Kalau saja Abdullah dilatih menjadi atlet olahraga panjat tebing, mungkin ia tak akan banyak mengalami kesulitan. Pasalnya, dalam sehari lebih kurang ratusan kali melakukan kegiatan memanjat batang enau untuk mengambil air niranya.
Enau atau aren (Arenga pinnata, suku Arecaceae) adalah palma yang terpenting setelah kelapa (nyiur) karena merupakan tanaman serba guna. Tumbuhan ini dikenal dengan pelbagai nama seperti nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di Sumatra dan Semenanjung Malaya); kawung, taren (Sd.); akol, akel, akere, inru, indu (bahasa-bahasa di Sulawesi); moka, moke, tuwa, tuwak (di Nusa Tenggara), dan lain-lain.
Abdullah, lelaki kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, tahun 1970, sejak empat tahun lalu memang menetap di daerah Parumpuang, Kenagarian Koto Baru Simalanggang, Kabupaten Limapuluh Kota, dan bekerja sebagai pembuat gula enau yang dikenal juga dengan sebutan gula merah.
Masyarakat di Kota Payakumbuh dan Limapuluh Kota atau di Sumatera Barat umumnya, mengenalnya juga dengan sebutan gula aren, karena air nira yang menjadi bahan baku untuk membuat gula tersebut diambil dari tangkai buah pohon aren. Gula merah buatannya tersebut dihasilkan Abdullah bersama istrinya Nur Afifah.
Kesibukan rutin Abdullah, setiap sore memanjat pohon enau guna memasang ember-ember plastik untuk menadah titik air dari tangkai buah pohon aren. Pagi harinya, Abdullah lalu mengambil kembali setiap ember yang hampir penuh berisi air nira tersebut.
Setiap hari, tidak kurang 40 buah ember yang harus dipasang dan kemudian besoknya diturunkan oleh Abdullah. Artinya, laki–laki asal Banyuwangi Jawa Timur ini, harus naik turun pohon enau setiap hari sebanyak 160 kali. Dengan kata lain, memanjat dan turun untuk memasangkan ember di puncak pohon enau dan besok paginya menurunkan ember yang sudah penuh berisi air nira itu.
Dari penghasilan mengambil air nira yang berasal dari sekitar 40 batang pohon enau itu, Abdullah bersama istrinya Nur Afifah yang juga kelahiran Banyuwangi 3 April 1980, bisa menghasilkan gula merah lebih kurang satu ton per minggu.
Gula merah yang dihasilkan pasangan keluarga yang terbilang ulet, gigih, dan harmonis ini, selanjutnya dikirim ke Kota Padang dan berbagai kota lainnya di Sumbar dan Pekanbaru, Provinsi Riau.
Harga gula merah, kata Nur Afifah, didampingi Abdullah, dan Handri Fatra Dt. Rajo Basa, anggota Fraksi PAN (Partai Amanat Nasional) DPRD Kabupaten Limapuluh Kota sebagai pemilik lahan pohon enau, saat ini sekitar Rp10.000 per kg.
Sebelum mengolah gula merah di Parumpuang, yang justru lebih dikenal sebagai daerah penghasil telur, Abdullah dan istrinya Nur Afifah, juga pernah melakukan kegiatan yang sama di daerah Bengkalis, Riau.
Ditanya tentang kesan sebagai pekerja pembuat gula merah yang harus naik dan turun pohon enau sebanyak ratusan kali sehari, menurut Abdullah justru banyak enaknya.
“Wah enak juga. Badan menjadi sehat. Kan memanjat termasuk olahraga juga ya Pak?” katanya pada Haluan dengan tekanan lidah logat Jawa Timurnya.
Bagi petani yang memiliki banyak pohon aren, ia akan berangkat lebih awal untuk menyadap air nira. Jika terlambat menyadap air nira akan berubah menjadi asam cuka dan tuak. Pada pagi hari biasa jauh sebelum matahari bersinar dan sore hari sebelum matahari terbenam.
Pohon aren mulai bisa di sadap pada usia 5 tahun dan puncak produksi antara 10-20 tahun dan subur, bisa menghasilkan 15-20 liter nira aren tiap hari.
Menyadap pohon aren memerlukan keterampilan, kesabaran dan ketekunan yang amat sangat.
Coba Anda bayangkan jika pada saat menyadap nira di pagi hari masih gelap dan hujan. Sungguh semangat yang luar biasa. Anda bisa bayangkan bagaimana tangguhnya petani-petani aren di negeri ini.
Nira adalah cairan yang disadap dari bunga jantan pohon aren. Cairan ini mengandung gula antara 10-15%.
Nira dapat diolah menjadi minuman ringan, maupun beralkohol, sirup aren, gula aren dan nata de arenga. (Laporan Syafril Nita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar