Tanpa disadari Sumatera Barat telah dijadikan jalur perdagangan manusia, terbukti setelah dua orang korban Human Trafficking ES (16) dan MI (20) asal Kupang, Nusa Tenggara Timur berhasil melarikan diri dari rumah majikannya di Kota Bukittinggi.
Dalam pengakuan korban, tidak hanya mereka saja yang dikirim ke Sumatera Barat, bahkan di rumah majikannya masih ada satu lagi korban asal Timor Leste belum sempat melarikan diri. Sekarang para korban telah ditampung oleh Yayasan Nurani Perempuan di Kota Padang.
Dalam pengakuan kedua korban, pengiriman mereka ke Bukittinggi berjarak dua bulan. MI di kirim pada bulan September, sedangkan ES pada bulan November kemarin.
Korban yang awalnya diiming-imingi pekerjaan di Jakarta sebagai karyawan toko dengan gaji Rp800.000 per bulan oleh seseorang di Kupang, namun setelah berangkat dari kupang ke Jakarta, korban dijemput dan ditampung oleh seseorang yang bernama Dewi. “Pada bulan September kemarin, saya tinggal selama 4 hari bersama para korban yang berjumlah 6 orang, dan sehabis itu kami dipencar-pencar yaitu 2 orang ke Medan, 1 orang tetap di Jakarta, 2 orang ke Padang, dan 1 orang ke Bukittinggi yaitu saya,” kata MI.
Kisah serupa juga dialami oleh ES, siswa kelas 1 SMU Negeri 1 Mollo Selatan, Kota Kupang ini di menjelaskan bahwa dia juga ditampung oleh Dewi dan di sana sudah ada 16 orang lain yang akan dipencar-pencar ke berbagai daerah. “Saya tidak tahu kemana mereka akan disebarkan, tetapi yang jelas dua orang diterbangkan ke Padang, termasuk saya. Setiba di Padang, kami berpisah di Bandara Internasional Minangkabau dan setelah itu saya tidak tahu kemana dia akan dibawa pergi.
Selama keberadaannya di Kota Bukittinggi, kedua korban ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tidak pernah mendapatkan sepersen pun gaji dari majikan. Setiap harinya korban harus bekerja dari jam 04.00-22.00 WIB mengurus rumah dan anak majikan.
“Selama berada di tempat majikan, saya merasa tidak betah karena selalu bekerja tanpa ada waktu untuk istirahat,” kata ES saat diwawancarai oleh wartawan di kantor Yayasan Nurani Perempuan, Sabtu (31/12).
ES mengatakan di bekerja di sana tidak mengenal waktu, mulai dibangunkan jam 04.00 lalu dapat istirahat setelah majikannya tidur sekitar jam 22.00. “Selalu ada saja saya disuruh untuk bekerja, bahkan dalam satu hari saya ngepel lantai hingga tiga kali,” keluh ES.
Seringnya perlakuan kasar dan gaji yang tidak kunjung keluar, membuat MI dan ES meyakinkan diri untuk merancang rencana keluar dari rumah majikannya. “Yang menguatkan mental saya untuk melarikan diri adalah abang saya yang ada di Kupang,”kata ES
ES menuturkan bahwa untuk berkomunikasi dengan abangnya, ES harus mencuri-curi kesempatan untuk dapat memakai telepon rumah majikannya. Atas bantuan abangnya inilah ES dapat berkomunikasi dan bertemu dengan Yayasan Nurani Perempuan.
“Pagi sekitar jam 05.00 saya bersama MI sudah keluar dari rumah majikan dan ingin menuju Kota Padang, karena tidak tahu arah kami malah berjalan kearah Medan. Karena melihat kami yang kebingungan, ada sopir angkot yang menghampiri dan membawa kami ke Polresta Bukittinggi, dan disanalah saya dapat menghubungi abang saya dan Yayasan Nurani Perempuan kalau saya sudah melarikan diri,” kata ES
Ditempat yang sama, Yefri Heriani selaku Direktur Yayasan Nurani Perempuan menyebutkan kedua orang ini adalah korban Human Trafficking karena modus yang menjerumuskan kedua korban ini sama yaitu penipuan, pelanggaran HAM dan eksploitasi.
“Mereka ditipu dengan diiming-imingi pekerjaan di Jakarta sebagai karyawan toko dengan iming-iming gaji sebesar Rp800 ribu, tapi nyatanya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di Bukittinggi dan tanpa digaji,” kata Yefni.
Yefri juga mengatakan bahwa saat berada di Jakarta, barang-barang pribadi dan handphone korban disita oleh Dewi karena takut korban menghubungi keluarganya dan menuntut kepada korban uang sebesar Rp 3 juta jika ingin pulang. Uang Rp 3 juta tersebut juga bukan untuk biaya kepulangan korban ke Kupang, tapi biaya yang telah dia (Dewi) keluarkan untuk calo di Kupang.
“Ini jelas pelanggaran HAM, karena pengekangan dan pelarangan untuk dapat berkomunikasi dengan keluarga mereka. Lagipula korban diperjualbelikan hanya dengan harga Rp 3 juta,” tegas Yefri.
Selama di Bukittinggi, ES dan MI bekerja di rumah Yul di Jalan Soekarno-Hatta No 5C Kecamatan Mandi Angin yang lebih tepatnya Serum Motor Yamaha. “MI yang selama tiga bulan dan ES selama satu bulan bekerja sangat tertekan dan tidak betah dengan perlakuan majikannya yang terus memperkerjakan korban tanpa istirahat,” kata Yefri lagi.
“Bayangkan saja waktu kerja para korban dari pukul 04.00-22.00 WIB tanpa boleh istirahat, Apakah itu manusiawi?, ini jelas pengeksploitasian manusia” tegas Yefri.
Sedangkan di tempat yang berbeda, Kasat Reskrim Polres Bukittinggi, AKP. Rendra Cahyono membenarkan adanya laporan mengenai kasus Human Trafficking di Bukittinggi. “Kedua korban melapor ke Polres Bukittinggi tanggal 25 Desember 2011 yang lalu,” kata Rendra saat dikonfirmasi oleh Haluan.
Rendra juga mengatakan bahwasanya polisi telah melakukan pemeriksaan kepada majikan korban dan sampai saat ini masih belum ditetapkan sebagai tersangka. “dari keterangan majikannya, korban akan diberikan gaji setelah bekerja selama 5 bulan dan itu tertera dalam sebuah dokumen,” kata Rendra lagi.
“Untuk melangkah ke tahap status tersangka dan perkembangan lebih lanjutnya, pihak kepolisian Polres Bukittinggi masih melakukan penyelidikan lebih lanjut dan kami telah berkoordinasi dengan kepolisian di Jakarta dan Kupang,” tutup Rendra. (h/ang/jon)haluan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar