"Survei mahasiswa STEKPI mengindikasikan dukungan terhadap pasangan Fauzi Bowo-Nara relatif stabil dari hasil survey putaran I dan II (dalam kisaran 39%), namun pasangan Joko Widodo-Basuki memiliki tren yang terus meningkat (dari 20,7% menjadi 43,4%)," bunyi survei STEKPI dalam rilis yang diterima detikcom, Sabtu (15/9/2012). Survei dilakukan pada 8 – 10 September 2012 oleh mahasiswa STEKPI tingkat akhir.
Survei itu juga menyebut fenomena kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama menguntungkan pasangan yang diusung PDIP dan Gerindra ini di putaran kedua. Masyarakat cenderung memilih pasangan yang dinilai akan menang, karena ikutan dengan trend dan momentum massa untuk merasakan ‘eforia kemenangan’.
"Efek ikutan, di Indonesia dinilai cukup tinggi. Kondisi ini makin mengkristal karena pasangan calon ini sedang mesra dan memperoleh dukungan luas dari media massa," papar rilis tersebut.
Hasil antar survei untuk pasangan Foke-Nara yang relatif stabil mengindikasikan mesin partai politik pendukungnya belum bekerja secara optimal. Namun jika mempertimbangkan hasil Pilkada Putaran I mengindikasikan pasangan ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
"Nampaknya, Tim Suksesnya telah bekerja keras pasca Pilkada Putaran I, sehingga dapat mempertahankan pendukung utamanya kelompok ibu rumah tangga dengan usia di atas 35 tahun dan masyarakat dengan penghasilan rendah (di bawah Rp 2 juta per bulan)," sebut rilis itu.
Meski begitu pemilih Jakarta masih sangat ‘cair’, sehingga kedua pasangan kandidat memiliki peluang untuk menang, meskipun pasangan Jokowi-Ahok masih diunggulkan oleh masyarakat. Fenomena cairnya pemilih Jakarta didasarkan pada argumentasi hasil survei yang dilakukan oleh mahasiswa STEKPI dengan metode yang sama tapi pilihan waktu dan sampel yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang berbeda, sehingga survei tidak dapat dijadikan acuan yang bersifat mutlak.
"Besarnya suara yang belum menentukan pilihan dalam kisaran 19 – 20%, sehingga calon yang dapat merebut suara mengambang akan dapat menjadi pemenang, dan dinamika masa kampanye dan masa tenang dinilai akan banyak mengubah pilihan suara pemilih," jelas rilis itu.
Masyarakat Jakarta adalah masyarakat yang cerdas dalam melakukan pertimbangan untuk memilih calon Gubernur/Wakil Gubernur, yang diindikasikan oleh: tidak terpengaruh oleh pertimbangan SARA, keterkaitan dengan pilihan Partai Politik dan pilihan calon Presiden (tokoh nasional), tapi pertimbangan didasarkan pada karakter dan kompetensi figur Calon (sebagian besar responden menyatakan memilih karena visi dan program calon, serta dinilai dapat merepresentasikan rakyat).
"Sayangnya, pola sosialisasi/kampanye yang dilakukan oleh Tim Sukses (dan media massa) dinilai belum mencerdaskan masyarakat sebagai pemilih yang cerdas, karena sering isu yang diangkat berkaitan dengan urusan baju kotak-kotak atau baju putih, isu SARA dan sejensinya. Pemilih cerdas adalah pemilih yang asertif dan dapat: menilai karakter dan kompetensi calon, mempersuasi calon untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat dalam program kerjanya, dan mampu menagih program dan janji kampanye calon secara efektif, misalnya melalui ‘kontrak politik’," ungkap rilis itu.
"Pilihan strategi Tim Sukses Calon dipengaruhi oleh masa kampanye yang sangat pendek (catatan: sistem Pemilu yang ada cenderung tidak
mendukung model kampanye dialogis yang mencerdaskan pemilih), yang menyulitkan masyarakat mendalami karakter dan kompetensi calon secara memadai, sehingga ‘kampanye by rumor’ menjadi pilihan ampuh, seperti: Koalisi Elit vs Koalilis Rakyat, Gajah vs Semut, SARA, Kebakaran," lanjutnya.
Sementara pada 12 September 2012 survei dilakukan oleh mahasiswa program Diploma 3 Angkatan 2011 dan 2012. Survei tersebut mengindikasikan pasangan Foke-Nara unggul di 23 kecamatan (Jokowi di 13 kecamatan dan 6 kecamatan cenderung responden menyatakan belum menentukan pilihan), yang berbeda dengan hasil survei dari beberapa lembaga lainnya yang mengunggulkan pasangan Jokowi– Ahok. Fenomena ini disebabkan survei dilakukan pada hari kerja 12 September 2012, sehingga respondennya sebagian besar adalah ibu rumah tangga dan masyarakat pekerja mandiri dengan penghasilan rendah, yang menjadi pendukung utama pasangan Fauzi Bowo-Nara.
"Hal ini memperkuat hipotesis, jika Pilkada dilakukan pada hari kerja kemungkinan besar pasangan Fauzi Bowo-Nara akan unggul; karena pendukung utama kelompok Joko Widodo adalah kelompok menengah dan pemilih pemula yang umumnya bekerja atau sekolah/ kuliah," tulis rilis tersebut.
Survei mahasiswa program Diploma-3 dirancang dengan marjin kesalahan 5% pada tingkat propinsi dan marjin kesalahan dalam kisaran 6 – 8% pada tataran wilayah. Penetapan sampel dilakukan dengan metode multi stage random sampling pada 42 kecamatan dan 81 kelurahan (di
luar wilayah Kepeulauan Seribu).
Responden menyatakan pihak yang paling banyak mempengaruhi pilihannya adalah lingkungan keluarga (suami/ istri/ anak/ saudara) dan media massa. Responden umumnya menyatakan media kampanye yang banyak mempengaruhi pilihan adalah program debat dan iklan di TV (39,3%), talkshow di TV (24,6%), banner dan baliho (6,1%) dan publikasi calon (5%). Pada dua media kampanye di TV justru responden menilai pasangan Jokowi–Basuki yang lebih unggul, padahal pasangan ini mempersepsikan diri minimal dana kampanye. Ini salah satu bentuk strategi yang cerdas dari Tim Kampanye Joko Widodo. Jika Pasangan Foke–Nara dapat mengoptimalkan debat kandidat dan iklan di TV pada masa kampanye ini untuk mengubah preferensi pilihan pemilih rasional.
Pilihan partai politik responden tidak menjadi pertimbangan utama bagi pemilih calon Gubernur, karena pendukung PDIP dan Gerindra ternyata cukup banyak yang memilih Fauzi Bowo-Nara, dan sebaliknya pendukung Demokrat, PKS, PAN dan partai pendukung lainnya ternyata cukup banyak yang memilih Joko Widodo. Fenomena yang sama ditemukan untuk pilihan calon Presiden 2014. Calon presiden yang paling favorit adalah Prabowo Subianto (14,7%), diikuti oleh Aburizal Bakri (9,3%), Megawati (5,2%), Yusuf Kalla (3,4%), Dahlan Iskan (3,4%) dan lain-lain.
Survei mengindikasikan politik uang atau ‘permainan uang’ dalam bentuk pemberian uang, barang (sembako murah, krudung, kaos, jilbab, dll)) dan jasa (pengobatan gratis, wisata gratis, dll) dilakukan oleh pasangan calon, baik di putaran pertama maupun putaran kedua. Responden meyakini bahwa menjelang tanggal pemilihan, tingkat permainan uang akan makin marak.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar