Jakarta Mantan anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution punya kesan tersendiri pada Presiden SBY selama bertugas menjadi 'penasihat'. Sejak bertugas dari 2007 hingga 2009, Buyung menilai SBY memiliki kepemimpinan yang unik.
Soal kepemimpinan yang unik itu dikupas Buyung dalam bukunya 'Nasihat untuk SBY' yang diterbitkan PT Kompas Media Nusantara. Pada Bab 6, Buyung menuliskan pengalamannya bagaimana berkomunikasi dengan SBY. Buku itu terdiri atas 310 halaman dan 20 bab.
Seperti dikutip detikcom, Sabtu (26/5/2012) Buyung bertutur, sebagai lembaga penasihat presiden, tidak ada forum komunikasi rutin dengan SBY, semisal 3 bulan sekali. Demikian juga masukan dari Wantimpres yang dikirimkan tidak pernah jelas bagaimana responsnya.
Hingga kemudian, Buyung memutar akal, bagaimana caranya bisa bertemu presiden. Di bukunya itu dia pun menulis harus bergerilya bertemu presiden. Mulai dari mendekati Hatta Rajasa yang saat itu menjadi Mensesneg hingga lewat Sudi Silalahi yang menjadi Seskab. Atau juga melalui Sekpri presiden saat itu Ediwan Prabowo.
Yang cukup menarik saat Buyung bertutur bagaimana dia memberi pertimbangan kepada Presiden SBY mengenai anugerah pahlawan bagi Soeharto. Saat itu kondisinya penguasa era orde baru itu baru saja meninggal dunia. Timbul polemik di masyarakat soal gelar pahlawan.
Nah, salah satu cara Buyung memberi nasihat adalah dengan melalui SMS, hal ini dilakukan agar lebih cepat. Buyung memberi saran bahwa Soeharto tidak bisa diangkat menjadi pahlawan nasional karena disebutkan penguasa orde baru itu orang yang melegitimasi merajalelanya korupsi.
Buyung juga menilai Soeharto diduga kuat terlibat dalam pembunuhan massal masa G 30/S PKI. Sedang untuk memberikan penghormatan melalui upacara kenegaraan secara militer. Hal itu tidak ada salahnya dilakukan. Buyung mengirimkan SMS itu kepada Edirwan untuk disampaikan ke presiden.
"Ternyata pendapat dan nasihat saya itu didengar oleh presiden yang tidak memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto," jelasnya.
Kemudian nasihat lainnya soal laporan yang dilakukan SBY ke Polda Metro Jaya. Saat itu SBY melaporkan seseorang yang menuduhnya sudah menikah sebelum masuk AKABRI. Dalam bukunya di halaman 83, Buyung menulis dalam rapat yang digelar di luar kota, dia berbicara ke presiden soal tindakan pelaporannnya itu.
Sebelumnya, Buyung menulis, kalau rapat di luar kota sangat mengherankan karena tidak efektif dan buang waktu serta tenaga. Kemudian, dalam rapat hanya terjadi dialog satu arah, tidak ada tanya jawab.
Karena itu dalam rapat, ketika SBY selesai berbicara di akhir rapat, Buyung mengacungkan tangan dan menyampaikan uneg-unegnya. Utamanya soal tindakan SBY yang tidak berkomunikasi dengan Dewan Pertimbangan Presiden saat melapor ke polisi.
"Saya menyatakan penyesalan, tidak setuju kenapa presiden dalam posisi sebagai presiden pergi melapor ke Polda mengenai delik penghinaan terhadap presiden. Sebetulnya tidak perlu presiden sendiri yang datang. Banyak cara, there are many ways to Rome. Sangat saya sesalkan hal itu. Kenapa presiden tidak menelepon saya, bertanya kepada saya, bagaimana cara yang baik untuk menghadapinya," jelas Buyung dalam sarannya kepada presiden.
Buyung menulis, saat mendengar uneg-unegnya itu presiden diam. Buyung juga melanjutkan kalau presiden bisa menghubungi dia untuk meminta saran melalui Hatta atau Sudi. Tidak lama selesai Buyung berbicara, presiden pun memberi jawaban.
Buyung menyampaikan, SBY melakukan tindakan itu tanpa konsultasi karena sedang mentally down. Tudingan itu menjatuhkan nama baik dan kehormatan SBY. Karenanya keputusan diambil cepat, presiden pun mengaku salah dan meminta maaf.
"Presiden cukup sportif dan gentleman mendengar kritik saya dan mengakui kesalahannya," jelas Buyung.
Kejadian unik yang lain adalah ketika dia diminta Presiden SBY memberi penjelasan soal Pilkada Sulsel. Saat itu Wapres Jusuf Kalla mendukung incumbent yang kalah di Pilkada. Hingga akhirnya, dia memberi penjelasan kepada Jusuf Kalla, bahwa pilkada digelar dengan sah dan valid.
Buyung juga menulis soal kritik orang yang menilai presiden lamban, ragu, dan tidak berani mengambil keputusan tegas. Mengenal lebih dekat, presiden memang bukan tipe pemimpin yang mengambil keputusan cepat dan tangkas dalam mengambil keputusan. Tapi, bukan berarti SBY tidak mampu mengambil sikap dan keputusan.
"Saya tahu persis bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau mendengar alias terbuka pikirannya, tapi perlu argumentasi yang kuat dan cukup waktu baginya untuk mengambil keputusan," jelas Buyung.
Soal kepemimpinan yang unik itu dikupas Buyung dalam bukunya 'Nasihat untuk SBY' yang diterbitkan PT Kompas Media Nusantara. Pada Bab 6, Buyung menuliskan pengalamannya bagaimana berkomunikasi dengan SBY. Buku itu terdiri atas 310 halaman dan 20 bab.
Seperti dikutip detikcom, Sabtu (26/5/2012) Buyung bertutur, sebagai lembaga penasihat presiden, tidak ada forum komunikasi rutin dengan SBY, semisal 3 bulan sekali. Demikian juga masukan dari Wantimpres yang dikirimkan tidak pernah jelas bagaimana responsnya.
Hingga kemudian, Buyung memutar akal, bagaimana caranya bisa bertemu presiden. Di bukunya itu dia pun menulis harus bergerilya bertemu presiden. Mulai dari mendekati Hatta Rajasa yang saat itu menjadi Mensesneg hingga lewat Sudi Silalahi yang menjadi Seskab. Atau juga melalui Sekpri presiden saat itu Ediwan Prabowo.
Yang cukup menarik saat Buyung bertutur bagaimana dia memberi pertimbangan kepada Presiden SBY mengenai anugerah pahlawan bagi Soeharto. Saat itu kondisinya penguasa era orde baru itu baru saja meninggal dunia. Timbul polemik di masyarakat soal gelar pahlawan.
Nah, salah satu cara Buyung memberi nasihat adalah dengan melalui SMS, hal ini dilakukan agar lebih cepat. Buyung memberi saran bahwa Soeharto tidak bisa diangkat menjadi pahlawan nasional karena disebutkan penguasa orde baru itu orang yang melegitimasi merajalelanya korupsi.
Buyung juga menilai Soeharto diduga kuat terlibat dalam pembunuhan massal masa G 30/S PKI. Sedang untuk memberikan penghormatan melalui upacara kenegaraan secara militer. Hal itu tidak ada salahnya dilakukan. Buyung mengirimkan SMS itu kepada Edirwan untuk disampaikan ke presiden.
"Ternyata pendapat dan nasihat saya itu didengar oleh presiden yang tidak memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto," jelasnya.
Kemudian nasihat lainnya soal laporan yang dilakukan SBY ke Polda Metro Jaya. Saat itu SBY melaporkan seseorang yang menuduhnya sudah menikah sebelum masuk AKABRI. Dalam bukunya di halaman 83, Buyung menulis dalam rapat yang digelar di luar kota, dia berbicara ke presiden soal tindakan pelaporannnya itu.
Sebelumnya, Buyung menulis, kalau rapat di luar kota sangat mengherankan karena tidak efektif dan buang waktu serta tenaga. Kemudian, dalam rapat hanya terjadi dialog satu arah, tidak ada tanya jawab.
Karena itu dalam rapat, ketika SBY selesai berbicara di akhir rapat, Buyung mengacungkan tangan dan menyampaikan uneg-unegnya. Utamanya soal tindakan SBY yang tidak berkomunikasi dengan Dewan Pertimbangan Presiden saat melapor ke polisi.
"Saya menyatakan penyesalan, tidak setuju kenapa presiden dalam posisi sebagai presiden pergi melapor ke Polda mengenai delik penghinaan terhadap presiden. Sebetulnya tidak perlu presiden sendiri yang datang. Banyak cara, there are many ways to Rome. Sangat saya sesalkan hal itu. Kenapa presiden tidak menelepon saya, bertanya kepada saya, bagaimana cara yang baik untuk menghadapinya," jelas Buyung dalam sarannya kepada presiden.
Buyung menulis, saat mendengar uneg-unegnya itu presiden diam. Buyung juga melanjutkan kalau presiden bisa menghubungi dia untuk meminta saran melalui Hatta atau Sudi. Tidak lama selesai Buyung berbicara, presiden pun memberi jawaban.
Buyung menyampaikan, SBY melakukan tindakan itu tanpa konsultasi karena sedang mentally down. Tudingan itu menjatuhkan nama baik dan kehormatan SBY. Karenanya keputusan diambil cepat, presiden pun mengaku salah dan meminta maaf.
"Presiden cukup sportif dan gentleman mendengar kritik saya dan mengakui kesalahannya," jelas Buyung.
Kejadian unik yang lain adalah ketika dia diminta Presiden SBY memberi penjelasan soal Pilkada Sulsel. Saat itu Wapres Jusuf Kalla mendukung incumbent yang kalah di Pilkada. Hingga akhirnya, dia memberi penjelasan kepada Jusuf Kalla, bahwa pilkada digelar dengan sah dan valid.
Buyung juga menulis soal kritik orang yang menilai presiden lamban, ragu, dan tidak berani mengambil keputusan tegas. Mengenal lebih dekat, presiden memang bukan tipe pemimpin yang mengambil keputusan cepat dan tangkas dalam mengambil keputusan. Tapi, bukan berarti SBY tidak mampu mengambil sikap dan keputusan.
"Saya tahu persis bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau mendengar alias terbuka pikirannya, tapi perlu argumentasi yang kuat dan cukup waktu baginya untuk mengambil keputusan," jelas Buyung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar