KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDISiswa SMP Keluarga, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, bermain ular tangga antikorupsi di sekolahnya, Kamis (29/12).
Ular tangga buatan sejumlah siswa kelas VIII dan IX SMP Keluarga, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, bukanlah ular tangga biasa. Ular tangga itu tidak akan dimainkan orang-orang yang tidak jujur, apalagi koruptor.
Ular tangga itu tidak akan dimainkan orang-orang yang tidak jujur, apalagi koruptor.
Ular menyimbolkan keburukan atau kebobrokan, sedangkan tangga menandakan prestasi kebaikan. Setiap pion pemain yang berada di bawah tangga bisa menaiki tangga karena bersikap jujur.
Sebaliknya pion pemain yang hampir finish atau titik akhir harus turun karena berada di kotak ular bertuliskan korupsi. Tidak tanggung-tanggung, pion itu tergelincir hampir mendekati titik nol.
”Melalui permainan itu, kami belajar tentang kejujuran dan tidak korupsi dalam kehidupan sehari-hari,” kata siswa kelas VIII SMP Keluarga, Reines Arivisian Wiryawan, Kamis (29/12), akhir tahun lalu.
Tidak hanya itu, para siswa diperkenalkan pula dengan para koruptor yang menggelapkan uang rakyat dan penegak hukum. Pernah suatu kali, secara kreatif, para siswa membuat dan mengenakan topeng-topeng para koruptor dan penegak hukum dalam pertandingan olahraga antarkelas.
Topeng-topeng orang-orang yang tersangkut korupsi seperti mirip Gayus Tambunan, Anggodo Widjojo, Nazaruddin, dan Nunun Nurbaeti. Topeng-topeng penegak hukum antara lain menyerupai Susno Duadji, Abraham Samad, Timur Pradopo, dan Hendarman Supandji.
Ketika pertandingan itu berakhir dengan kemenangan tim ”koruptor”, hal itu menggambarkan realitas Indonesia. Para siswa diajak mencermati penanganan dan penegakan hukum di Indonesia yang berbelit-belit dan cenderung kalah dengan koruptor.
SMP Keluarga menerapkan pendidikan karakter dan antikorupsi sejak 2005. Secara teori, para siswa semua kelas mendapat materi antikorupsi seminggu sekali selama satu jam pelajaran. Namun, praktiknya, hampir di setiap mata pelajaran materi antikorupsi dapat diterapkan.
Tidak hanya di dalam kelas, pendidikan antikorupsi itu diaplikasikan pula melalui transaksi jual beli di Warung Kejujuran dan Telepon Kejujuran. Warung Kejujuran merupakan program lama, yaitu siswa secara mandiri melayani pengambilan barang dan uang kembalian karena warung tanpa penjaga.
Telepon Kejujuran merupakan program yang diterapkan sejak tiga tahun lalu. Telepon Kejujuran diterapkan lantaran sekolah melarang siswa membawa telepon seluler ke sekolah.
Untuk itu, sekolah menyediakan telepon seluler berbasis CDMA dan GSM. Tarif untuk CDMA Rp 300 dan GSM Rp 1.000 tanpa dibatasi waktu penggunaannya. Uang hasil pembayaran tersebut dikumpulkan untuk mengisi pulsa kedua telepon seluler itu.
”Melalui metode itu, kami ingin siswa belajar tentang negara. Jika keuangan negara terus dikorupsi, lama-lama negara bakal bangkrut. Sama ketika siswa tidak membayar telepon atau barang di warung kejujuran, warung dan kios itu akan bangkrut,” kata Kepala SMP Keluarga M Basuki Sugita.
SMP Keluarga, kata Basuki, juga berupaya melawan arus remaja sekarang yang dengan begitu mudahnya mendapat surat izin mengemudi (SIM) meski belum cukup umur. Sekolah melarang para siswa membawa sepeda motor ke sekolah.
Larangan itu berlaku bagi semua siswa, baik yang punya SIM maupun tidak. Hasilnya, dari 30 siswa yang rata-rata membuat SIM per tahun meski belum cukup umur, kini tinggal 3-5 siswa yang masih melakukan itu. Namun, mereka tidak berani membawa sepeda motor ke sekolah.
”Setiap kali ada pertemuan orangtua siswa, kami selalu menyampaikan pesan agar di rumah para remaja perlu mendapat pendidikan antikorupsi dan kejujuran sehingga antara lingkungan sekolah dan rumah sambung,” kata Basuki. (HENDRIYO WIDI
)kompas.com
TERKAIT:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar