Padang, Anak jalanan, gelandangan, pengemis, pengamen dan pedagangan asongan pada dasarnya merupakan kelompok masyarakat miskin sehingga harus dilihat dari persfektif korban. Kemiskinan yang mereka hadapi selama ini tidak terlepas dari kegagalan negara dalam pemenuhan hak-hak dasar warga negara selama ini, terutama hak atas ekonomi untuk mendapatkan kehidupan layak dan kesejahteraan.
Demikian dikatakan Era Purnama Sari, Koordinator Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan Lembaga Bantuan Hukum Padang saat bincang-bincang dengan Haluan, Rabu (21/3) di kantornya.
“Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas telah menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Hal mana juga dipertegas oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya menyatakan negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak dasar warga negara terutama masyarakat miskin, baik sipil politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya,” tegas Era Purnama Sari.
Ia merujuk Pasal 33 UUD 1945 itu terkait dengan lahirnya Perda Kota Padang No 1 tahun 2012 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, Pengamen dan Pedagang Asongan yang masih dapatr dikatakan sebagai tindak lanjut dari tanggung jawab negara.
“Namun dengan adanya ancaman sanksi pidana terhadap Anak Jalanan, Gelandangan-Pengemis, dan Pengamen serta masyarakat yang memberikan uang kepada mereka memperlihatkan perda ini bersifat represif sehingga dikhawatirkan akan menambah dafar pelanggaran HAM di Kota Padang,” terangnya.
Dari hasil monitoring LBH Padang selama ini, penertiban terhadap anak jalanan, gelandangan, pengemis, pengamen, pedagang asongan seringkali menimbulkan terjadi tindakan kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi kepada mereka. “Seharusnya penanganan terhadap anak harus memberikan pendekatan terbaik terhadap anak itu sendiri dengan tindakan-tindakan preventif.”
LBH Padang menilai, perda penuh dengan nuansa represif karena adanya penerapan sanksi pidana terhadap anak jalanan, gelandangan-pengemis, dan pengamen. Hal ini mengambarkan keputusasaan Pemko Padang dalam mengatasi persoalan social kota ini.
Selain itu, papar Era Purnama Sari, berdasarkan hasil pengamatan LBH Padang, syarat-syarat melahirkan sebuah perda tak tarpenuhi.
Seharusnya baik pemerintah maupun DPRD semestinya sudah memperhitungkan efektifitas keberlakuan perda ini di dalam masyarakat baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan teutama asas “dapat dilaksanakan”. Jika memang benar ada aturan seperti hal dimaksud, maka perda ini dipastikan akan bermasalah dalam hal pengimplementasianya.
“Siapa yang akan melakukan pengawasan agar masyarakat tidak memberikan uang kepada anak jalanan, gelandangan-pengemis, dan pengamen. Padahal untuk melahirkan sebuah perda menelan biaya tidak kurang dari 300 juta rupiah. Di samping itu perda ini juga terlalu gegabah menggunakan pidana sebagai sanksi,” tutur Era Purnama Sari.
Meskipun tidak ada larangan Perda memuat sanksi pidana tetapi tetap saja pidana semestinya adalah upaya terakhir jika tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Di sinilah terlihat keputusasaan Pemko Padang dalam menanggulangi persoalan sosial di Kota Padang.
“Perda ini berpotensi melanggar HAM khususnya hak asasi anak jalanan. Selain itu Perda ini juga cacat secara formal dan bertentangan dengan asas pembentukan peraturan penundang-undangan terutama asas dapat dilaksanakan, dan menolak penerapan pidana pada anak jalanan, gelandangan-Pengemis, dan pengamen,” jelas Era Purnama Sari. (h/naz)http://www.harianhaluan.com
saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
BalasHapusArtikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
terimakasih ya infonya :)