Sekali aia gadang sakali tapian barubah. Begitulah adagium Minangkabau, yang menunjukkan Minangkabau adalah daerah yang selalu terdepan dalam perubahan, terutama perubahan budaya. Perubahan fisik mungkin tidak, Minangkabau selalu berada di belakang.
Pagi ini terasa lebih tenang. kehingaran terompet, ledakan mercun, gemercik kembang api dan deru kenderaan yang hilir mudik mulai sepi, benar jauh sangat sepi dibandingkan malam tanggal 31 Desember. Pada malam itu ledakan kehingaran sampai tengah malam sungguh membuat kita tersentak, tersentak bukan karena kita ingin memasuki tahun yang lebih baik, tersintak karena kejutan yang memukul-mukul dan mengganggu ketenangan dari kesunyian. Gedung-gedung dikerubungi mercun, perkantoran, rumah-rrumah dan bahkan mesjid seakan dikepung. “Kita” dikepung oleh kegaduhan gemerincing api yang melesat-lesat dengan ledakan ke udara.
Acara meriah tahun baru 2012, tentu sebuah testimoni, sebuah tontonan yang realiastis, sebuah tontonan yang menarik ketika identitas kita sedang goyah. Perayaan tahun baru memang dunia yang penuh glamour dan gengsi, yang ketika belasan tahun lampau, (apa lagi) puluhan tahun lalu berada di luar pikiran sehat para etnik Nusantara. Ini budaya hiperealitas, simulacra dari post-modernisme dan hipermodernisme. Inilah yang susah untuk memahami, pada satu sisi para pemimpin, seakan-akan penuh kekhusukan, bahkan dengan stempel peraturan daerah, menggalakkan proses kekhusukan ummat ke Surau, lalu memacu Asmaul Husna di depan publik, pada sisi lain, ia menjauh dari Surau, seakan ia tempatkan segalanya itu jauh pada jagat terluar.
Pesantren Ramadan dan berbagai aktivitasnya pada anak-anak mungkin akan terbakar satu malam, selaras dengan meledaknya mercun-mercun kembang api. Namun yang menariknya (dan herannya?) kebudayaan etnik diselipkan sehingga semua mata masih bisa dikelabui di mana Sang Penguasa masih bisa berbicara atas nama diri “kita”, yang sebenarnya masyarakat sebagai penonton pasif, tidak kritis. Masyarakat digerakkan seakan-akan aktif dalam permainan besar itu, yang tidak dipahami akar asal usulnya.
Perubahan sosial Minangkabau yang tejadi hari ini, sesunguhnya jauh berbeda dengan semangat perubahan sosial sejak akhir abad ke-19. Kalau dirunut sejak akhir abad ke-19 maka perubahan sosial kita bergerak ke arah religius dan meninggikan pikiran. Konflik besar antara kaum adat dan agama bermuara pada kesepakatan antara adat dan syarak, itulah yang kita agungkan, dan kemudian diusung kemana-mana dengan nama adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABSSBK), sebuah slogan besar yang begitu nyaring di mana-mana tetapi kering paktis sosialnya. Semangat relegius dan meninggikan pikiran itu makin jelas arahnya dalam abad ke-20, yang kemudian diresepi oleh pendidikan Barat dan kolnialisme Belanda. Arah perubahan sosial Minangkabau tetap berpegang pada dua poin tadi. Dengan ini alim ulama dan kaum adat makin cerdas karena diperkaya dengan ilmu pengetahuan umum. Satu golongan lagi, kaum cerdik pandai muncul , dan menjadi penegah dan memperkaya khasanah Minangkabau. Ketiganya ini, yang kita kenal dengan pemimpin, tigo tunggu sajarangan,menentukan dan berperan aktif.
Realitas hari ini tiga peran ini berada di bawah bayang-bayang lain, para birokrasi, para politisi, para penguasa yang muncul karena administratif-politis. Para penguasa ini tidaklah betul orang-orang pilihan, walaupun mereka dipilih oleh rakyat. Namun pemilihan mereka tidak bisa dilepaskan dari masalah uang dan bujuk rayu, sesuatu yang paling ril dalam pemilihan kepala daerah hari ini. Penguasa semacam ini, umumnya adalah aktivis-aktivis taggung, pemburu kekuasaan yang loyalitas mereka hanya kelihatan apa bila berada di singasana. Siapapun boleh menelusuri, tidak seberapa para penguasa baru ini yang mempunyai aktivis yang cemerlang. Mereka hadir tiba-tiba, seperti suatu benda terjatuh ke bumi, ke tengah pembaca.
Pemimpin yang datang tiba-tiba ini, atau pemimpin dadakan, adalah ibarat lokomotif kereta api yang rusak dan menggerakkan banyak gerbong, baik yang rusak maupun yang baru. Para gerbong dihela kemana Si Penguasa pergi, kadang kala pergi ke jalan berlumpur maka gerbong belakang ikut kena lumpur, kadang kala, alhamdulillah di jalan yang elok maka gerbong-gerbong itu bisa berjalan baik dan senang.
Dalam konteks ini, bagi penulis dan kaum intelektual, mungkin setiap hari waktu mereka habis untuk menyeru. Para aktivis yang berpihak kepada kerakyatan dan kebenaran mungkin pikiran dan fisik mereka sudah lelah, bahkan seperti diserukan Iwan Fals, “Kami telah muak, muak dengan ketidakadilan dan ketidakpastian”. Karena itu, sudah saatnya “kita” berpikir jangka panjang, terhindar dari gaya hidup dan budaya bujuk rayu, pencitraan dan sebagainya. Ini semata untuk sebuah kebangkitan , untuk kejelasan jalan dan identitas. Agar kita tidak hanyut dalam glamour kebodohan dan ilusi.
Sakali aia gadang sakali tapian barubah, maksud mengulang adegium ini bahwa identitas kita mudah digerus, bahkan dirombak oleh gempuran rayuan-rayan baru yang tidak jelas ujung pangkalnya. Untuk sekadar mengutip Anthony Giddens, “tumbangnya pilar-pilar keimanan” kita. Kini tahun 2012 mungkin tahun ketidakpastian dari kebudayaan dan kebangkitan bangsa kita, semua terpulang sama kita; apakah kita akan mempertahankan cara-cara tahun sebelumnya atau kita menyusun agenda baru untuk membuat satu lompatan yang jauh ke depan, agar bangsa ini berada di bahagian paling depan?
WANNOFRI SAMRY
(Kandidat Ph.D di Universitas Kebangsaan Malaysia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar