Ilustrasi
Oleh: Syahruddin El-Fikri
Siang itu, di salah satu sudut Kota Madinah, sejumlah anak sedang asyik bermain. Semuanya mengenakan pakaian baru dan sangat gembira. Hari itu bertepatan dengan Idul Fitri. Di belakangnya, seorang anak tampak bersedih.
Siang itu, di salah satu sudut Kota Madinah, sejumlah anak sedang asyik bermain. Semuanya mengenakan pakaian baru dan sangat gembira. Hari itu bertepatan dengan Idul Fitri. Di belakangnya, seorang anak tampak bersedih.
Seorang lelaki dengan penuh saksama memerhatikan mereka, tak terkecuali anak yang bersedih itu. Lelaki ini pun mendekatinya, kemudian bertanya, “Wahai ananda, mengapa engkau tak bermain seperti teman-temanmu yang lainnya?”
Dengan berurai air mata, ia menjawab, “Wahai tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru, dan saya tak punya siapa-siapa untuk membeli pakaian baru.”
Lelaki ini kembali bertanya, “Kemanakah orang tuamu?” Anak kecil ini menuturkan ayahnya telah syahid karena ikut berperang bersama Rasulullah. Sedangkan ibunya menikah lagi, sedangkan semua harta ayahnya dibawa serta, dan ayah tirinya telah mengusirnya dari rumah.
Lelaki ini pun kemudian memeluk dan membelainya. “Wahai ananda, mau engkau kalau saya menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah jadi saudarimu?”
Anak kecil itu pun tampak sangat gembira. Lelaki itu lalu membawa anak itu ke rumahnya, dan memberikan pakaian yang layak untuknya.
Beberapa saat kemudian, anak itu kembali menemui teman-temannya. Ia tampak sangat bahagia dengan pakaian yang lebih baru. Menyaksikan hal itu, teman-teman sebaya heran dan bertanya-tanya. “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi sekarang aku bahagia, karena Rasulullah SAW menjadi ayahku. Aisyah ibuku, Ali adalah pamanku dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia,” ujarnya.
Setelah mendengarkan perubahan itu, giliran teman-temannya yang bersedih. Mereka iri dengan anak itu, karena kini lelaki yang membawanya telah menjadi orang tua asuhnya yang tak lain adalah Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah SAW wafat, anak itu kembali menangis dan bersimpuh di atas pusara Rasul SAW dengan berlinang air mata. “Ya Allah, hari ini aku menjadi yatim yang sebenarnya. Ayahku yang sangat mencintaiku sudah tiada. Apakah aku harus hidup sebatangkara lagi?”
Mendengar hal itu, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq menghampirinya sambil membujuk dan memeluknya. “Akulah yang akan menjadi pengganti ayahmu yang sudah tiada.” (Diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA).
Kisah ini memberikan pelajaran bahwa menyantuni, memelihara, dan mengasuh anak yatim merupakan tanggung jawab kita semua. Kita berkewajiban untuk memberinya makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak, serta pendidikan yang memadai hingga mereka dewasa.
Rasulullah SAW adalah teladan umat manusia. Beliau sangat mengasihi dan menyayangi anak-anak yatim. Dalam salah satu sabdanya, Rasul menjelaskan, bahwa kedudukan orang yang memuliakan, menyantuni dan mengasihi anak yatim, akan mendapatkan surga yang jaraknya bagaikan jari telunjuk dan jari tengah.
Rasul SAW sangat membenci orang-orang yang menelantarkan anak yatim. Dalam Alquran, Allah SWT mengecam orang-orang yang suka menghardik anak yatim, dan enggan memberi makan fakir miskin. Allah menyebut mereka itu sebagai pendusta agama. (QS al-Ma’un [105]: 1-5). Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar