semula menunggang kuda, berganti naik sepeda motor dan mobil.
Bahkan, setiap tahun, warga Sembalun berbondong-bondong naik haji. Istilah ”haji bawang putih” kemudian menjadi sangat populer di Sembalun.
Terletak di ketinggian 1.156 meter di atas permukaan laut, Sembalun merupakan tempat tumbuh ideal bagi bawang putih. Letusan Rinjani pada masa lalu menyuplai berbagai unsur hara, termasuk belerang, yang memberikan aroma khas pada bawang putih.
Masa jaya
Bawang putih telah ditanam secara tradisional sejak lama di Sembalun. Mulai tahun 1980-an, komoditas ini mencapai puncak kejayaannya dan bertahan hingga akhir tahun 1990-an. Selama kurun waktu tersebut, daerah itu menjadi salah satu sentra bawang putih di Indonesia.
Saat itu, produksi bawang putih di Sembalun mencapai 7-10 ton per hektar. Panen dilakukan setiap tiga bulan. Berlimpahnya panenan membuat bawang putih dari Sembalun dipasarkan hingga Pulau Jawa.
Dengan harga jual saat itu sekitar Rp 5.000 per kilogram, petani mendapat keuntungan 50-100 persen. Lahan kopi dan tanaman keras dibabat, diganti bawang putih.
Pembukaan lahan baru bawang putih kemudian mendatangkan orang-orang dari luar Sembalun untuk menjadi buruh tani.
Titik balik
Namun, kejayaan bawang putih di Sembalun saat itu dianggap masih belum cukup. Pemerintah mengenalkan pupuk kimia untuk menggenjot produksi seiring dengan program intensifikasi yang saat itu digalakkan.
Hasilnya, produksi bawang putih di Sembalun melonjak menjadi 12 ton per hektar. Menurut Rusman, lonjakan produktivitas itu tidak bertahan lama. Tanah subur justru perlahan menjadi tandus karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan. Hasil panen kemudian menjadi kurang dari 5 ton per hektar.
Persoalan bertambah pelik dengan masuknya bawang putih impor yang merajalela sejak 1982. Tahun itu, bawang putih impor mencapai 20.000 ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya 13.000 ton. Harga bawang putih dari China, Taiwan, dan India itu lebih murah dibandingkan dengan produksi lokal. Hal ini membuat petani tidak sanggup bertahan. Semua sentra bawang putih di Indonesia terpukul, termasuk Sembalun.
Di tengah kondisi ini, pemerintah berkampanye berada di pihak petani dan ingin menertibkan impor bawang putih ini. Bahkan, pada tahun 1987, Presiden Soeharto datang ke Sembalun untuk menghadiri panen raya bawang putih.
Namun, laju impor bawang putih tetap tidak terbendung. Bahkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2002, volume impor bawang putih melonjak hingga 228.699 ton.
”Mendadak semuanya hancur,” ujar Rusman. Petani Sembalun mulai meninggalkan bawang putih. Pada tahun 2000, produksi bawang putih di Lombok Timur mencapai 51.240 ton, tetapi pada tahun 2008 tinggal 11.241 ton.
Sebagian petani beralih menanam tomat dan cabai yang modalnya lebih kecil serta mudah dijual. Namun, penggantian komoditas tidak membuat petani makmur. Lahan mereka telanjur tandus dan kebijakan yang tetap belum berpihak kepada petani membuat mereka terpuruk hingga kini.
Sebagian petani memilih menelantarkan lahan. Syaifudin (30), misalnya, sejak setahun terakhir membiarkan lahannya dan memilih menjadi porter pendakian ke Gunung Rinjani. ”Percuma ditanami,” ujar Syaifudin. ”Bukan untung, malah rugi.”
Menjadi TKI
Tidak semua orang di Sembalun sanggup menjadi porter. Sebagian lain memilih menjadi buruh migran di Malaysia atau Arab Saudi. Sembalun pun berkontribusi menempatkan Lombok Timur sebagai ”pengekspor” besar tenaga kerja Indonesia (TKI).
”Menjadi tenaga kerja di luar negeri, seperti Arab dan Malaysia, menjadi tren setelah hancurnya bawang putih,” kata Rusman. Survei Sosial Ekonomi Daerah 2004 mencatat, selama tahun itu, sebanyak 540 orang Sembalun menjadi TKI. Dari jumlah itu, 88 persen adalah lulusan sekolah dasar dan selebihnya berpendidikan SMP. Tanpa bekal pendidikan memadai, mereka rata-rata hanya mendapat tempat sebagai buruh kebun atau pembantu rumah tangga berpenghasilan kini Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan.
Sebagian TKI memang beruntung mendapat majikan baik dan bisa mengirim uang. Namun, banyak yang gagal lantaran tertipu. Bahkan, banyak yang disiksa majikan hingga tewas.
Dian termasuk yang merasa gagal selama menjadi TKI di Malaysia. ”Agen (TKI) cuma cerita yang baik-baik,” katanya. Kenyataannya jauh berbeda. Begitu sakit, TKI harus membayar sendiri pengobatan. Upah pun banyak dipotong. ”Kami dipermainkan,” katanya.
Rahidun (22) juga memiliki kenangan buruk selama menjadi TKI. Sejak usia 14 tahun, dia menjadi TKI di Sabah, Malaysia, sebagai buruh kebun sawit. ”Mandor tempat kerja pertama saya menipu dan memotong gaji saya. Dokumen saya juga ditahan mereka,” ujarnya.
Dia pindah ke kebun sawit lain dan bertahan selama setahun sebelum ditangkap polisi Malaysia lantaran tidak mempunyai dokumen imigrasi dan dokumen kerja. Dia dipulangkan setelah dipenjara. ”Menjadi petani dan TKI sama-sama seperti berjudi. Tidak ada jaminan,” keluh Dian, putus asa.
Berkah alam yang subur dan cocok untuk bertani ternyata tidak mampu menjamin kemakmuran. Kini, warga di lereng Rinjani berlomba ”berjudi” di Malaysia. Setelah bawang putih diimpor, pemerintah rupanya lebih suka ”mengekspor” tenaga kerja.
(Agung Setyahadi/Ahmad Arif)
Ikuti perkembangan Ekpedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui facebook:ekspedisikompas atau twitter: @ekspedisikompas
TERKAIT:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar