Lagi, petani ikan Danau Maninjau menjerit. Ikan jala apung mereka banyak yang mati akibat angin darek. Tak hanya petani, pengusaha pariwisata pun mengaku rugi.
MANINJAU, Angin darek (darat) minta korban lagi. Petani ikan keramba jala apung (KJA) menjerit, akibat matinya sekitar 70 ton ikan. Bencana tersebut terjadi sejak Jumat (10/2), sampai Minggu (12/2).
Angin darek mengaduk perairan Danau Maninjau sejak Kamis (9/2). Esok paginya, ikan mulai terlihat mengapung. Menurut Camat Tanjung Raya, Syatria, S.Sos, M.Si, ikan mati terlihat di Nagari Sungai Batang, Maninjau, dan Bayur.
Petani ikan terlihat sibuk menyelamatkan ikan yang masih hidup. Ada yang memindahkan ikan dari KJA ke lokasi yang lebih aman, seperti ke kolam yang terdekat dengan lokasi KJA mereka.
Jumat sore udara di pinggiran Danau Maninjau dalam kawasan 3 nagari tersebut mulai beraroma tak sedap. Sabtu (11/2) ikan mati kian bertambah. Petani jadi pasrah.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Agam, Bambang Warsito, S.Sos, M. Si, Minggu (12/2) di markas BPBD Agam menyebutkan bahwa bangkai ikan tersebut akan dikubur. Untuk itu sedang diupayakan pinjaman alat berat (bachoe loader).
Namun alat berat milik Dinas PU Agam sedang rusak. Sementara lokasi penguburan ikan dipersiapkan Camat Tanjung Raya bersama wali nagari setempat.
Kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp1,2 miliar, dengan estimasi 1 kg ikan seharga Rp18 ribu. Namun menurut Badan Pengelola Kelestarian Danau Maninjau (BPKDM) Kasman, ikan yang mati di Danau Maninjau mencapai 130 ton.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Agam, Ir. Ermanto, M.Si, mengakui kalau angin darek merupakan penyebab utama mengapungnya racun dari dasar danau. Racun tersebut antara lain berasal dari belerang, residu pakan ikan, dan kotoran ikan.
Diperkirakan, setidaknya 60 ton pakan ditebar ke perairan Danau Maninjau. Pakan ikan tersebut untuk konsumsi sekitar 12.000 unit KJA yang tersebar di Danau Maninjau.
Untuk mengantisipasi kerugian lebih parah, Bupati Agam H. Indra Catri Dt. Malako Nan Putiah, telah mengeluarkan himbauan agar petani ikan KJA mengurangi jumlah bibit ikan ke dalam KJA. Kondisi Oktober 2011-Pebruari 2012, cuaca kurang bersahabat. Kemungkinan datangnya bencana cukup besar, termasuk bertiupnya angin darek.
”Bila dalam kondisi normal, setiap petak KJA bisa diisi dengan 5.000 ekor benih ikan, dalam cuaca ekstrim dikurangi menjadi 2.000 ekor,” ujarnya.
Sementara Ermanto menyebutkan, dengan semakin sedikitnya jumlah benih ikan ditebar dalam KJA, berarti kemungkinan kerugian bisa ditekan.
Upaya penyelamatan pun semakin gampang, seperti melakukan pengemposan udara bersih ke dalam KJA, menggunakan mesin pompa. Atau bisa juga dengan memindahkan secepatnya ikan, bila bertiup angin darek.
Menurut (BPKDM) Kasman, ikan yang mati banyak dibuang pemiliknya ke dalam danau. Kondisi itu menyebabkan bangkai ikan menyebar di perairan danau, kemudian dihanyutkan angin ke tempat lain, sesuai arah angin bertiup.
Rugikan Pariwisata
Di samping merugikan petani ikan, juga berimbas pada pengusaha pariwisata, seperti pemilik hotel dan penginapan. Tamu hotel enggan menginap di hotel dan penginapan di sepanjang pinggiran Danau Maninjau, terutama di kawasan Nagari Maninjau dan Bayur. Penyebabnya, aroma tak sedap, yang menyeruak dari bangkai ikan, menimbulkan rasa tidak nyaman.
“Bagaimana pula tamu bisa bertahan, bau bangkai ikan sangat tidak nyaman buat mereka,” ujar Pemilik Hotel Maninjau Indah Idham Rajo Bintang.
Rajo Bintang mengusulkan agar Pemkab Agam bersama DPRD Agam membuat aturan supaya ikan “tidak mati.” Maksudnya, pengendalian pertumbuhan keramba jala apung (KJA) di perairan Danau Maninjau harus diatur dengan Perda, dan dilaksanakan dengan tegas dan konsekuen. Jangan hanya peraturan di atas kertas saja.
Kini pertumbuhan KJA berjalan bagai tanpa kendali. Jumlahnya sudah bejibun. Dampaknya, pakan ikan yang ditebar ke dalam KJA juga sangat banyak. Residunya memperparah tingkat pencemaran Danau Maninjau.
Dengan semakin banyaknya tumpukan residu pakan ikan, diperparah dengan kandungan belerang, yang sudah ada di dalam danau, diyakini akan menyebabkan tingkat kematian ikan akan semakin tinggi.
“Bupati Agam mesti bertegas-tegas, agar Danau tidak menjadi sumber petaka. Di sisi lain, warga juga mesti mematuhi peraturan yang ada, bila ingin bencana tidak semakin merugikan mereka, khususnya petani ikan keramba,” ujar Rajo Bintang.
Menurut tokoh pelopor pariwisata Maninjau itu, sejak membludaknya jumlah keramba di Danau Maninjau, diperparah dengan tercemarnya perairan Danau Maninjau, jumlah kunjungan wisatawan terus berkurang.
Apalagi dengan kematian ikan dalam jumlah puluhan ton, menyebabkan udara di kawasan Maninjau berbau busuk.
“Wisatawan semakin enggan berkunjung dan menginap pada hotel dan penginapan di Maninjau,” ujar Rajo Bintang pula. (h/msm)http://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar