Menarik mendiskusikan tulisan Bapak Irwan Prayitno yang berjudul “Kewaspadaan Bencana” pada kolom refleksi Haluan, Selasa (8/5) lalu. Meskipun di akhir tulisan itu pembaca diajak untuk bertawakkal kepada Allah, akan tetapi pesan yang disampaikan lebih mengedepankan pendekatan ilmiah dan empiris untuk mewaspadai datangnya gempa dan tsunami.
Itu pula yang dilakukan oleh Mendagri dengan mengirimkan surat peringatan ke daerah-daerah/provinsi rawan bencana, termasuk ke 7 walikota/bupati di Sumbar. Tujuannya agar pemerintah setempat bersama masyarakat mengevalusi lagi hal apa saja yang perlu dibenahi dalam rangka mengantisipasi jika terjadi gempa dan tsunami. Atau fasilitas apa yang perlu diadakan untuk mengantsipasi bencana. Lagi-lagi, pendekatan yang dilakukan bersifat empiris dibungkus perspektif ilmiah.
Irwan Prayitno juga mengatakan, sudah lama prosedur, protap dan metode itu disosialisasikan ke masyarakat. Mungkin belum banyak yang terlibat atau peduli. Karena itu, menurutnya, cara-cara itu perlu disosialisasi ulang lagi.
Bencana Moral Picu Bencana Alam
Hemat penulis, yang lebih dilupakan adalah perilaku-perilaku manusia yang mengundang bencana alam itu sendiri. Masyarakat Sumatera Barat yang mengaku mayoritas muslim, berfalsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK), sangat paham tentang hubungan antara perilaku manusia dengan alam. Bencana moral bisa mengundang bencana alam.
Dalam Alquran dan Hadis terdapat isyarat-isyarat yang menegaskan bencana alam terjadi akibat keingkaran manusia terhadap perintah-perintah Tuhan. Bencana itu bisa berupa gempa (al-A’raf/7: 78, 91, 155, dan al-Ankabut/29: 37); banjir bandang (al-Ankabut/29: 14; dan Saba’/34: 16); hujan batu (al-A’raf/7: 84; an-Naml/27: 58); angin ken cang lagi dingin (al-Haaqqah/69:6); kemarau pandang dan kekurangan buah-buahan (Qs. al-A’raf/7: 130), dan masih banyak lainnya.
Begitu juga dalam hadis Nabi SAW, penyimpangan moral dapat mendatangkan adzab Allah. Apabila zina dan riba telah nampak di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka (ditimpa) adzab Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
“Wahai manusia! Sesungguhnya yang menyebabkan kebinasaan bagi umat-umat sebelum kamu adalah apabila mereka mendapati orang mulia mencuri, mereka membiarkannya. Tetapi jika yang didapati mencuri adalah orang lemah maka mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad SAW mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya. (HR. Bukhari).
Jika disimpulkan, bencana alam turut dipicu oleh aqidah umat yang telah menyimpang dan bencana moral yang berhubungan dengan orang lain. Allah dipersekutukan, atau tak lagi dirasakan kehadiran dan pertolongan-Nya. Larangan-larangan Allah yang bersifat sosial gemar dilakukan, seperti zina, riba, korupsi, dan beragam bentuk penindasah dan pengrusakan lainnya.
Kini, apa yang terjadi di negeri ini, khususnya di Sumatera Barat?
Aqidah kita dipertanyakan, ayat-ayat Alquran jarang dikumandangkan, masjid sepi dari jamaah, dan pendidikan pun kering dari pendidikan aqidah. Sekolah lebih banyak mengajarkan tahu tentang aqidah, bukan mendidik agar mereka beraqidah. Pesan-pesan dakwah hanya sekedar seruan tetapi miskin dari keteladanan. Umat guncang, seperti kehilangan panduan, tak tahu arah, hanya merindukan panutan.
Apalagi fenomena bencana moral?
Lihatlah dengan mata kepala, pantai Padang. Ratusan payung-payung rendah terpasang. Anak manusia berpasang-pasangan mempermainkan syahwatnya. Siapa yang berani mencegah dan menghentikannya? Bukankah perilaku ini mengundang tsunami?
Jangankan tumpukan bebatuan, benteng puluhan meter pun tak kan mampu mencegah azab Tuhan selagi perilaku yang mengundang kutukan itu tak dihentikan!
Lain lagi dengan dosa korupsi, sogok menyogok, mafia hukum, praktik riba yang kian berbunga-bunga, hingga pertikaian, perselisihan dan perpecahan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Semua itu jelas mengundang kutukan Tuhan!
Mungkin ada yang bertanya, negeri lain juga banyak yang bermaksiat, kenapa azab tak ditimpakan pada mereka? Kenapa harus Sumatera Barat?
Persoalannya, kita telah mengaku sebagai hamba Allah. Kita telah memproklamirkan diri sebagai masyarakat yang berfalsafah ABS-SBK. Allah tidak akan membiarkan pengakuan lisan tanpa bukti perbuatan. Allah akan selalu menguji komitmen dari pernyataan dan pengakuan kita.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman/kami hamba Allah/ kami berfalsafah ABS-SBK”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. al-Ankabut/29: 2).
Lalu ada lagi yang menyoal, bukankah masih banyak yang rajin beribadah, tidak semuanya bermaksiat?
Allah menegaskan:dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya (Qs. al-Anfal/8: 25).
Ayat ini tegas mengatakan bahwa azab Allah tidak saja ditimpakan khusus kepada orang yang berbuat zalim saja. Itu artinya, orang-orang yang berbuat baik, tetapi membiarkan maksiat itu merajalela, maka Allah akan menimpakan azab yang sifatnya menyeluruh.
Ibarat kapal, jika beberapa orang memahat dinding dasar kapal, sementara yang lainnya membiarkan; kapal itu pasti menenggelamkan semua penumpangnya.
Alquran sebagai Solusi
Solusi terhadap bencana ini sesungguhnya ada di depan mata, yaitu Alquran al-Karim. Sejatinya kita komitmen menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup, seperti pesan ABS-SBK.
Hemat saya, Mendagri seharusnya mengirim surat kepada kepala daerah kabupaten/kota yang mayoritas muslim agar meningkatkan upayanya mengatasi perbuatan maksiat dengan kembali pada ajaran al-Quran. Begitu pula Gubernur, tidak saja mengimbau memahami prosedur dan protap mewaspadai gempa secara fisik, tetapi juga melakukan aksi nyata untuk menghentikan maksiat di daerah kekuasaannya.
Sebab tidak bisa ditolak, falsafah ABS-SBK hak paten milik masyarakat Sumatera Barat. Aplikasinya bukan tanggungjawab ulama dan kaum adat saja, tetapi harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan kesadaran seluruh komponen masyarakat.
Peran pemerintah dan aparat hukum sangat dibutuhkan, sebelum massa yang bergerak anarkis. Begitu pula masyarakat, sejatinya berperan aktif mendidik anak kemanakannya untuk menghindari perbuatan-perbuatan maksiat yang mengakibatkan bencana moral dan mengundang bencana alam itu.
Tegasnya, pemerintah diharapkan tidak saja menyeru kebaikan (amar ma’ruf), tapi juga berperan besar dalam menindak kemaksiatan (nahi munkar).
Karena itu, cara yang paling efektif untuk mendidik masyarakat agar berpedoman kepada Alquran adalah melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan yang Qur’ani sesungguhnya bisa “diintervensi” oleh pemerintah.
Terbukti, pemerintah Sumatera Barat sesungguhnya telah melahirkan kebijakan Pendidikan Alquran sebagai Mata Pelajaran Muatan Lokal. Sayang, tidak semua sekolah yang warganya mayoritas muslim itu bersedia menerapkannya.
Pemerintah propinsi selalu beralasan penerapan pendidikan Alquran sepenuhnya hak sekolah-sekolah di bawah pemerintah kabupaten/kota. Sementara pemerintah kabupaten/kota masih ada yang tidak mau tahu. Begitu pula sekolah-sekolah selalu beralasan belum ada instruksi dari atasan. Atau jangan-jangan masih ada kepala daerah dan kepala sekolah yang tidak mengetahui jika ada program pendidikan Alquran sebagai muatan lokal yang seharusnya didukung penuh olehnya?
Tentu, pendidikan Alquran bukan satu-satunya solusi. Tetapi sekolah sejatinya menjadi alat dan media untuk mendidik dan mempersiapkan peserta didik yang berkarakter Qur’ani, komitmen menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Jika itu terjadi, maka terwujudlah masyarakat yang beriman dan bertakwa, jauh dari ancaman azab dan bencana (Qs. al-A’raf/7: 96). Wallahu a’lam!
MUHAMMAD KOSIM
harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar