Oleh : Arjuna Nusantara
(Pemimpin Redaksi Tabloid Mahasiswa Suara Kampus)
Pekan Budaya Sumbar yang digelar tiap tahun perlu dikaji ulang. Karena tak ada hasilnya. Dilihat dari tahun ke tahun, budaya malah semakin terkikis. Dalam acara ini, berbagai pihak -tokoh adat; pemerintahan; dan orang yang mengaku budayawan- mengeluhkan dan berkata (pura-pura) prihatin melihat generasi muda sekarang yang semakin jauh dari budaya Minang.
Banyak kasus generasi muda melanggar norma-norma adat. Menurut penulis, bukan generasi muda yang salah. Tapi yang tua-tualah yang patut disalahkan. Termasuk pemerintah, lembaga adat dan pemangku adat di nagari masing-masing. Seorang anak yang dibesarkan di hutan, maka dia akan bersikap layaknya binatang yang membesarkannya. Seorang anak yang dibesarkan dengan kekerasan, maka dia akan menjadi seorang yang kasar. Seorang anak Minang yang dibesarkan dalam masyarakat yang tidak paham budaya, maka pantas dia mengadopsi budaya yang didapatkannya dari dunia luar.
Seperti pepatah, buah jatuh tidak akan jauh dari batangnya. Anak perempuan calon “bundo kanduang, limpapeh rumah gadang” berpakaian setengah jadi, duduk “mangangkang”, dan keluyuran tengah malam dengan laki-laki, tidak akan terjadi jika, dia paham dengan etika dan norma. Selain itu, prilaku yang dianggap menyimpang itu juga didukung kurangnya pengawasan orang tua. Orang tua lalai juga karena tidak paham dengan budayanya sendiri.
Inti permasalahannya bukan pada generasi sekarang, tetapi pada generasi sebelumnya. Salah satu jalan adalah memperbaiki kurikulum pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) di sekolah. Perlu pembinaan sedari dini untuk generasi baru melalui pendidikan formal. Bukan dengan mengadakan pekan budaya, lalu berkeluh kesah di sana dengan ungkapan-ungkapan prihatin. Kemudian menggelar lomba-lomba kesenian.
Para pemimpin, pejabat, berhentilah bermulut manis, sok prihatin, tapi tak berbuat. Penulis sendiri merasa kecewa dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Keberadaannya tidak terasa. Penulis (mungkin pembaca juga) tidak pernah mendengar usaha LKAAM dalam melestarikan dan mempertahan budaya Minangkabau yang luar biasa. Buktinya, semakin hari budaya semakin tergusur. Kalau hanya akan menghabiskan uang saja lebih baik bubar. Bagaimana akan membina masyarakat Minang secara keseluruhan, pejabat LKAAM membina “sanak-kamanakan” nya saja tidak becus. Tidak penting juga kita bahas bagaimana kaumnya masing-masing. Tapi yang penting adalah bagaimana tanggungjawabnya terhadap amanah yang diberikan untuk menjalankan fungsi LKAAM. Apa yang telah dilakukan untuk masyarakat.
Sekarang, LKAAM sibuk memperjuangkan sestim kenagarian. Berusaha meyakinkan pemerintah pusat untuk tidak menetapkan RUU Desa. Sementara, di Sumbar saja, masih ada daerah yang masih memakai sistem desa meski kenagarian sudah diberlakukan. Seperti pepatah, “semut di seberang laut kelihatan, gajah di pelupuk mata tak kelihatan”. Artinya, pejabat LKAAM hanya ingin mencari muka. LKAAM berharap dipandang sebagai pejuang, pahlawan penegak sistem kenagarian. Kalau memang benar-benar ingin, mulailah dulu dari sini. Mengapa sistem kelurahan masih dipakai di kota-kota yang ada di Sumbar. mengapa sistem desa masih dipakai di Pariaman?
Kasus di atas hanya sedikit contoh ketidak-seriusan LKAAM dalam menjalankan perannya selaku lembaga adat tertinggi di Sumatera Barat. Tidak pernah berbuat, tapi mengeluh dan menyalahkan generasi muda. Menyalahkan generasi muda yang suka keluar malam, menyalahkan generasi muda yang tidak mengerti dengan budaya.
Sekarang, pemerintah menggantungkan harapan melalui pekan budaya. Perlu disadari, budaya itu bukan randai saja, bukan rabab, bukan tari, bukan cerdas cermat, dan bukan petatah petitih. Budaya itu cara hidup bermasyarakat. Cara bersikap dalam pergaulan. Adat basyandi syara’ berarti bagaimana tingkah kita sesuai dengan ajaran agama. Syara’ basandi kitabullah, berarti ajaran agama yang sesuai dengan al-quran. Tak seharusnya ada masyarakat Minangkabau yang menjadi pengemis, karena dalam minangkabau ada harta pusaka. Guna harta pusaka untuk kaum. Untuk kelangsungan hidup “sanak-kamanakan”.
Randai, rabab, tari kreasi, petatah-petitih, itu semua hanya kesenian. Tidak ada hubungannya dengan kelancaran hidup bermasyarakat. Tidak ada randaipun orang juga bisa hidup damai. Rabab pun tak bisa membantu permasalahan tanah ulayat.
Pemerintah terjebak dengan kesenian. Menganggap budaya itu adalah tari-tarian, lalu mengadakan lomba menghabiskan dana besar-besaran. Sebenarnya yang terpenting itu bagaimana hendaknya generasi muda meng-aplikasikan adat “basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” dalam kehidupannya sehari-hari. Pemuda yang tak bisa main randai, bukan berarti tidak berbudaya. Masyarakat yang tidak suka mendengar rabab bukan berarti menjauhkan budaya.
Pekan budaya pun dilaksanakan asal jadi saja. Maksudnya, beberapa kabupaten mengirim utusan tidak dengan cara menseleksi yang ada di daerahnya. Hanya menunjuk orang-orang terdekat saja. Seharusnya, sebelum diadakan di tingkat provinsi, diadakan dulu di tingkat Kabupaten/kota. Sehingga seluruh masyarakat tahu dan ikut merasakannya.
Terlepas dari kasus-kasus di atas, masih ada harapan untuk memperbaiki keadaan. Salah satu jalan dengan memperdalam pendidikan budaya sedari dini di sekolah. Tidak hanya Sekolah Dasar (SD), tapi sampai ke bangku kuliah. Andai mereka menjadi pemimpin suku, mengerti apa yang harus dilakukan. Sekurang-kurangnya mereka punya modal untuk membina kemenakannya. Sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang sesuai dengan falsafah Minang. Setelah itu, mari kita pikirkan keberadaan LKAAM, masih dibutuhkan atau dibubarkan saja. Yang terpenting, pekan budaya 2012 harus jadi pekan budaya terakhir.(*)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar