Keluarga Kesultanan menunjukan prototipe Lambang Burung Garuda. Ari/detikcom
Jakarta Siapa yang tidak mengenal lambang negara Indonesia Burung Garuda. Namun hanya sedikit yang tahu bahwa bentuk rupa awal (purwarupa/prototipe) burung Garuda bermula dari sebuah hasil karya seni kayu zaman Majapahit yang dihadiahkan kepada kerajaan Sintang, Kalimantan Barat 6 abad lampau.
Saat ini, prototipe itu masih tersimpan rapih di Istana Kesultanan Sintang. Hanya saja, kondisinya sudah memprihatinkan. Patung dari kayu jati diatas penyangga gong itu dibiarkan dimakan rayap. Sampai-sampai, separuh wajah burung garuda tersebut sudah hilang, lapuk dimakan usia tanpa usaha perawatan maksimal.
"Tidak ada biaya perawatan berarti untuk mengawetkan kayu yang sudah berabad-abad. Dari pemerintah tidak ada perhatian. Dari kami, kesultanan sudah tidak ada biaya sama sekali," kata Sultan Kesultanan Sintang, Kesuma Negara V Sri Negara Ikhsan Perdana kepada detikcom, Rabu pekan lalu.
Menurutnya, benda sangat bersejarah itu dibiarkan saja. Saat detikcom melihat langsung, debu tipis terlihat menyelimuti badan Garuda. Cat kuning mencolok masih terlihat sudah mulai mengelupas. Ia diletakkan diruangan lembab bersama seperangkat gamelan Logender, mas kawin Patih Logender Majapahit saat mempersunting putri Kerajaan Sintang, Dara Juanti. Tidak ada perawatan khusus seperti cairan kimia supaya kayu tersebut tetap awet.
"Sejak keluarga kesultanan dibantai Jepang, kesultanan vakum 65 tahun. Sekarang tidak ada lagi hak istimewa bagi kami. Sumber dana dipegang Pemkab Sintang untuk memelihara ini,“ ucap Sultan di istananya yang bila dibandingkan kesultanan Jogja, Solo atau Cirebon, sangatlah sederhana.
Dengan tetap antusias, Sultan Sintang menceritakan perjalanan prototipe lambang negara itu dari Majapahit di tanah Jawa hingga ke tepian sungai Kapuas, Sintang. Sultan menuturkan, setelah menjadi mas kawin untuk Dara Juanti, burung garuda dan gamelan mengisi hari-hari kesultanan.
Hingga saat masa perang kemerdekaan, Sultan Hamid II menunjukan karya seni itu kepada Bung Karno yang sedang berfikir apakah lambang negara yang tepat untuk Indonesia. Bung Karno pun langsung tergerak dan membuat sketsa lambang negara burung garuda seperti yang kita kenal.
"Jadi ini dari Jawa untuk Jawa, hahaha," seloroh Sultan.
Sultan menambahkan, upaya yang dilakukan masih sebatas membuat replika patung perunggu. Replika itu diletakan tidak jauh dari seni kayu aslinya.
"Ini yang sulit dimengerti. Bendera pusaka yang pertama dikibarkan dirawat keasliannya. Tetapi lambang garuda tidak diperhatikan,"tukasnya.
Kesultanan Sintang berada di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Pada masa jayanya, wilayah kekuasaan kerajaan sampai ke Serawak Malaysia saat ini. Sekarang kondisinya sangat memprihatinkan, bila dibandingkan tetangga perbatasan Serawak.
Untuk mencapai keraton ini, diperlukan jalan darat 10 jam dari Pontianak untuk jarak 400 Km. Jalan rusak membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Sementara jalan air melalui Sungai Kapuas sudah tidak diperhatikan pemerintah sehingga banyak speedboat yang tutup operasi. Bila mengunakan pesawat kecil dari Pontianak, hanya memerlukan waktu 45 menit dengan tarif tiket kisaran Rp 600 ribu.
Saat ini, prototipe itu masih tersimpan rapih di Istana Kesultanan Sintang. Hanya saja, kondisinya sudah memprihatinkan. Patung dari kayu jati diatas penyangga gong itu dibiarkan dimakan rayap. Sampai-sampai, separuh wajah burung garuda tersebut sudah hilang, lapuk dimakan usia tanpa usaha perawatan maksimal.
"Tidak ada biaya perawatan berarti untuk mengawetkan kayu yang sudah berabad-abad. Dari pemerintah tidak ada perhatian. Dari kami, kesultanan sudah tidak ada biaya sama sekali," kata Sultan Kesultanan Sintang, Kesuma Negara V Sri Negara Ikhsan Perdana kepada detikcom, Rabu pekan lalu.
Menurutnya, benda sangat bersejarah itu dibiarkan saja. Saat detikcom melihat langsung, debu tipis terlihat menyelimuti badan Garuda. Cat kuning mencolok masih terlihat sudah mulai mengelupas. Ia diletakkan diruangan lembab bersama seperangkat gamelan Logender, mas kawin Patih Logender Majapahit saat mempersunting putri Kerajaan Sintang, Dara Juanti. Tidak ada perawatan khusus seperti cairan kimia supaya kayu tersebut tetap awet.
"Sejak keluarga kesultanan dibantai Jepang, kesultanan vakum 65 tahun. Sekarang tidak ada lagi hak istimewa bagi kami. Sumber dana dipegang Pemkab Sintang untuk memelihara ini,“ ucap Sultan di istananya yang bila dibandingkan kesultanan Jogja, Solo atau Cirebon, sangatlah sederhana.
Dengan tetap antusias, Sultan Sintang menceritakan perjalanan prototipe lambang negara itu dari Majapahit di tanah Jawa hingga ke tepian sungai Kapuas, Sintang. Sultan menuturkan, setelah menjadi mas kawin untuk Dara Juanti, burung garuda dan gamelan mengisi hari-hari kesultanan.
Hingga saat masa perang kemerdekaan, Sultan Hamid II menunjukan karya seni itu kepada Bung Karno yang sedang berfikir apakah lambang negara yang tepat untuk Indonesia. Bung Karno pun langsung tergerak dan membuat sketsa lambang negara burung garuda seperti yang kita kenal.
"Jadi ini dari Jawa untuk Jawa, hahaha," seloroh Sultan.
Sultan menambahkan, upaya yang dilakukan masih sebatas membuat replika patung perunggu. Replika itu diletakan tidak jauh dari seni kayu aslinya.
"Ini yang sulit dimengerti. Bendera pusaka yang pertama dikibarkan dirawat keasliannya. Tetapi lambang garuda tidak diperhatikan,"tukasnya.
Kesultanan Sintang berada di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Pada masa jayanya, wilayah kekuasaan kerajaan sampai ke Serawak Malaysia saat ini. Sekarang kondisinya sangat memprihatinkan, bila dibandingkan tetangga perbatasan Serawak.
Untuk mencapai keraton ini, diperlukan jalan darat 10 jam dari Pontianak untuk jarak 400 Km. Jalan rusak membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Sementara jalan air melalui Sungai Kapuas sudah tidak diperhatikan pemerintah sehingga banyak speedboat yang tutup operasi. Bila mengunakan pesawat kecil dari Pontianak, hanya memerlukan waktu 45 menit dengan tarif tiket kisaran Rp 600 ribu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar