Banjir bandang melanda Kamboja. Sekitar 18 kilometer dari Pnom Penh, umat Islam Kamboja berjibaku melewati banjir untuk sekadar shalat di sebuah masjid yang dikelilingi air.
Sama seperti komunitas Muslim Vietnam umumnya, populasi Champa juga tidak diketahui secara pasti. Timothy L Gall dalam Worldmark Encyclopedia of Cultre & Daily Life memperkirakan tahun 1910 hanya ada 45 ribu etnis Champa di Vietnam dan Kamboja. Jumlah ini, masih menurut Gall, meningkat tajam mendekati 1 juta pada tahun 1970.
Lima tahun kemudian, setelah komunis memenangkan Perang Indochina II dan dan Pol Pot merebut kekuasaan dari tangan Presiden Lon Nol, hanya ada 200 ribu dan 150 ribu orang Champa di Vietnam dan Kamboja. Jumlah ini terus menyusut. Di Vietnam, politik isolasi rejim komunis menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran orang-orang Champa dan Muslim Vietnam yang tinggal di Ho Chi Minh City dan desa-desa sekitarnya, ke Kanada, AS, Australia, dan negara-negara Eropa.
Di Kamboja, mesin pembunuh Pol Pot melenyapkan hampir 90 ribu etnis Champa yang bermukim di propinsi Kompong Cham (Kampung Champa - red), dan Kompong Chnang, serta memaksa puluhan ribu lainnya melarikan diri lewat laut. Tidak heran jika Hinduism Today Internasional edisi Februari 1996 memperkirakan hanya ada 16 ribu etnis Champa di Vietnam. Laporan ini juga menyebutkan tidak seluruh etnis Champa memeluk Islam. Sebagian masih menyembah Dewa Siva dan Parvati.
Terlepas dari angka-angka di atas, komunitas Champa dan Muslim Vietnam relatif berhasil mempertahankan eksistensi sistem kepercayaannya selama sekian ratus tahun. Memang ada masa-masa sebagian dari mereka terabsorbsi ke dalam sekte-sekte agama Budha yang bermunculan dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Atau, kembali menjadi pengikut animis, terpengaruh Konfusianisme, Taoisme, atau Hindu.
Misal, sampai tahun 1950 orang-orang Champa di sejumlah desa di propinsi Nha Trang, Phan Rang, Phan Ri, dan Phan Thit -- setelah sekian ratus tahun terisolasi dengan dunia luar dan gagal berhubungan dengan saudara-saudara mereka yang bermigrasi ke Kamboja, Thailand, dan Malaysia -- mempraktekan Islam bercampur ritual Budha, Hindu, dan Ba La Mon.
Perubahan baru terjadi tahun 1959. Saat itu orang-orang Champa dan Muslim Vietnam yang tinggal di Ho Chi Minh, desa Chao Doc -- satu dari 13 desa Muslim di Vietnam Selatan -- dan Kamboja menjalin kontak dengan mereka. Dimulai dari sekedar saling melepas rindu dan berdialog dengan bahasa nenek moyang mereka. Sampai akhirnya terjadi dialog keagamaan yang intensif.
Hasilnya, di pertengahan 1959 terjadi pengiriman besar-besaran para ulama ke propinsi Nha Trang, Phan Rang, Phan Ri, dan Phan Thit. Selagi para ulama dan ustadz ini mengembalikan keislaman orang-orang Champa di desa-desa itu, Muslim di Saigon -- yang saat itu relatif menikmati kebebasan ala Barat pemerintahan Presiden Ngo Din Diem -- mengumpulkan dana untuk pembangunan masjid di Van Lam, An Nhin, dan Phi Nhin di Vietnam Tengah.
Tapi mengislamkan kembali orang-orang Champa yang sekian lama terisolasi ini tidaklah mudah. Terdapat sejumlah perlawanan, atau lebih tepatnya penolakan, dari para 'tetua' desa yang khawatir kehilangan pengaruh, akses ekonomi, dan saluran ke pemerintahan.
Sikap para 'tetua' desa ini bisa dipahami dengan terlebih dulu melihat sistem pemerintahan desa dalam konsep Konfusianisme. Desa, dalam konsep ini, merupakan 'small imperial court' yang kurang-lebih memiliki hak otonom. Di sini para tetua memainkan peran sebagai pengumpul pajak, pengontrol tanah-tanah kekayaan desa, dan bertindak sebagai pemuka agama.
Sama seperti desa-desa lain di Vietnam, masyarakat Champa yang terabsorbsi ke dalam ajaran Konfusianisme atau Hindu memiliki 'dewa' masing-masing di setiap desa. Apa yang mereka anggap dewa biasanya adalah tokoh pendiri desa yang telah mati, yang diyakini akan terus melindungi desa mereka.
Sama seperti umumnya Muslim di Asia Tenggara, Muslim Champa dan Vietnam adalah pengikut Sunni dari mazab Safi'i. Mereka relatif bisa mengadopsi tradisi pra-Islam, yang kemudian dikonversi dan diberi nafas keislaman. Sehingga, kultur mereka sama dengan saudara mereka di Jawa, Mindanao, Semenanjung Malaysia, Kamboja, dan Brunei.
Meski relatif bisa mempertahankan identitas etnis dan keislamannya, kondisi sosial-politik dan ekonomi orang Champa secara umum tetap tidak pernah berubah. Siddiq Osman Noormuhammad, dalam Muslim of Vietnam and Kampuchea, mengatakan secara materi mereka tetap miskin. Orang Champa di desa-desa, terutama di Vietnam Tengah, relatif gagal mengikuti dinamika kehidupan saudara mereka di Ho Chi Minh City, yang mampu mandiri dari segi ekonomi. Kalau pun ada madrasah di desa mereka, bukan dibangun atas dasar dana swadana, tapi bantuan dari saudara mereka yang jauh.
Secara politik -- sama seperti pengikut agama lainnya; Cao Dai, Hoa Hao, Budha Theravada, dan Katolik -- Muslim Vietnam terkooptasi. Pemerintah komunis menyita properti milik lembaga-lembaga keagamaan, dan menjalankan lembaganya. Pada saat-saat tertentu, rejim Hanoi juga merasa perlu mewaspadai anggota Hoa Hao dan Cao Dai yang relatif memiliki pengalaman berpolitik di era Vietnam Selatan. Serta Katolik, yang dianggap mewakili kepentingan Barat.
Hanoi memang tidak secara terang-terangan memusuhi Islam dan komunitas Muslim. Namun sejak 1975, atau setelah Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis, Muslim tidak bisa lagi menjalankan ibadah haji. Atau menjalin kontak dengan saudara mereka di negara-negara Asia Tenggara. Nasib yang relatif berbeda diperlihatkan orang-orang Champa yang tinggal di Kamboja. Mereka, orang Champa di Kompong Cham dan Kompong Chnang di Kamboja Tengah, mampu membangun organisasi antar-desa yang memungkinkan mereka tidak tercerai-berai.
Kecuali di masa rejim Pol Pot, etnis Champa di Kamboja selalu aktif berpolitik. Saat ini mereka menempat wakilnya di parlemen setelah Partai Sam Rainsy yang didukungnya meraih sejumlah kursi. Bahkan, pemerintahan PM Hun Sen juga menunjuk Achmad Yahya -- etnis Champa -- sebagai Menlu Kamboja saat ini.
Lima tahun kemudian, setelah komunis memenangkan Perang Indochina II dan dan Pol Pot merebut kekuasaan dari tangan Presiden Lon Nol, hanya ada 200 ribu dan 150 ribu orang Champa di Vietnam dan Kamboja. Jumlah ini terus menyusut. Di Vietnam, politik isolasi rejim komunis menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran orang-orang Champa dan Muslim Vietnam yang tinggal di Ho Chi Minh City dan desa-desa sekitarnya, ke Kanada, AS, Australia, dan negara-negara Eropa.
Di Kamboja, mesin pembunuh Pol Pot melenyapkan hampir 90 ribu etnis Champa yang bermukim di propinsi Kompong Cham (Kampung Champa - red), dan Kompong Chnang, serta memaksa puluhan ribu lainnya melarikan diri lewat laut. Tidak heran jika Hinduism Today Internasional edisi Februari 1996 memperkirakan hanya ada 16 ribu etnis Champa di Vietnam. Laporan ini juga menyebutkan tidak seluruh etnis Champa memeluk Islam. Sebagian masih menyembah Dewa Siva dan Parvati.
Terlepas dari angka-angka di atas, komunitas Champa dan Muslim Vietnam relatif berhasil mempertahankan eksistensi sistem kepercayaannya selama sekian ratus tahun. Memang ada masa-masa sebagian dari mereka terabsorbsi ke dalam sekte-sekte agama Budha yang bermunculan dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Atau, kembali menjadi pengikut animis, terpengaruh Konfusianisme, Taoisme, atau Hindu.
Misal, sampai tahun 1950 orang-orang Champa di sejumlah desa di propinsi Nha Trang, Phan Rang, Phan Ri, dan Phan Thit -- setelah sekian ratus tahun terisolasi dengan dunia luar dan gagal berhubungan dengan saudara-saudara mereka yang bermigrasi ke Kamboja, Thailand, dan Malaysia -- mempraktekan Islam bercampur ritual Budha, Hindu, dan Ba La Mon.
Perubahan baru terjadi tahun 1959. Saat itu orang-orang Champa dan Muslim Vietnam yang tinggal di Ho Chi Minh, desa Chao Doc -- satu dari 13 desa Muslim di Vietnam Selatan -- dan Kamboja menjalin kontak dengan mereka. Dimulai dari sekedar saling melepas rindu dan berdialog dengan bahasa nenek moyang mereka. Sampai akhirnya terjadi dialog keagamaan yang intensif.
Hasilnya, di pertengahan 1959 terjadi pengiriman besar-besaran para ulama ke propinsi Nha Trang, Phan Rang, Phan Ri, dan Phan Thit. Selagi para ulama dan ustadz ini mengembalikan keislaman orang-orang Champa di desa-desa itu, Muslim di Saigon -- yang saat itu relatif menikmati kebebasan ala Barat pemerintahan Presiden Ngo Din Diem -- mengumpulkan dana untuk pembangunan masjid di Van Lam, An Nhin, dan Phi Nhin di Vietnam Tengah.
Tapi mengislamkan kembali orang-orang Champa yang sekian lama terisolasi ini tidaklah mudah. Terdapat sejumlah perlawanan, atau lebih tepatnya penolakan, dari para 'tetua' desa yang khawatir kehilangan pengaruh, akses ekonomi, dan saluran ke pemerintahan.
Sikap para 'tetua' desa ini bisa dipahami dengan terlebih dulu melihat sistem pemerintahan desa dalam konsep Konfusianisme. Desa, dalam konsep ini, merupakan 'small imperial court' yang kurang-lebih memiliki hak otonom. Di sini para tetua memainkan peran sebagai pengumpul pajak, pengontrol tanah-tanah kekayaan desa, dan bertindak sebagai pemuka agama.
Sama seperti desa-desa lain di Vietnam, masyarakat Champa yang terabsorbsi ke dalam ajaran Konfusianisme atau Hindu memiliki 'dewa' masing-masing di setiap desa. Apa yang mereka anggap dewa biasanya adalah tokoh pendiri desa yang telah mati, yang diyakini akan terus melindungi desa mereka.
Sama seperti umumnya Muslim di Asia Tenggara, Muslim Champa dan Vietnam adalah pengikut Sunni dari mazab Safi'i. Mereka relatif bisa mengadopsi tradisi pra-Islam, yang kemudian dikonversi dan diberi nafas keislaman. Sehingga, kultur mereka sama dengan saudara mereka di Jawa, Mindanao, Semenanjung Malaysia, Kamboja, dan Brunei.
Meski relatif bisa mempertahankan identitas etnis dan keislamannya, kondisi sosial-politik dan ekonomi orang Champa secara umum tetap tidak pernah berubah. Siddiq Osman Noormuhammad, dalam Muslim of Vietnam and Kampuchea, mengatakan secara materi mereka tetap miskin. Orang Champa di desa-desa, terutama di Vietnam Tengah, relatif gagal mengikuti dinamika kehidupan saudara mereka di Ho Chi Minh City, yang mampu mandiri dari segi ekonomi. Kalau pun ada madrasah di desa mereka, bukan dibangun atas dasar dana swadana, tapi bantuan dari saudara mereka yang jauh.
Secara politik -- sama seperti pengikut agama lainnya; Cao Dai, Hoa Hao, Budha Theravada, dan Katolik -- Muslim Vietnam terkooptasi. Pemerintah komunis menyita properti milik lembaga-lembaga keagamaan, dan menjalankan lembaganya. Pada saat-saat tertentu, rejim Hanoi juga merasa perlu mewaspadai anggota Hoa Hao dan Cao Dai yang relatif memiliki pengalaman berpolitik di era Vietnam Selatan. Serta Katolik, yang dianggap mewakili kepentingan Barat.
Hanoi memang tidak secara terang-terangan memusuhi Islam dan komunitas Muslim. Namun sejak 1975, atau setelah Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis, Muslim tidak bisa lagi menjalankan ibadah haji. Atau menjalin kontak dengan saudara mereka di negara-negara Asia Tenggara. Nasib yang relatif berbeda diperlihatkan orang-orang Champa yang tinggal di Kamboja. Mereka, orang Champa di Kompong Cham dan Kompong Chnang di Kamboja Tengah, mampu membangun organisasi antar-desa yang memungkinkan mereka tidak tercerai-berai.
Kecuali di masa rejim Pol Pot, etnis Champa di Kamboja selalu aktif berpolitik. Saat ini mereka menempat wakilnya di parlemen setelah Partai Sam Rainsy yang didukungnya meraih sejumlah kursi. Bahkan, pemerintahan PM Hun Sen juga menunjuk Achmad Yahya -- etnis Champa -- sebagai Menlu Kamboja saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar